Sukses

Sebelum Lengser, SBY Ditantang Naikkan Harga BBM Subsidi

Kenaikan harga BBM pada masa Presiden SBY bakal mengurangi beban pemerintahan berikutnya.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah cepat atau lambat dinilai perlu kembali menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Langkah ini disarankan agar segera dilakukan sebelum masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.

Ekonom Senior Bank Standard Chartered Fuazi Ichsan mengatakan, kenaikan ini harus dilakukan untuk menjaga desfisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tetap berada pada level yang diamanat oleh Undang-undang (UU).

"Untuk memastikan bahwa defisit APBN tidak lebih dari 3% dari produk domestik bruto (PDB), maka subsidi energi harus dipangkas, atau proyek-proyek pembangunan harus dibatalkan. Harus dilakukan tahun ini karena ada batasan UU," ujarnya di Wisma Antara, Jakarta, Selasa (25/3/2014).

Jika kenaikan ini dilakukan pada masa pemerintahan SBY, maka akan mengurangi beban dari pemerintahan berikutnya. Namun hal ini dinilai sulit dilakukan terutama menjelang pemilu seperti saat ini.

"Jadi tidak ada time boom, maka lebih baik dilakukan oleh pemerintahan SBY. Tetapi kan belum tentu SBY akan mau menaikan harga BBM dalam dua tahun berturut-turut. Mungkin Kementerian Keuangan ingin subsidi diperkecil dengan menaikan harga BBM, tapi ini kan keputusan politik," lanjutnya.

Selain itu, Ichsan juga memperkirakan efek dari pencapresan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo masih akan memberikan pengaruh terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan jika dia berhasil menduduki kursi presiden untuk periode mendatang.

"Kita lihat rupiah akan menguat ke Rp 10.800 per dolar  AS di akhir tahun ini, jika ada euforia di bulan Oktober tahun ini, apalagi setelah ada pemerintah baru yang kabinetnya dianggap berpihak pada market," katanya.

Meski demikian, pencapresan Jokowi bukan menjadi satu-satunya penyebab menguatnya rupiah, karena ada faktor lain yang ikut mempengaruhi.

"Tapi ada beberapa hal yang mempengaruhi seperti defisit neraca berjalan yang relatif diperkirakan lebih rendah dibanding tahun lalu. Tahun lalu kan US$ 28,5 miliar, tahun ini diperkirakan di bawah US$ 25 miliar. Kemudian BI rate juga diperkirakan akan naik," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.