Medium Perlawanan Kejumudan Intelektual Bertajuk 'Diskusi Sabtuan' Resmi Distarter Kembali di Aceh

Hiatus tiga tahun lebih, gerakan kebudayaan bertajuk Diskusi Sabtuan, lokomotif bagi upaya melawan kejumudan intelektual di Aceh distarter kembali. Simak:

oleh Rino Abonita diperbarui 19 Feb 2024, 02:34 WIB
Bersabtu Kita Teguh, slogan dari Diskusi Sabtuan (Liputan6.com/Diskusi Sabtuan)

Liputan6.com, Aceh - Medium pembelajaran bertajuk "Diskusi Sabtuan" yang sempat hiatus hampir tiga tahun lamanya kini dihidupkan kembali. Mesin diskusi ini distarter kembali di ruang tengah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Aceh), Sabtu pagi (17/2/2024).

Tema diskusi kali ini yaitu Metode Pengambilan Dokumentasi Video Advokasi oleh Davi Abdullah. Davi Abdullah merupakan jurnalis dengan karya Three Faces in The Land of Sharia yang sempat masuk dalam nominasi Cannes World Film Festival kategori film hak asasi manusia terbaik. 

Mengikuti namanya, Diskusi Sabtuan awalnya merupakan diskusi yang digelar secara rutin setiap akhir pekan. Diskusi Sabtuan pertama kali digeber pada 2 November 2019 dan merupakan bufer resmi—serta pertama di Aceh—KontraS Aceh.

Orang di balik pencetusan Diskusi Sabtuan adalah Azharul Husna, yang saat itu menjabat sebagai divisi kampanye dan advokasi lembaga kemanusiaan tersebut. Azharul Husna saat ini adalah Koordinator KontraS Aceh periode 2022-2026.

Sewaktu mencetuskan Diskusi Sabtuan, Azharul Husna dan Fuadi Mardhatillah yang saat itu menjabat sebagai Divisi Riset dan Pengembangan KontraS Aceh berniat menjadikan sawala ini sebagai gerakan kebudayaan: lokomotif bagi upaya melawan kejumudan intelektual.

Dalam setiap diskusi, terdapat pensyarah yang berasal dari vak ataupun keterampilan yang berbeda-beda. Seperti disinggung di awal, prinsip dari diskusi ini ialah zakat intelektual di mana para pemateri mendarmabaktikan sabagian ilmu mereka.

Diskusi Sabtuan berusaha menyingkirkan stratum yang selama ini menempatkan audiens sebagai pendengar yang pasif atau spektator. Konsep ini sebenarnya menyadur pendekatan kultural dan proses dialogis yang dikenalkan tokoh pendidikan Brazil yang diakui melalui karya adiluhung Pedagogy of the Opressed, yaitu Paulo Freire.

Mengikuti Paulo Freire, Diskusi Sabtuan mengedepankan proses dialogis, yang hendak memotong relasi objek-subjek antara pemateri dengan audiens. Tujuannya agar diskusi dapat berjalan lebih dialektis sebagai medium dari praktik pembebasan.

"Saya yakin gerakan kebudayaan mesti dimulai dengan upaya membuka diri dari kebebalan pikiran. Kedua, dalam Diskusi Sabtuan, pengetahuan tidak dalam status ditransfer kepada peserta pasif. Di sana ada diskursus, ada dialektika," kata Azharul kepada Liputan6.com di sela-sela Diskusi Sabtuan, Sabtu (17/2/2024).

Sejak diluncurkan, Diskusi Sabtuan telah melewati puluhan tajuk sawala seperti, Seni dan Perlawanan: Hikayat Sabbath, Negara Kekuasaan dan Counter-Kekuasaan, Lingkunganisme: Masih Relevankah? Dan banyak lagi.

Dalam setiap kesempatan, Diskusi Sabtuan selalu mengedepankan slogan "Bersabtu Kita Teguh". Kata "bersabtu" sendiri merupakan plesetan dari "bersatu" yang sebenarnya diambil dari pribahasa kesohor: "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh"—slogan Bersabtu Kita Teguh menegaskan keberadaan Diskusi Sabtuan sebagai ruang konsolidasi. 

"Saat itu sebenarnya juga ada saran dari seniman Idrus bin Harun yang mendesain kaus 'Bersabtu Kita Teguh' untuk Diskusi Sabtuan agar kami menggunakan kalimat 'menjaga persabtuan dan kesabtuan'," tutur Azharul.

Setiap unggahan tentang Diskusi Sabtuan yang digagas KontraS Aceh di media sosial dengan tagar #diskusisabtuan dan #bersabtukitateguh. Aktivitas Diskusi Sabtuan yang terbaru dapat dilihat melalui akun nstagram resmi mereka @bersabtukitateguh.

"Ingat, Diskusi Sabtuan ini tidak ditunggangi oleh oknum tertentu, tidak dibiayai oleh perusahaan tambang mana pun, dan bukan alat mobilisasi untuk kepentingan oligarki," pungkas Azharul, menegaskan independensi dari Diskusi Sabtuan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya