Sukses

AS Dongkrak Tarif Impor Kendaraan Listrik China, Pakar Otomotif: Proteksionisme Jangka Pendek

Pakar otomotif dan perdagangan menyimpulkan bahwa kenaikan tarif impor oleh AS terhadap kendaraan listrik buatan China merupakan tindakan proteksionisme jangka pendek. Mengapa hal ini mereka lakukan?

Liputan6.com, Jakarta - Rencana Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk menaikkan empat kali lipat pada kendaraan listrik (EV) buatan China, diprediksi tidak akan menjadi ancaman di pasar penjualan mobil di AS.

Melansir CNBC International, Kamis (16/5/2024) pakar otomotif dan perdagangan menilai, kenaikan tarif impor merupakan tindakan proteksionisme jangka pendek yang mungkin menunda namun tidak akan menghentikan produsen mobil China untuk datang ke AS dengan kendaraan listrik.

"Mereka (EV China) tetap akan berada di sini. Ini tidak bisa dihindari. Ini hanya masalah waktu saja," kata Dan Hearsch, salah satu pemimpin praktik otomotif dan industri Amerika di perusahaan konsultan AlixPartners.

"Para pembuat mobil dan pemasok di negara-negara Barat harus benar-benar meningkatkan kemampuan mereka dan bersiap untuk mengambil tindakan atau bersaing langsung dengan mereka (EV China). Itu salah satunya," ujar dia.

Tarif kendaraan listrik, termasuk kenaikan lainnya terkait bahan baterai, adalah di antara tarif baru terhadap impor produk dari China senilai USD 18 miliar atau setara Rp. 286,2 triliun.

Seperti diketahui, kualitas kendaraan listrik buatan China telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, karena Beijing mensubsidi operasi mereka untuk meningkatkan produksi dalam negeri.

Persaingan yang Ketat

Meningkatnya jumlah produsen mobil China telah menyebabkan penurunan tajam pangsa pasar produsen mobil global seperti General Motors di negara tersebut.

GM, Ford Motor dan Chrysler, yang kini dimiliki oleh Stellantis, telah menyaksikan pangsa pasar mereka di China merosot dari 75% pada tahun 1984 menjadi sekitar 40% pada tahun 2023, menurut data industri.

GM dan perusahaan mobil AS lain kini sulit untuk bersaing dengan kendaraan murah dan mainstream di China, termasuk kendaraan listrik.

Misalnya, mobil listrik kecil dari BYD yang didukung Warren Buffett bernama Seagull dijual dengan harga sekitar USD 10.000 dan dilaporkan memberikan keuntungan bagi produsen mobil China yang semakin berpengaruh tersebut.

Meskipun Seagull belum dijual di AS, BYD sedang mengembangkan kendaraannya secara global, dan beberapa orang percaya bahwa hanya masalah waktu sebelum lebih banyak kendaraan buatan China tiba di AS.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Beban Jangka Pendek

"Pada akhirnya, kami berpendapat proteksionisme dari negara-negara Barat akan tetap menjadi beban jangka pendek bagi produsen kendaraan listrik/suku cadang Tiongkok yang ingin melakukan ekspansi global secara cepat, namun menurut kami hal ini tidak akan menghentikan dorongan kendaraan listrik Tiongkok dalam jangka panjang," kata analis Morgan Stanley, Tim Hsiao dalam catatan investor minggu ini.

Meskipun beberapa produsen mobil saat ini mengimpor kendaraan bertenaga gas dari China ke Amerika, jumlahnya masih kecil.

Analis Wall Street, mengutip Asosiasi Produsen Mobil China, melaporkan kurang dari 75.000 kendaraan yang diimpor ke AS pada tahun lalu.

Kendaraan yang dibuat di China dan saat ini dijual di AS termasuk Buick Envision bertenaga gas dari GM, Lincoln Nautilus dari Ford, dan dua kendaraan listrik dari Volvo milik Geely dan startup EV spin-off Polestar.

3 dari 3 halaman

Ekonom: Tarif Impor Barang China Tak Pengaruhi Kebijakan Moneter AS

Ekonom memperkirakan bahwa pemberlakukan tarif impor baru oleh Amerika Serikat terhadap barang dari China, akan memiliki dampak jangka pendek yang minim terhadap PDB, inflasi dan kebijakan moneter negara itu.

"Tarif yang diumumkan terhadap China oleh pemerintahan Biden menandakan konflik ekonomi musim dingin yang panjang dan dingin antara AS dan China," kata ekonom Joe Brusuelas di RSM US, dikutip dari CNN Business, Rabu (15/5/2024). 

Kemudian Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan bahwa pemberlakukan tarif impor barang China oleh Biden kemungkinan tidak akan mempengaruhi kebijakan moneter.

"Tarif tambahan pada dasarnya adalah kesalahan pembulatan inflasi dan PDB, dan tidak berdampak pada kebijakan moneter," tulis Ryan Sweet dalam sebuah catatan, ketika laporan pertama kali mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan tarif AS akan segera dilakukan.

"The Fed tidak akan membuat masalah besar, sehingga tarif tidak akan memberikan amunisi tambahan untuk membenarkan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," jelasnya.

Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.

Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.

Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.

"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini