Ekonomi China Melambat, Indonesia Perlu Waspada

Pemerintah diminta menyiapkan antisipasi dari penurunan permintaan ekspor energi dari China.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Apr 2022, 18:15 WIB
Orang-orang berjalan di sekitar Bund, sepanjang Sungai Huangpu, Puxi, Shanghai, 31 Maret 2022. Daerah Puxi akan lockdown mulai 1 April 2022. (Hector RETAMAL/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta menyiapkan antisipasi dari penurunan permintaan ekspor energi dari China. Alasannya, saat ini China telah menunjukkan tanda-tanda menerapkan kebijakan kenormalan baru namun pertumbuhan ekonominya tidak seagresif sebelum pandemi terjadi.

"China ini menunjukkan gejala new normal dan tumbuhnya tidak seperti dulu dan dampaknya ke kita kebutuhan energinya turun," kata Ekonom Senior Chatib Basri di Jakarta, Senin (4/4).

Di sisi lain, China juga sudah mulai bergerak menggunakan energi bersih. Bahkan bukan hanya China, berbagai negara juga sudah mulai mengarahkan penggunaan energi yang lebih bersih. Sehingga suplai batubara dari Indonesia kemungkinan akan berkurang.

"Masalah lain terjadi karena ada transisi energi menuju green. Jadi net efeknya ini tergantung suplai syok baik dari Ukraina maupun green ini mengurangi suplai," tuturnya.

Meskipun pelemahan ekonomi China saat ini belum banyak berdampak pada Indonesia dalam jangka pendek, namun tetap harus diantisipasi dalam jangka panjang. Terlebih saat ini harga komoditas juga tengah mengalami peningkatan.

Hanya saja perlu diantisipasi dampak lanjutannya. Dia memperkirakan baru akan ada terasa dampaknya pada tahun 2023 dan tahun 2024.

"Jangka pendek harga komoditas masih kuat, tapi ini dampaknya baru terasa di tahun 2023 atau 2024," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

China Laporkan Kasus COVID-19 Tertinggi Sejak Februari 2020

Pekerja yang mengenakan alat pelindung diri dan mengantarkan makanan berdiri di sebelah akses hotel di Bund, Puxi, Shanghai, China, 31 Maret 2022. Daerah Puxi akan lockdown mulai 1 April 2022. (Hector RETAMAL/AFP)

 China pada Minggu (3 April) melaporkan total 13.287 kasus harian baru untuk 2 April, level tertinggi sejak Februari 2020, dengan mayoritas di provinsi Jilin timur laut dan pusat keuangan Shanghai yang hampir melakukan lockdown di seluruh kota.

Negara itu melaporkan 1.506 kasus virus corona yang dikonfirmasi pada hari sebelumnya, otoritas kesehatan nasional mengatakan pada hari Minggu, turun dari 2.129 sehari sebelumnya.

Tetapi jumlah kasus baru tanpa gejala, yang tidak diklasifikasikan China sebagai kasus yang dikonfirmasi, melonjak menjadi 11.781 pada hari Sabtu dibandingkan dengan 7.869 sehari sebelumnya.

Dari kasus baru yang dikonfirmasi, 1.455 ditransmisikan secara lokal, dengan 956 terdeteksi dari Jilin dan 438 dari Shanghai.

Shanghai, rumah dari 25 juta orang, melakukan pengujian antigen terhadap seluruh kota pada hari Minggu dan pengujian asam nukleat massal pada hari Senin, seorang pejabat senior dari otoritas kesehatan Shanghai mengatakan pada konferensi pers pada hari Minggu.

"Tugas utamanya adalah untuk sepenuhnya menghilangkan titik risiko dan memutus rantai penularan sehingga kami dapat menghentikan penyebaran epidemi sesegera mungkin," kata Wu Qianyu, inspektur dari Komisi Kesehatan Kota Shanghai.

Wakil Perdana Menteri China Sun Chunlan pada hari Sabtu juga mendesak kota Shanghai untuk "membuat langkah tegas dan cepat" untuk mengekang pandemi.

Kota itu telah berusaha untuk menghentikan wabah dengan memberlakukan lockdown dua tahap, mendorong pabrikan untuk menghentikan operasi dan mengakibatkan kemacetan parah di pelabuhan Shanghai, pusat pengangkutan kontainer terbesar di dunia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya