Proyek Pemerintah di Bawah Rp 100 Miliar Masih Dikuasai Anak Usaha BUMN

Pengamat menilai masih terdapat BUMN yang rakus menggarap proyek-proyek infrastruktur dalam negeri.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Apr 2021, 15:34 WIB
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Jembatan layang (skybridge) CSW di Jakarta, Selasa (9/3/2021). Proyek pembangunan jembatan layang atau skybridge untuk integrasi Halte Transjakarta CSW di Stasiun MRT Asean ditargetkan selesai pada Mei 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Herry Gunawan menyatakan, masih terdapat perusahaan-perusahaan pelat merah yang rakus menggarap proyek-proyek infrastruktur di dalam negeri. Padahal, sesuai dengan aturan, BUMN hanya bisa menggarap untuk proyek yang nilainya di atas Rp100 miliar.

"Data BPJT proyek terakhir yang sudah beroperasi dari daftar 60 proyek yang sudah beroperasi itu 22. 100 persen itu ada BUMN baik melalui kepemilikan langsung, kepemilikan anak, maupun kepemilikan cucu BUMN," ungkapnya dalam diskusi bertajuk BUMN Terlalu Perkasa?, Sabtu (27/3/2021).

Herry mengingatkan, sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo pada 2019 silam, BUMN-BUMN tidak boleh mengambil alih seluruh proyek pemerintah disektor kontruksi. Proyek-proyek di bawah Rp100 miliar harus dilimpahkan kepada swasta.

"Tetapi yang akhirnya ikut anak dan cucunya BUMN karena mereka bukan kepemilikan langsung dari BUMN," kata dia.

Sebagai contoh, Jasa Marga merupakan kepemilikan langsung dari BUMN. Sementara Waskita Tol Road bukan kepemilikan langusung dan mempunyai anak perusahaan seperti Waskita Karya. Di mana mereka semua bisa menggarap proyek jalan tol.

"Jadi tidak hanya langsung dari BUMN tetapi bisa melalui melalui anak dan cucu ini yang membuat," jelasnya.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Pengamat: BUMN Perkasa Karena Fasilitas Pemerintah

Gedung Kementerian BUMN (dok: Humas KBUMN)

Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Herry Gunawan menyebut, BUMN yang ada di Indonesia sudah cukup 'perkasa' dengan fasilitas yang diberikan pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN). Artinya, BUMN tidak memiliki kemampuan dan masih mengandalkan pemerintah.

"Kalau menurut saya BUMN sangat 'persasa' karena dengan fasilitas pemerintah bukan dengan kemampuannya. Bahkan ada aroma kartel di situ," kata dia dalam diskusi bertajuk BUMN Terlalu Perkasa?, Sabtu (27/3/2021).

"Kenapa saya bilang agak keras seperti itu? Karena di BUMN itu ketika kita misalnya melakukan reformasi di sektor migas ketika lahir Undang-Undang migas di zaman reformasi kemudian Pertamina dipisahkan tidak lagi menjadi regulator kemudian dibentuklah SKK migas," sambung dia.

Menurutnya pembentukan SKK migas ini justrumemisahkan antara regulator dengan operator. Bahkan di dalam institusi organisasi BUMN itu isinya sekarang adalah regulator. Indikatornya dapat dilihat pada komisaris yang ada di BUMN di isi oleh seluruh pejabat pemerintah Eselon I. Hampir tidak ada yang tidak mendapat jatah menjadi komisaris.

"Anda bisa bayangkan antara operator yang harus bersaing di pasar kemudian dia harus mengikuti standar etika tata kelola korporasi yang baik misalnya dia di dalamnya itu ada regulator," kata dia.

Menurutnya hal itu lah yang kemudian membuat pemerintah sukarela menyediakan PMN buat BUMN. Bahkan BUMN yang sudah bertahun-tahun hidup tetap dikasih PMN kembali.

Dia menambahkan, persoalan saat ini bukan pada persoalan kuantitas BUMN. Oleh sebab itu, menurut dia sebaiknya untuk sektor-sektor yang tidak memiliki urgensi tinggi bagi kepentingan publik dan tanggung jawab pemerintah harus segera dilepas.

"Misalnya gini untuk apa pemerintah punya BUMN perhotelan misalnya bahkan dikonsolidasikan untuk apa? Kemudian untuk apa pemerintah punya rumah sakit? Semua Pemda itu punya RSUD, kalau swasta punya klinik bahkan dokter bisa bikin klinik. Support aja mereka lebih baik supaya layanannya lebih baik," tandas Herry.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya