Harga Gas Harus Disesuaikan dengan Biaya Pembangunan Infrastruktur

Aaat ini harga gas industri di Singapura jauh lebih mahal dibanding Indonesia.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 01 Nov 2019, 19:47 WIB
embangunan pipa gas bumi Muara Karang- Muara Bekasi ibertujuan meningkatkan pemanfaatan atau penggunaan gas bumi nasional,

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia diminta dewasa dan bijak dalam menanggapi kenaikan harga gas industri.

“Kenaikan harga gas itu wajar karena beban Badan Usaha Hilir Gas sudah berat. Toh harga gas di hulu sudah naik juga. Ingat juga harga gas industri lebih murah dibandingkan gas rumah tangga," kata Direktur Energy Watch Mamit Setiawan dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11/2019).

Menurutnya, beban harga gas dan pembangunan infrastruktur jaringan gas, harga gas bumi hilir, merupakan harga agregasi, yakni dari berbagai harga pasokan gas bumi. Serta biaya infrastruktur penyaluran gas bumi dari lokasi produsen sampai ke konsumen akhir.  

Dimana 71 persen dari harga gas hilir berasal dari harga gas hulu. Mamit menambahkan saat ini harga gas industri di Singapura jauh lebih mahal dibanding Indonesia. Jadi sudah layak lah kenaikan harga gas itu.

"Gas industri hanya 4000 m3. Sementara harga gas rumah tangga kira-kira 6000 m3. Jadi rasanya tak adil," tegasnya.

Lanjut Mamit lagi, kini laba Badan Usaha Hilir Gas sangat tergerus. Karena sudah 7 tahun mereka tidak merasakan kenaikan harga gas industri.

Badan Usaha Hilir Gas harus memperhitungan pembangungan infrastruktur jaringan gas tidak mudah, apalagi harus menjangkau ke banyak daerah yang sulit dan nilai investasi yang sangat besar termasuk juga biaya perawatan dan pemeliharaan fasilitas milik Badan Usaha Hilir Gas.

Untuk semua investasi yang Badan Usaha Hilir Gas lakukan, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan biaya investasi tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Perlu Naik

Pekerja merawat jaringan pipa gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jakarta, Rabu (21/9/2016). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menganggap kenaikan harga gas ini diperlukan.

Menurutnya, kenaikan harga jual gas juga sesuai dengan Permen ESDM 58/2017 tentang Harga Jual Gas Melalui Pipa Pada Kegiataan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Berdasarkan Permen ESDM 58/2017, formula penetapan harga gas bumi adalah Harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga.

"Komponen pembentuk Harga Gas Bumi Hilir Badan Usaha Hilir Gas didominasi oleh harga Gas Bumi di hulu sebesar 70 persen. Sedangkan, Biaya Pengelolaan Infrastruktur dan Biaya Niaga hanya mencakup sebesar 30 persen dari struktur harga jual hilir," ungkapnya.

Biaya Pengelolaan Infrastruktur merupakan biaya-biaya yang timbul untuk mengantarkan gas bumi dari sumber gas ke lokasi end user. Meliputi biaya pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan/atau distribusi maupun infrastruktur gas bumi pendukung.

Seperti infrastruktur pencairan, kompresi, regasifikasi maupun penyimpanan LNG/CNG. Biaya Niaga meliputi biaya yang dikeluarkan PGN untuk kegiatan niaga, di antaranya biaya pengelolaan komoditas (SBLC), biaya pengelolaan konsumen, biaya pemasaran, biaya risiko, dan margin niaga sebesar 7%.

Selama 6 tahun terakhir atau sejak tahun 2013 PGN tidak pernah menaikkan harga jual gas sampai sekarang. Bahkan saat harga minyak dunia naik, badak menaikkan harga gas bumi demi mendukung kebijakan pemerintah agar harga gas domestik tetap kompetitif.

"Kenaikan harga gas bumi itu memang akan menaikkan harga pokok produksi bagi produk dihasilkan yang menggunakan bahan baku gas. Namun, seiring dengan kenaikkan harga gas itu, peningkatan layanan akan semakin meningkat," paparnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya