ICW Minta KPK Soroti Polemik Data Beras

ICW juga mendesak agar DPR mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit komprehensif terkait neraca pangan Indonesia

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Okt 2018, 09:58 WIB
Pekerja memanggul karung Beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog) di Gudang Bulog kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (7/6). Bulog memiliki stok beras sebanyak 2,1 juta ton. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyoroti persoalan polemik data beras yang berbeda-beda. 

Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas berpendapat bahwa kejadiannya ini harusnya dinvestigasi secara komprehensif lagi. 

Firdaus mengemukakan, ICW mendorong pihak yang memiliki wewenang dalam penindakan korupsi, yakni KPK untuk menindaklanjuti hal ini.

Selain itu, ujar dia, KPK didorong untuk melakukan pengecekan silang yang menyeluruh secara objektif berdasarkan dua data beras tersebut.

"Kalau dikatakan metodenya yang berbeda, kan yang di-sampling dan disurvei itu sama. Apalagi untuk data nasional, BPS itu kan dibentuk oleh Undang-Undang (UU), memiliki kewenangan untuk mengumpulkan data per instansi dan menjadi pusat data untuk nasional. Data BPS data official loh," tegas Firdaus dikutip dari Antara, Kamis 25 Oktober 2018. 

ICW juga mendesak agar DPR mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit komprehensif terkait neraca pangan Indonesia dan bagaimana kinerja penanganan pangan Indonesia sehingga dapat didapatkan gambaran awal persoalan. 

Perbedaan data beras itu menurut ICW terlihat versi BPS yang menyebut surplus produksi beras 2018 hanya mencapai 2,8 juta ton, jauh di bawah data atau perhitungan Kementan. 

Berdasarkan laman resmi Kementan, surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton. Perhitungan tersebut dari produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.

 

2 dari 2 halaman

Masalah Menahun

Sementara itu, pengamat dari Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin dalam keterangan tertulis yang diterima Antara menilai, perbedaan data ini merupakan persoalan yang berlarut-larut dan selalu muncul dari tahun ke tahun serta berujung pada tahun politik. 

Ujang Komarudin memandang, sangat sulit mengkampanyekan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah jika sumber datanya berbeda.

"Mengkritik itu tergantung momentumnya. Sekarang sudah ada momentum karena data yang tidak sama itu tidak mampu dituntaskan meski sempat disebut akan diselesaikan," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya