Liputan6.com, Jakarta: Pupus sudah mimpi Parwati, seorang calon tenaga kerja Indonesia asal Banyumas, Jawa Tengah, untuk meraup ringgit di Negeri Jiran. Betapa tidak, bukannya kesempatan bekerja yang ia peroleh melainkan perlakuan tidak manusiawi. Bahkan, ia bersama 24 TKI lainnya disekap oleh sebuah perusahaan Penyalur Jasa TKI di Wisma Ciliwung, Kampung Melayu Kecil, Jakarta Selatan. Pengakuan tersebut disampaikan Parwati dan tujuh calon TKI lainnya kepada relawan Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) di Jakarta, Senin (22/4) siang.
Parwati menuturkan, dua bulan silam, ia menggantungkan harapannya pada perusahaan PJTKI itu untuk bekerja sebagai TKI. Selanjutnya, anak keluarga petani ini bermukim di Wisma Ciliwung bersama puluhan calon TKI lainnya. Malangnya, selama di penampungan, ia bersama sejumlah rekan lainnya kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari sejumlah pegawai perusahaan penyalur tersebut. Perlakuan itu kerap diterima terutama setelah ia menanyakan kepastian bekerja. "Saya pernah dipukul dan juga dituduh mencuri barang," ungkap Parwati.
Lantaran tak tahan menerima perlakuan tak manusiawi, Parwati bersama tujuh calon TKI lainnya segera kabur dari tempat penampungan. Setelah itu, mereka melaporkan perlakuan tersebut kepada CIMW.(ANS/Syaiful Halim dan Agus Ginanjar)
Parwati menuturkan, dua bulan silam, ia menggantungkan harapannya pada perusahaan PJTKI itu untuk bekerja sebagai TKI. Selanjutnya, anak keluarga petani ini bermukim di Wisma Ciliwung bersama puluhan calon TKI lainnya. Malangnya, selama di penampungan, ia bersama sejumlah rekan lainnya kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari sejumlah pegawai perusahaan penyalur tersebut. Perlakuan itu kerap diterima terutama setelah ia menanyakan kepastian bekerja. "Saya pernah dipukul dan juga dituduh mencuri barang," ungkap Parwati.
Lantaran tak tahan menerima perlakuan tak manusiawi, Parwati bersama tujuh calon TKI lainnya segera kabur dari tempat penampungan. Setelah itu, mereka melaporkan perlakuan tersebut kepada CIMW.(ANS/Syaiful Halim dan Agus Ginanjar)