Selain Sanusi, KPK Bidik Petinggi DPRD DKI Terkait Suap Reklamasi

Sanusi telah divonis hukuman tujuh tahun penjara terkait suap reklamasi.

oleh Oscar Ferri diperbarui 30 Des 2016, 08:48 WIB
Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi memeluk kenalannya usai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (29/12). (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Jakarta Eks Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi telah divonis pidana tujuh tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Sanusi juga dijatuhi denda Rp 250 juta subsider dua bulan kurungan oleh Majelis Hakim.

Sanusi terbukti bersalah menerima suap Rp 2 miliar dari eks Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja terkait pembahasan dan pengesahan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) atau Raperda Reklamasi Teluk Jakarta.

Mengenai vonis itu, KPK berjanji tak akan berhenti pada divonisnya Sanusi tersebut. Apalagi, dalam dakwaan Jaksa disebutkan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini, yakni Ketua DPRD DKI Edi Prasetyo Marsudi dan Wakil Ketua DPRD DKI yang juga kakak kandung Sanusi, Mohamad Taufik.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah tak menampik, ada pengembangan ke pihak lain dalam kasus ini. "Masih dimungkinkan pengembangan terhadap pihak-pihak lain," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 29 Desember 2016.

Febri menjelaskan, selama persidangan Sanusi memang memunculkan banyak fakta-fakta lain. Terutama mengenai pihak-pihak lain yang terlibat serta peran mereka dalam kasus ini.

Karena itu, KPK akan menelisik dan mendalami segala fakta-fakta persidangan yang terungkap dalam proses persidangan itu.

"Buat kami, fakta persidangan terkait indikasi pihak lain menjadi informasi yang penting bagi KPK untuk diproses lebih lanjut," ujar Febri.

Selain soal keterlibatan pihak lain itu, KPK juga memfokuskan pada upaya hukum atas beberapa putusan majelis hakim yang tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa. Misalnya, Majelis Hakim tak memberi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dalam memilih dan dipilih pada jabatan publik sebagaimana dituangkan jaksa dalam tuntutannya.

"Jadi ada dua konsen, pengembangan pihak lain dan upaya hukum karena beberapa argumentasi dari KPK hingga penuntutan tidak diterima hakim," ujar‎ Febri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya