Pemerintah Ethiopia Umumkan Status Darurat Nasional

Aksi demonstrasi diwarnai kekerasan melanda Ethiopia selama beberapa bulan terakhir. Hal ini membuat pemerintah menetapkan status darurat.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 10 Okt 2016, 12:14 WIB
Demonstrasi diwarna kekerasan terjadi di Ethiopia selama beberapa bulan terakhir (Reuters)

Liputan6.com, Addis Ababa - Ethiopia mengumumkan keadaan darurat nasional selama enam bulan ke depan. Pernyataan ini muncul menyusul protes anti-pemerintah yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.

Seperti dikutip dari CNN, Senin (10/10/2016) ini adalah kali pertama keadaan darurat ditetapkan pasca-rezim berkuasa selama 25 tahun terakhir.

Perdana Menteri Hailemariam Desalegn mengatakan, keadaan darurat yang ditetapkan pada Sabtu 8 Oktober lalu akan ditindaklanjuti pemerintah dengan mengambil sejumlah langkah-langkah untuk memulihkan ketertiban seiring dengan meningkatnya demonstrasi di seluruh negeri.

"Keadaan darurat ini diberlakukan menyusul diskusi yang dilakukan oleh Dewan Menteri terkait dengan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan properti di negara ini," jelas PM Desalegn.

"Kami ingin mengakhiri kerusakan yang dilakukan terhadap sejumlah proyek-proyek infrastruktur, pusat kesehatan, administrasi, dan kantor-kantor kehakiman," kata Desalegn.

Media lokal melaporkan, otoritas lokal telah memerintahkan penutupan layanan internet dan pemblokiran media sosial di sebagian besar kawasan Oromia. Wilayah itu merupakan salah satu dari sembilan negara bagian terbesar di Ethiopia.

Oromos yang merupakan suku terbesar di Ethiopia--terdiri atas sepertiga dari 100 juta rakyat--juga terlibat dalam aksi protes. Suku ini telah terpinggirkan selama beberapa dekade.

Keadaan semakin diperparah setelah pemerintah mempromosikan pembangunan dengan mengambil alih lahan pertanian Oromo.

Dalam aksi protes terbaru yang terjadi pada 2 Oktober lalu ketika festival suci Oromo atau yang dikenal dengan Irreechaa tengah berlangsung diketahui memakan 52 korban jiwa. Namun aktivis memperdebatkan angka tersebut dan mengklaim korban tewas mencapai ratusan orang.

Menurut para aktivis, pasukan pemerintah melepas tembakan dan menyemprotkan gas airmata ke arah keramaian. Peristiwa tersebut membuat 500 orang kehilangan nyawa.

Pemerintah membantah menembaki demonstran. Mereka balik menyalahkan pengacau atas bentrokan yang terjadi.

Menteri Komunikasi, Getachew Reda mengatakan, "Dari jasad korban tewas tidak ditemukan luka tembak. Mereka tewas karena berdesak-desakan. Pasukan keamanan kebanyakan tidak bersenjata. Tak ada kekuatan dari pasukan keamanan yang terlibat," ujarnya.

Protes anti-pemerintah sebelumnya juga sempat disuarakan oleh pelari maraton Ethiopia, Feyisa Lilesa selama Olimpiade Rio 2016. Menurutnya, pemerintah bersikap tak adil kepada masyarakat Oromo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya