Bocah Pengungsi dan "Luka" yang Dipendam

Bagi anak pengungsi korban pertikaian Ambon dan Maluku Utara, Ramadan adalah kesedihan. Trauma aksi kekerasan yang disaksikan bercampur rindu akan kampung halaman.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Des 2001, 17:20 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Kehadiran Ramadan bagi anak pengungsi bisa berarti beragam. Namun bagi korban pertikaian konflik di Ambon dan Maluku Utara, Bulan Suci sama artinya dengan kesedihan. Trauma berbagai aksi kekerasan yang disaksikan berubah bercampur rindu kampung halaman. Kenyataan ini terlihat pada para bocah pengungsi itu, yang kini berada di Yayasan Al Furqaan di Kampung Sentul, Cikeas Udik, Cibubur, Jakarta Timur, baru-baru ini.

Sebanyak 74 orang anak pengungsi korban pertikaian dua tahun silam yang kini berada di tempat itu tampaknya tak mampu menutupi luka psikologis yang tengah dialami. Bahkan saat bercengkrama, apalagi berbicara, hingga bertadarus, paras acuh dan curiga terlihat jelas. Sebagian anak laki-laki memilih mengunci mulutnya rapat-rapat bila diajak bicara.

Keadaan ini tentu membuat pengurus yayasan mesti ekstra sabar menangani mereka. Menurut Pimpinan Yayasan Al Furqaan M. Abdul Basyir, selain sangat peka, bocah pengungsi tadi mudah marah. "Bahkan sesekali dengan tindak kekerasan," kata Abdul, tanpa merincinya.(BMI/Syaiful Halim dan Budi Sukmadianto)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya