Pengembangan Energi Terbarukan Belum Optimal

Kebijakan harga jual listrik panas bumi menjadi salah satu masalah utama pengembangan energi terbarukan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 28 Jan 2016, 11:45 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Unit 1 berkapasitas 1x30 MW di PLTP Karaha Bodas, Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (19/4). (REUTERS/Beawiharta)

Liputan6.com, Jakarta - Refomainer Institute memandang niat pemerintah ‎menggalakan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) belum maksimal. Hal tersebut terbukti dari kapasitas energi yang dihasilkan.

Direktur Eksekutif Refomainer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan,‎ pemerintah telah menyatakan serius mengembangkan energi baru dan terbarukan, terutama pengembangan energi panas bumi. Untuk merealisasikannya juga telah digagas beberapa terobosan.

Gagasan tersebut di antaranya adalah pembentukan  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus panas bumi, dan rencana pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) oleh Kementerian ESDM. Gagasan itu seolah makin menguatkan kesimpulan pemerintah memang benar-benar serius mengembangkan energi baru-terbarukan, khususnya panas bumi.

"Apalagi pemerintah secara tegas menyampaikan bahwa DKE akan diperuntukkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan," kata Komaidi, di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Komaidi menuturkan, berdasarkan kajian niatan pemerintah tersebut relatif belum banyak tercermin dalam kebijakan yang telah direalisasikan maupun kebijakan yang sedang dan akan dilaksanakan.

Komaidi mengatakan, capaian yang belum tercermin tersebut dilihat dari pengembangan panas bumi nasional masih relatif stagnan.

Dari data yang ada menunjukkan kapasitas terpasang panas bumi saat ini sekitar 1.343 Mega Watt (MW), hanya sedikit mengalami peningkatan dari status 2009 yang saat itu telah mencapai 1.189 MW.

Dari kapasitas terpasang tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang produktif dilaporkan hanya sekitar 573 MW.  Sedangkan kapasitas terpasang panas bumi nasional saat ini tercatat baru sekitar 4,65 persen dari total potensi yang dimiliki Indonesia yaitu sekitar 28.910 MW.

"Masalah utama sebagai penyebab pengembangan panas bumi berjalan lambat adalah kebijakan harga jual listrik panas bumi yang seringkali tidak terdapat titik temu antara pengembang dan pembeli (PLN)," ujar Komaidi. (Pew/Ahm)




Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya