Sukses

Kecerdasan Buatan Bisa Deteksi Kanker Payudara Lebih Akurat dari Dokter

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi kecerdasan buatan telah merambah industri kesehatan selama dua tahun terakhir.

Google, dalam hal ini, menjadi salah satu perusahaan yang begitu agresif mengembangkannya.

Salah satu terobosan terbaru kecerdasan buatan dari Google adalah kemampuannya yang bisa mendeteksi kanker payudara.

Berbekal tool deep learning, kemampuan kecerdasan buatan besutan raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) ini dalam mendeteksi kanker payudara, bahkan diklaim lebih akurat ketimbang dokter.

Dilansir Geek, Kamis (18/10/2018), tool bernama Lymph Node Assistant (LYNA) tersebut, sudah dilatih untuk bisa menerka karakteristik metastatis kanker.

Metastasis sendiri adalah penyebaran kanker dari suatu organ tubuh ke organ tubuh lain, seperti otak, tulang, paru-paru, atau juga hati. Pada kenyataannya, mendeteksi kondisi metastasis sendiri dibilang cukup sulit.

Namun dengan kecerdasan buatan LYNA yang juga dikembangkan oleh peneliti di Naval Medical Center San Diego AS, kesulitan proses deteksi kanker bisa berkurang hingga 40 persen.

Secara teknis, LYNA berbasis model image recognition dari TensorFlow milik Google. Tool ini sebetulnya dirancang untuk membantu dokter menganalisa dan mencari penyebab kanker, bukan ditugaskan untuk bekerja sendiri.

"Kami sudah melihat benefit potensial dari LYNA, ia bisa membantu sejumlah hal bagi para ahli patologi untuk bisa meninjau dan memutuskan diagnosis akhir," ujar pimpinan teknis kecerdasan buatan Google, Martin Stumpe dalam keterangannya.

Ke depannya, LYNA akan diuji coba untuk digunakan ahli patologi dalam mendeteksi kanker di sejumlah rumah sakit.

Jika benar membantu, bukan tidak mungkin tool ini bisa menjadi tool bawaan yang dapat dimanfaatkan dokter dan ahli patologi dalam membantu pasiennya untuk sembuh dari kanker.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bisa Deteksi Penyakit Jantung

Sebelumnya kecerdasan buatan bisa mendeteksi beberapa penyakit, mulai dari gejala diabetes hingga alzheimer, kini teknologi tersebut siap mendeteksi penyakit dalam yang skalanya lebih berat, seperti jantung.

Adalah ilmuwan dari rumah sakit John Radcliffe, Oxford, Inggris, yang belum lama ini memantapkan teknologi kecerdasan buatan untuk mendeteksi penyakit jantung dan paru-paru.

Jika ke depannya teknologi kecerdasan buatanbisa bekerja lebih baik, mereka optimistis teknologi dapat menghemat miliaran Poundsterling (triliunan Rupiah) yang dikeluarkan sebagai biaya diagnosis konvensional untuk kedua penyakit tersebut.

Pada pertengahan 2018, The National Health Service (NHS) atau Layanan Kesehatan Nasional Inggris juga akan mendapatkan mesin khusus berbasis kecerdasan buatan untuk mendiagnosis penyakit jantung dan kanker. Para pasien juga bisa memeriksa kondisinya secara gratis dengan mesin tersebut.

Kepala NHS Sir John Bell, menyambut positif kehadiran mesin tersebut. Pasalnya, layanan patologi (deteksi penyakit dalam) untuk jantung dan kanker menguras dana besar.

Per tahun saja, ambil contoh, pihaknya harus menggelontorkan dana sebesar 2,2 miliar Poundsterling (setara dengan Rp 39,6 triliun) per tahun.

"Kehadiran mesin tersebut tentu bisa memangkas pengeluaran hingga 50 persen (hampir Rp 20 triliun) per tahun. Ini tentu bisa menyelamatkan kondisi finansial NHS," ujar Bell sebagaimana dikutip BBC, Kamis (4/1/2018).

3 dari 3 halaman

Membantu Para Kardiolog

Kehadiran mesin tersebut juga diklaim akan membantu para ahli kardiolog (jantung) untuk mendeteksi jenis penyakit jantung pasien.

Dari yang sudah-sudah, metode diagnosis konvensional penyakit jantung bisa saja keliru, bahkan dilakukan oleh dokter terbaik sekali pun.

"Sebelumnya banyak pasien dikirim ke rumah sakit karena serangan jantung. Mereka akhirnya menjalani operasi jantung, padahal ini tak perlu dilakukan," ujar Bell.

Sebelumnya, pemodal ventura dan co-founder Sun Microsystems, Vinod Khosla, menilai penerapan kecerdasan buatan juga akan meluas ke bidang onkologi (ilmu tentang tumor).

"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bisa ahli onkologi manusia akan memberi nilai tambah, mengingat jumlah data di bidang onkologi," kata Khosla, saat diskusi panel yang diselenggarakan MIT di San Francisco, Amerika Serikat sebagaimana dikutip dari Venture Beat.

"Mereka (ahli onkologi manusia) tidak mungkin bisa memahami semua hal yang mungkin terjadi," tambahnya.

Pernyataan Khosla adalah bagian dari poin yang lebih luas bahwa pendidikan dan kecakapan tinggi tidak akan cukup membendung pergolakan ekonomi dan kehilangan pekerjaan, yang timbul sebagai salah satu akibat dari penerapan kecerdasan buatan.

Lebih lanjut, ia bahkan tidak yakin ahli radiologi manusia masih akan ada dalam lima tahun mendatang.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.