Sukses

Studi: Twitter Bisa Merusak Otak?

Internet mampu membuat orang dewasa berpikir dan berperilaku seperti anak kecil yang hiperaktif.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap munculnya teknologi baru, tentunya menimbulkan berbagai manfaat sekaligus kerugian, termasuk dalam hal ini adalah media sosial yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-10, Twitter.

Setahun setelah diluncurkan pada Maret 2006, Twitter sempat dijuluki “The Crack” saat internet sedang menjadi candu.

Seorang politisi dan peneliti syaraf kognitif di Inggris, Susan Greenfield, berulang kali mengatakan bahwa internet mampu membuat orang dewasa berpikir dan berperilaku seperti anak kecil yang hiperaktif. Begitu pun dengan Twitter yang memangkas rentang perhatian, menghilangkan kemampuan kita untuk membaca dan berpikir mendalam.

Dilansir Washington Post, Jumat (25/3/2016), secara tidak langsung Twitter merusak kemampuan kognitif seseorang. Namun bahaya tersebut rupanya belum terbukti secara ilmiah. Kerusakan yang timbul baru berdasarkan dugaan saja.

Seorang ilmuwan syaraf kognitif di Freie Universität Berlin, Dar meshi, mengatakan belum ada satu studi yang melihat efek media sosial pada otak.

"Kami belum tahu apa-apa (tentang bagaimana otak berubah dalam menanggapi media sosial)," ujarnya.

Misalnya, terdapat penelitian yang telah menemukan bahwa perubahan besar pada otak remaja berpusat pada genetika. Penelitian masa lalu Meshi telah menemukan bahwa orang dengan sensitivitas tinggi di nucleus accumbens memiliki kepekaan lebih pada media sosial. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa Facebook telah merusak otak mereka.

Pada Desember, Meshi bersama dua rekannya, mempublikasikan review di Trends in Cognitive Sciences yang mengevaluasi kurang dari 10 penelitian mengenai media sosial dan otak.

Mereka mengungkapkan bahwa untuk sementara tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa media sosial membentuk ulang otak kita dengan cara yang berbeda atau bahkan lebih buruk. Bila memang membawa keburukan, maka belum jelas apa yang jadi pemicunya, entah media itu sendiri atau ada aspek lain.

Meshi melanjutkan, secara teoritis ada perbedaan pada seseorang yang membaca novel dengan membaca SMS atau tweet. Hal tersebut tidak bergantung pada mediumnya, melainkan kepada rangsangan kognitif yang di timbulkan dari buku maupun sebuah tweet.

(Shabrina Aulia Rahmah/Isk)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.