Sukses

Catatan dari Korban PHP Film `Di Balik 98`

Film Di Balik 98 ternyata tak segagah judulnya. Film debut karya Lukman Sardi ini memilih bermain aman.

Liputan6.com, Jakarta Tahun 1998, sebagaimana 1966, adalah salah satu titik perhentian penting kita sebagai bangsa. Di tahun itu, kita melihat sebuah gejolak sosial dan politik yang pada gilirannya mengubah arah perjalanan bangsa ini, mengakhiri sebuah zaman lama (Orde Baru) dan memulai zaman baru.

Maka, ketika ada sineas mengangkat gejolak sosial politik tahun 1998 dan memilih judul Di Balik 98, ekspektasi yang muncul adalah filmnya membeberkan apa yang terjadi di balik gejolak di tahun itu.

Hal itu, misalnya, yang rasanya membuat film ini jadi perbincangan ramai bahkan sebelum tayang dan ditonton orang banyak. Film ini dikhawatirkan tidak menyuguhkan kebenaran sejati seputar peristiwa di tahun itu.

Well, menurut saya, mereka yang tempo hari sempat khawatir akan isi film Di Balik 98 dan berkesempatan menonton filmnya, pasti bakal bernapas lega. Yang muncul bisa jadi malah reaksi lain lagi. Mau tahu reaksi saya usai nonton?

Ini: "Haaah… begini doang filmnya?"

Untuk memulai kritik ini mari kita mulai dari pilihan kosa kata di judul. Film ini semula punya judul Di Balik Pintu Istana. Entah bagaimana judulnya diubah jadi Di Balik 98. Menonton filmnya tempo hari, judul kedua yang akhirnya dipilih terasa lebih tepat.

Lukman Sardi saat sutradarai Di Balik 98. (dok. MNC Pictures)

Namun, judul itu pun tak meninggalkan prolematikanya tersendiri. Pangkal soalnya terletak pada pilihan frasa "Di Balik". Kata "Balik" menurut kamus memiliki arti “sisi yang sebelah belakang dari yang kita lihat.”

Maka, ketika judul yang dipilih adalah "Di Balik 98", ekspektasi penonton atau calon penonton pada filmnya adalah mendapat suguhan apa yang terjadi di balik peristiwa gejolak sosial-politik tahun 1998. Setidaknya itu ekspektasi saya. Dan saya rupanya terlalu berharap. Ujungnya, saya merasa menjadi korban PHP (pemberi harapan palsu).

***

Harapan pertama adalah pada nama sutradaranya. Film ini debut film panjang Lukman Sardi. Ia bukan sembarang aktor. Sejak mencuri perhatian sebagai rival Soe Hok Gie di Gie (Riri Riza, 2005), Lukman menorehkan namanya sebagai aktor watak kelas wahid generasi baru sinema kita. Dia seperti "Sean Penn-nya Indonesia" yang akting di setiap filmnya tak pernah mengecewakan.

Malang melintang sepuluh tahun sebagai aktor, rupanya sudah tepat bagi Lukman Sardi naik kelas: berada di belakang layar sebagai sutradara. Ini lumrah terjadi. Di Hollywood sana kita menyaksikan Ben Affleck, George Clooney, hingga Angelina Jolie menjadi sutradara dan menghasilkan film-film yang baik.

Meski lumrah, tidak banyak aktor yang memiliki keberanian dan kemampuan menyutradarai film panjang. Apalagi di Indonesia. Jumlahnya segelintir. Ingatan saya yang pendek saat menulis ulasan ini hanya menemukan satu nama, Deddy Mizwar yang membuat Ketika dan Naga Bonar Jadi 2.

Untuk keberanian Lukman Sardi, kita harus mengapresiasi bagaimanapun film panjang yang dihasilkannya. Sebab pula, topik yang diangkat Lukman sebagai film pertamanya juga tak sembarangan. Mengangkat peristiwa 1998 ke film jelas memiliki tantangan tersendiri yang maha berat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tantangan Membuat Film Berlatar 1998

Tantangan pertama adalah soal teknik sinema. Bila diistilahkan, film berlatar 1998 boleh dibilang berjenis "period piece" yang kurang lebih artinya film berdasar peristiwa di masa lalu. Peristiwa sosial politik 1998 terjadi 16 tahun lalu. Hal ini mengandung pra syarat, agar filmnya memenuhi unsur make-believe atau reka percaya, sang Film (dengan F besar) harus berhasil mengajak penonton ke masa itu. Segala mise-en-scene alias apa yang tersaji di layar wajib membawa penonton seolah sedang bertamasya ke tahun 1998.

Tantangan kedua, apa yang terjadi di tahun 1998 hingga kini masih jadi diskursus yang belum usai. Sebuah karya berlatar peristiwa tahun 1998 artinya pula menambah satu lagi materi pada diskursus tersebut. Sebuah tesa akan menghasilkan anti-tesa; sebuah tafsir bakal menghasilkan anti-tafsir.

Lukman Sardi sepatutnya sadar betul saat hendak memfilmkan kisah ini, ia dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: tesis apa yang hendak ia tawarkan seputar peristiwa 1998 lewat filmnya? Dan juga, bagaimana ia menafsirkan peristiwa itu ke dalam bahasa gambar?

***

Untuk tantangan pertama, teknik sinema, Lukman patut dapat pujian. Terlihat betul upayanya membuat film yang otentik sesuai zaman itu, masa 16 tahun lalu. Kerja keras Lukman menghadirkan film berskala epik terlihat. Ia sedikit-banyak mampu menghadirkan zaman itu ke layar lewat bahasa gambarnya.

Kita lihat, misalnya, Lukman mempertontonkan kendaraan-kendaraan militer di sepanjang film. Lihat pula bagaimana ia merekonstruksi adegan demo besar mahasiswa berikut barikade aparat yang menghalanginya. Tengok juga saat ia merekonstruksi kerusuhan Mei 1998. Atau bagaimana ia menggambarkan situasi genting yang dihadapi elit politik masa itu, dari mulai Suharto (diperankan Amoroso Katamsi, kembali jadi Suharto setelah Pengkhianatan G30S/PKI dan Djakarta 1966), Amien Rais, Harmoko, Habibie, Wiranto, Prabowo hingga Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu masih tentara aktif.

Lewat film ini setidaknya kita bisa melihat kemampuan Lukman Sardi menyutradarai sebuah film epik. Hasilnya nggak malu-maluin. Untuk tantangan pertama Lukman patut dapat ponten tujuh.

Nah, di tantangan kedua, menurut saya, nilai Lukman agak kurang. Cukup lima saja. Kenapa?

Begini penjelasannya.

Seperti dibilang di awal tulisan ini, saat bertemu dengan judul Di Balik 98 yang terbayang adalah filmnya mengungkap sesuatu yang tidak diketahui seputar peristiwa di tahun tersebut. Misalnya, JFK karya Oliver Stone berhasil menyuguhkan tesis versi sutradara atas kenapa Presiden Kennedy dibunuh.

Namun tidak begitu dengan Di Balik 98. Lukman memilih bermain aman. Ia menyuguhkan apa yang umumnya sudah diketahui orang seputar peristiwa 1998—terutama bagi mereka yang mengalami tahun tersebut.

Lukman bukan Oliver Stone yang punya keberanian mengangkat hal kontroversial seputar peristiwa kematian Kennedy. Lukman, misalnya, mengabaikan tesis kalau kerusuhan Mei 1998 sejatinya rekayasa alias ada dalang terorganisir di balik kerusuhan itu. Lukman pun tampak sekelumit saja mengangkat perlakuan pada etnis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998. Untuk soal satu ini, Di Balik 98 malah terasa sebuah kemunduran dibanding May (Viva Westi, 2008) yang lebih berani mengangkat derita korban perkosaan saat kerusuhan Mei 1998.

Bagi Lukman makna "Di Balik" pada judulnya adalah kisah sebuah keluarga serta rakyat biasa lainnya di tengah prahara 1998. Kita melihat sebuah keluarga yang terdiri dari seorang mahasiswi universitas Trisakti (diperankan Chelsea Islan) yang giat berdemo, punya kakak seorang pegawai dapur Istana Presiden (diperankan Ririn Ekawati) yang tengah hamil besar, bersuamikan seorang tentara (diperankan Donny Alamsyah). Kita juga melihat si mahasiswi punya pacar satu kampus beretnis Tionghoa (diperankan Boy William). Lalu juga ada seorang pemulung (diperankan Rifnu Wikana) beranak satu, kemana-mana membawa gerobak di tengah Jakarta yang "hamil tua" saat krisis moneter, jelang kerusuhan besar dan suksesi presiden.

3 dari 3 halaman

Tafsir 1998 Menurut Lukman Sardi

Sebetulnya tak ada yang istimewa dari tiga sub plot di atas. Kisah mahasiswi yang punya ipar tentara tujuannya hendak menghantarkan premis ironisme: Bagaimana jadinya bila seorang pendemo punya kerabat tentara?

Pun begitu dengan kisah mahasiswa etnis Tionghoa. Ironismenya adalah, saat kerusuhan melanda, etnis Tionghoa tetap jadi korban, tak peduli apakah ia sebetulnya ikut gerakan perubahan agar bangsa ini jadi lebih baik.

Sedang pada kisah pemulung kita menemukan, pada hakikatnya, rakyat kecil yang seolah tak berarti yang jadi korban.

Jika memang begitu makna “di balik” menurut Lukman Sardi atas peristiwa 1998, sungguh judul yang ia pilih tampak terlalu gagah.

Rifnu Wikana sebagai pemulung. (dok.MNC Pictures)

Jika diperhatikan lagi, Lukman tampak menghabiskan energinya merekonstruksi segala peristiwa penting seputar 1998 berikut para pelakunya. Kita melihatnya repot-repot mengasting sejumlah aktor untuk memerankan elit-elit politik masa itu serta meminta mereka beradegan di momen-momen genting tahun 1998.

Hanya saja ya itu tadi, yang disuguhkan Lukman tak ada bedanya dari yang sudah kita ketahui dari buku maupun kliping koran dan majalah era itu. Pada titik ini, ia bermain aman. Ia tak hendak menyuguhkan hal kontroversial maupun tafsir berbeda. Ia tak berniat menawarkan teori konspirasi versinya atas peristiwa 1998.

Yang disajikannya malah tafsir generik yang dangkal. Tengok misalnya, saat demo di jalan depan kampus Trisakti yang berujung bentrok dengan aparat serta kematian empat mahasiswa. Dalam tafsir Lukman, dari kerumunan demo mahasiswa yang damai, mendadak beberapa orang keluar dan menyerang aparat. Emosi aparat pun tersulut. Sejurus kemudian demo jadi ricuh dan rusuh. Orang-orang yang awalnya menyerang aparat ini tak memakai jas almamater, yang berarti mereka bukan dari kalangan mahasiswa.

Bagi saya, itu tafsir generik. Yang terjadi tak sesederhana ditampilkan Lukman di layar. Hingga kini tak jelas betul apa rusuh demo depan kampus Trisakti dipicu provokator yang bukan mahasiswa atau tidak. Kalaupun menurut tafsir Lukman demo itu dipicu provokotor, ia tak berniat mengelaborasinya lebih jauh, dengan, misalnya, ada pihak yang bermain di air keruh agar demo mahasiswa rusuh, aparat main pentung, bahkan bila perlu ada yang terbunuh.

***

Menonton Di Balik 98 yang segera terpatri dalam ingatan adalah film Djakarta 1966. Film itu rilis 1982, juga enam belas tahun setelah peristiwanya terjadi. Disutradarai Arifin C. Noer film tersebut adalah versi resmi pemerintah Orde Baru atas pergolakan politik tahun 1966.

Karena versi resmi, Djakarta 1966 didanai rumah produksi milik pemerintah, PPFN (Pusat Produksi Film Negara) dengan G. Dwipayana, orang kepercayaan Suharto, salah satu arsitek historiografi Orde Baru, sebagai pemimpinnya.

Djakarta 1966 juga sekadar menyuguhkan rentetan kronologis prahara politik masa itu hingga lahirnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) di tahun 1966.

Tanpa didanai negara, Lukman Sardi bersedia membuat versi resmi kisah 1998. Dibilang versi resmi lantaran tafsirnya atas peristiwa tersebut umum-umum saja, persis sebuah doku-drama. Tafsir model begini tentu berguna bagi generasi yang akan datang bila hendak menengok sejarah bangsa kita tahun itu. Namun, tidakkah hal tersebut kemudian menimbulkan ironinya tersendiri? Entahlah. *** (Ade)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.