Sukses

Kenaikan Inflasi Global Membayangi, Saham dan Obligasi Masih Jadi Pilihan Investasi

Berdasarkan tim riset global Ashmore, kondisi pertumbuhan ekonomi ke depan akan meniru pada 1960-an.

Liputan6.com, Jakarta - Memasuki akhir 2021, inflasi menjadi sorotan. Diprediksi 2022 kemungkinan “booming” ketika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan inflasi berada di atas rata-rata dalam jangka panjang.

Hal ini menjadi sentimen eksternal positif untuk aset emerging market atau negara berkembang lantaran harus didukung belanja modal lebih tinggi dorong pertumbuhan ekonomi.

Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (14/11/202!), dalam 1,5 tahun terakhir dua peristiwa utama terjadi antara lain kebijakan fiskal yang mendorong kelebihan permintaan dipenuhi oleh kejutan pasokan. Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir terjadi krisis energi.

Semua ini mengingatkan kondisi pertumbuhan ekonomi sebelum 1980-an. “Bersandar riset tim global kami, memasuki 2022, pertumbuhan akan meniru pada 1960-an. Inflasi akan lebih fluktuaktif pada masa mendatang, tekanan deflasi belum tetap berlaku,” dikutip dari laporan itu.

Dengan melihat kondisi itu, apa artinya bagi ekonomi negara berkembang terutama Indonesia?

Perubahan yang mencolok untuk krisis sebelumnya, ekonomi negara berkembang jauh lebih siap untuk mengelola kejutan sebelumnya. Bank sentral negara berkembang jauh lebih cepat bereaksi ketika ekonomi global ternyata mengalami kejutan pasokan pada 2021.

"Indonesia mampu menerapkan pelonggaran kuantatif paling berani, program yang diadopsi oleh negara berkembang mana pun,” dikutip dari laporan itu.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tetap Investasi di Saham dan Obligasi

Eksposur yang signifikan terhadap obligasi pemerintah di neraca Bank Indonesia tanpa sentimen arus dana negatif yang ditakuti.

Sebaliknya investor domestik didorong oleh reformasi makroekonomi dan countercyclical kebijakan fiskal dan moneter yang memungkinkan untuk lingkungan ekonomi yang kuat dan menambahkan eksposur terhadap saham.Ini ditunjukkan dari 28 Februari 2020 hingga 27 Oktober 2021, rupiah menguat 1 persen terhadap dolar Amerika Serikat.

Elemen terpenting untuk pengembalian aset di seluruh negara berkembang sekama 2021 bukan hanya kebijakan yang diterapkan tetapi kredibilitas dalam kebijakan mereka.

"Ini tidak akan berubah selama 2022. Pemerintah yang melaksanakan reformasi structural untuk menarik lebih banyak investasi dan risiko fiskal yang lebih rendah akan dihargai dengan siklus yang baik terutama negara mengalami guncangan positif dari sisi perdagangan,”

Sektor komoditas Indonesia akan menjadi salah satu penerima manfaat utama pada 2022. “Kami rekomendasikan investor tetap investasi dalam saham dan obligasi,” dikutip dari laporan Ashmore.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.