Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia segera mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik pada akhir September 2024.
Hal itu sangat disayangkan oleh elemen ekosistem pertembakauan yang memandang bahwa Kementerian Kesehatan terburu-buru menyusun RPMK dan mengabaikan dampak masif dari polemik PP No 28 Tahun 2024 yang saat ini telah menimbulkan kegaduhan.
Selain menambah beban bagi ekosistem pertembakauan, upaya kejar target Kemenkes ini juga dilakukan dengan proses penyusunan yang cacat karena tidak adanya pelibatan pemangku kepentingan terdampak dan konsultasi lintas Kementerian/Lembaga yang menaunginya.
Advertisement
Baca Juga
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI), I Ketut Budhyman Mudara, mengungkapkan kekecewaannya, karena pemerintah abai terhadap prinsip partisipasi bermakna dalam Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang diselenggarakan Kemenkes pada Selasa, 3 September 2024.
"Seharusnya public hearing dilakukan secara fair. Representasi hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan wajib diundang, diberi ruang untuk memaparkan fakta dan realita. Yang terjadi sebaliknya, hanya tiga elemen yang diundang," sebut Budhyman, Jumat (6/9/2024).
"Hari ini kami nekat hadir untuk menunaikan hak kami sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk memberikan masukan walaupun tidak diundang oleh Kemenkes. Sementara elemen pemerhati kesehatan dan berbagai LSM yang mengatasnamakan kesehatan diundang hampir 50 asosiasi," sambungnya.
Â
Abai Terhadap 6 Juta Tenaga Kerja
Budhyman juga menilai, Kemenkes abai terhadap enam juta tenaga kerja yang akan terdampak dari langkah pengetatan Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik dalam RPMK. Padahal di tengah situasi pertumbuhan ekonomi yang melambat, kebijakan yang membabi buta justru akan memperparah jurang pengangguran dan akan menambah beban Pemerintahan yang akan datang.
"2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu pekerja SKT, UMKM hingga pekerja kreatif akan jadi korban pengetatan kebijakan di hilir yang buru-buru disiapkan pemerintah dengan alasan mengendalikan konsumsi tembakau," sebutnya.
"Ada ancaman nyata di depan mata atas jika tidak peka dan hati-hati dalam menyiapkan aturan. Peraturan yang disusun pemerintah tidak bisa hanya mementingkan kesehatan, namun mengabaikan aspek lainnya. RPMK malah mendorong kebijakan kemasan polos yang akan membunuh ekosistem tembakau nasional," sambungnya lagi.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K Muhdi, turut menyampaikan kekecewaannya pada Kemenkes atas Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang tidak adil dan berimbang dalam menerima masukan dari elemen hulu ekosistem pertembakauan.
"Hasil panen tembakau tahun ini sangat baik. Namun, kebijakan pemerintah ini justru membuat petani kecewa dan khawatir hasil produktivitas mereka tidak terserap baik. Akhirnya akan berdampak pada turunnya kesejahteraan petani. Petani tembakau tidak diundang untuk hadir dan menyampaikan masukan. Kemenkes tega sekali dengan petani, mentang-mentang kami rakyat kecil lantas diperlakukan tidak adil," tegasnya.
Advertisement
Petani Sedang Siapkan Panen
Muhdi menyebutkan para petani di sentra tembakau seperti Madura, Ngawi, Bojonegoro, hingga Temanggung sedang menyiapkan panen mereka.
"Ketika luasan areal tanam bertambah, minat petani menanam tinggi, pemerintah malah abai. Bukannya mendorong dan mendampingi agar kesejahteraan petani meningkat, malah menekan dengan peraturan yang sangat mendiskriminasi dan mengancam hajat hidup petani," ucapnya.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan pun turut mewanti-wanti implementasi PP No 28 tahun 2024 juga akan berdampak luas. Ia menekankan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan dampak besar yang diterima oleh rakyat kecil dari penerapan PP 28/2024.
Ruang lingkup pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429-463 dalam PP 28/2024 dinilai akan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal di tanah air.
"Peraturan tersebut dapat berdampak pada PHK massal hingga merosotnya perekonomian petani tembakau dan UMKM," kata Daniel Johan.
"Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah harus membela rakyat kecil. Selain itu industri juga perlu dilindungi karena kalau pabrik bangkrut akibat regulasi yang dikeluarkan, gelombang PHK akan banyak dan dampaknya pengangguran jadi meningkat," tambahnya.