Sukses

7 Oktober HUT ke-267 Yogyakarta, Ini Fakta-Fakta Sejarah Kota Gudeg yang Menarik Disimak

Kota Gudeg Yogyakarta ternyata memiliki peran penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

Liputan6.com, Yogyakarta - Hari Ulang Tahun ke-267 Daerah Istimewa Yogyakarta akan diperingati pada Sabtu(7/10/2023) mendatang. Tentunya peringatan HUT Yogyakarta tidak lepas dari rentetan sejarah panjang berdirinya Yogyakarta.

Bahkan, Kota Gudeg ini memiliki peran penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Dikutip dari laman dikpora.jogjaprov.go.id, berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Perjanjian itu ditandatangani Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mosse sebagai perwakilan pemerintah kolonial Belanda. Berikut fakta-fakta sejarah Yogyakarta yaang menarik disimak sebelum merayakan HUT ke-267 Yogyakarta.

1. Sejarah Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti dikenal juga dengan siasat VOC memecah belah Kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti dianggap menguntungkan Belanda karena Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Sejarah Perjanjian Giyanti bermula dari konflik yang terjadi di Kerajaan Mataram. Konflik berawal dari pertikaian tiga calon pewaris Kerajaan Mataram yakni Pangeran Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.

Dalam silsilahnya, Pangeran Pakubuwono dan Mangkubumi adalah anak dari Amangkurat IV, penguasa Mataram pada 1719-1726. Sedangkan Raden Mas Said merupakan cucu dari Amangkurat IV.

Saat itu, VOC mengangkat Pangeran Pakubuwono II sebagai raja. Pengangkatan ini menimbulkan kecemburuan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

VOC juga memaksa Pangeran Pakubuwono II untuk memberikan mandat penunjukan raja dan petinggi kerajaan harus dengan persetujuan Belanda. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi memberikan perlawanan kepada VOC dan Pakubuwono II sebagai bentuk protes.

Serangan itu membuat Pakubuwono II meninggal dunia. Sepeninggal Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi naik menjadi raja.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Status Tak Diakui

Namun, VOC tidak mengakui status Pangeran Mangkubumi. Situasi semakin memanas saat VOC mengangkat putra Pakubuwono II, Raden Mas Soerjadi atau Pakubuwono III yang masih remaja sebagai Raja Mataram.

Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Raden Mas Soerjadi. Untuk meredam serangan itu, VOC menjalankan siasat licik dengan memecah belah Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.

VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya. Di sisi lain, VOC juga mengirim utusan ke Pangeran Mangkubumi.

VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Raden Mas Soerjadi. VOC kemudian mengundang kedua orang tersebut untuk merundingkan pembagian kekuasaan.

Hasil pertemuan itu kemudian dituangkan dalam Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755.

 

3 dari 4 halaman

2. Sejarah Nama Yogyakarta

Pemberian nama Yogyakarta, tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Mataram Islam. Nama Yogyakarta pertama kali dicetuskan oleh Raja Mataram pada saat itu, Paku Buwono II.

Pemberian nama ini adalah sebagai tindak lanjut dari penggantian nama sebelumnya yaitu Pesanggrahan Garjitawati. Asal-usul nama Yogyakarta sendiri memiliki beragam versi.

Melansir laman Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY, kata Yogyakarta memiliki arti Yogya yang kerta atau Yogya yang makmur. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari dua kata, yaitu Ayogya atau Ayodhya yang berarti "kedamaian" dan Karta yang berarti "baik".

Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India, epos Ramayana terjadi. Menurut kepercayaan, Ngayogyakarto Hadiningrat adalah nama yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk menyebut wilayah kerajaan yang didirikannya.

Namun, agar lebih singkat, maka banyak orang kemudian hanya mengucapkan kata Ngayogyakarto. Kemudian lidah orang Belanda sebagai penjajah bangsa pada saat itu sulit menyebutkan kata "Nga" di awal kata.

Maka pengucapan Ngayogyakarto saat itu sering hanya diucapkan Yogyakarto oleh orang-orang Belanda. Hal ini akhirnya diikuti oleh orang pribumi.

 

4 dari 4 halaman

3. Sejarah Bergabungnya Yogyakarta

Pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengucapkan selamat kepada Soekarno dan Hatta atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Mendengar ucapan selamat itu, secara tidak langsung Sultan HB IX dan Paku Alam VIII menyatakan dukungan mereka terhadap Republik Indonesia.

Warga Indonesia, termasuk Yogyakarta juga terlihat sangat antusias setelah Proklamasi Indonesia dilakukan. Antusiasme mereka dapat dilihat salah satunya dari banyak bermunculan surat kabar dan majalah Republik di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta.

Antusiasme tersebut kemudian membuat Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit yang disebut Amanat 5 September 1945. Isi dari Amanat 5 September 1945 adalah pernyataan penggabungan Kesultanan Yogyakarta ke dalam NKRI.

Bergabungnya Yogyakarta dalam NKRI lantas membuat Indonesia menjadi negara yang baru merdeka dengan memiliki wilayah kedaulatan. Setelah itu, Soekarno pun memberi payung hukum khusus dan status istimewa terhadap Yogyakarta sebagai daerah dalam Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.