Sukses

Jalan Panjang Proyek Kereta Api di Sulawesi, Warga Kini Bisa Menikmati

Liputan6.com, Makassar - Sejak groundbreaking pertama pada 12 Agustus 2014 silam, pembangunan kereta api pertama di Sulawesi pun kini telah rampung. Megaproyek jalan baja itu menghubungkan wilayah Kota Parepare hingga Kota Makassar di Sulawesi Selatan. 

"Naik kereta api di Sulawesi? Sekarang bukan lagi hanya mimpi. Relnya sudah terbangun, keretanya pun sudah beroperasi," kata Presiden Joko Widodo dalam unggahannya di akun YouTube-nya, Jumat (27/1/2023).

Baru-baru ini, uji coba pun telah dilakukan untuk melayani penumpang kereta api rute Stasiun Garongkong di Kabupaten Barru hingga Stasiun Mangilu di Kabupaten Pangkep. Warga pun ramai berbondong-bondong untuk mengikuti uji coba tersebut. 

"Saat ini, kereta api pertama di Sulawesi di jalur Makassar-Parepare sudah diuji coba melayani penumpang rute Stasiun Garongkong di Kabupaten Barru sampai Stasiun Mangilu di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan," tulis Jokowi dalam takarir unggahannya. 

Jokowi menjelaskan, meski saat ini jalur kereta api tersebut hanya menghubungkan lima kabupaten-kota di Sulawesi Selatan, di masa mendatang proyek jalan baja itu akan terus dilanjutkan hingga ke Manado di Sulawesi Utara. 

"Di masa mendatang, kereta api akan menyambungkan kota dan daerah dari Makassar di Sulawesi Selatan hingga Manado di Sulawesi Utara," jelasnya. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejarah Kereta Api di Sulawesi

Dilansir dari situs resmi Kereta Api Indonesia (KAI), proyek kereta api di Sulawesi  dari pengusulan pertama hingga realisasi pembangunan setidaknya butuh waktu 13 tahun lamanya. Rencana mewujudkan jalur kereta api di Sulawesi sebenarnya sudah muncul sejak 2001. 

Pada 2002 dan 2003 pemerintah menyelenggarakan studi kelayakan untuk lintas Manado–Bitung dan Makassar–Parepare. Dua tahun kemudian kajian studi diperluas menjadi Makassar–Takalar–Bulukumba. Pada 1 Juni dan 28 Desember 2012, Kementerian Perhubungan dan Pemda Sulawesi Selatan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian Nasional di Pulau Sulawesi.

Rencana pembangunan pun semakin dimatangkan dengan keluarnya hasil studi terkait Detail Engineering Design (DED) pembangunan jembatan kereta api dari Makassar hingga Parepare disusul hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada rute yang sama pada 2014.

Sebenarnya keberadaan jalur rel di Sulawesi bukan barang baru. Berdasarkan buku Nederlandsch Indische Staatsspoor en Tramwegen (1921) halaman 108 menerangkan bahwa studi kelayakan jalur perkeretaapian oleh swasta sudah dimulai sejak 1915. Dari hasil studi kelayakan itu, pembangunan rel kereta api sebenarnya sudah bisa dimulai tapi tidak sesuai harapan investor lantaran tidak bisa memberi keuntungan bagi swasta dan para investor hingga pemerintah pun berkesimpulan bahwa jalur perkeretaapian akan dibangun oleh negara.

Pada 1917 penelitian teknis lapangan versi pemerintah dilakukan untuk lintas Makassar–Takalar dan Makassar–Maros–Tanete–Parepare–Sengkang. Dari hasil studi mengungkap bahwa yang paling realistis dan sesuai dengan bujet negara adalah pembangunan dan eksploitasi jalur trem.

Sesuai Staatsblad Nomor 224 tahun 1892, pembangunan jalur trem tidak serumit jalur kereta api, sehingga meski kecepatan lebih lambat dan daya angkut lebih sedikit, biaya yang dikeluarkan lebih hemat dan efisien dari pada membangun jalur kereta api.

Pada 1918 desain awal lintas pertama jalur trem uap Makassar–Maros selesai dibuat. Setahun kemudian rancangan awal rute Maros–Tanete selesai. Pada tahun yang sama Gubernur Jenderal mengajukan anggaran tambahan kepada Menteri Jajahan Belanda. Anggaran pun disetujui sekaligus permintaan kepada pemerintah Hindia Belanda agar segera menyelenggarakan penyelidikan awal tentang potensi ekonomi pembangunan jalur perkeretaapian di Minahasa Sulawesi Utara mulai 1920.

Melalui undang-undang yang disahkan parlemen Belanda pada 22 Desember 1919 yang dicatat dalam Lembaran Negara (Stbl.) Hindia Belanda nomor 53 tahun 1920, proyek pembangunan jalur trem uap Takalar–Makassar–Maros resmi dimulai. Pada 18 Maret 1921 parlemen Belanda kembali mengesahkan undang-undang yang dicatat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Nomor 200 sebagai landasan hukum pembangunan jalur trem uap Maros–Tanete.

Pada 1 Juli 1922, rel antara Makassar (Stasiun Pasar Butung)–Takalar selesai dibangun dan setahun kemudian trem uap resmi dibuka untuk umum. Lintas ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir yang dibangun pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan rute Maros–Tanete yang sudah disiapkan desainnya tidak pernah terlaksana pembangunannya.

Ketiadaan industri perkebunan di Sulawesi dan belum masifnya produksi tambang nikel menyebabkan jalur trem Makasar–Takalar hanya bertahan 7 tahun. Sejak 1930 layanan kereta trem uap terpaksa ditutup karena subsidi dari Staatsspoor en Tramwegen (jawatan kereta api & trem negara di Jawa) untuk Staatstramwegen op Celebes dihentikan akibat krisis ekonomi dunia Depresi Besar pada 1929. Selain faktor krisis ekonomi yang melanda dunia pada saat itu, ada beberapa hal lain yang menjadi sebab operasional trem uap di Sulawesi pada zaman Belanda menjadi kurang menguntungkan.

Sejak berlakunya Perjanjian Bongaya tahun 1667 yang diperbarui pada 1824, tidak serta merta memudahkan kolonisasi Belanda atas pulau Sulawesi. Sering terjadi gejolak politik dalam wujud perlawanan rakyat lokal terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Situasi yang tidak kondusif tersebut menyebabkan pemerintah harus menghadapi kendala fundamental yaitu keterbatasan tenaga yang ahli di bidang pemerintahan, infrastruktur, dan pendidikan ala Barat yang mau ditugaskan ke wilayah ini. Investasi swasta dalam bentuk pembukaan lahan perkebunan pun tersendat. Boleh dibilang bisnis industri perkebunan di Sulawesi tidak seramai seperti di Jawa.

Walau tidak memiliki perkebunan besar, pulau Sulawesi memiliki kandungan nikel dalam jumlah besar. Pada 1909, EC Abendanon, juga ahli geologi berkebangsaan Belanda, menemukan bijih nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Meski demikian usaha eksplorasi tambang nikel baru dilakukan secara serius pasca Belanda hengkang dari Indonesia—oleh PT. International Nickel Indonesia (INCO) sejak 1968.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.