Sukses

Senyum Bahagia 3 Sekondan Maestro Senandung Jolo di Tepian Sungai Kumpeh Jambi

Kini ketiga maestro patut berbangga. Melalui program Dana Indonesiana Kemendikbud itu, menjadi harapan bagi mereka dalam pelindungan seni tradisi Senandung Jolo di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi.

Liputan6.com, Jambi - Selepas asar di bawah payung yang melindunginya dari guyuran hujan, Wak Zuhdi berjalan agak cepat menuju pelataran SDN 088/IX Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Kamis (29/12/2022). Ia menenteng tas kain merah marun berisi beberapa bilah kayu mahang (Macaranga mauritiana).

Setibanya menginjakan kaki di pelataran sekolah dasar itu, kedua sekondannya; Nek Maryam dan Wak Degum sudah menunggunya. Begitu pula tim Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM) Senandung Jolo telah menanti ketiga maestro ini menyaksikan Senandung Jolo yang akan dipentaskan oleh penutur muda.

Meski sore di penghujung tahun ini diguyur hujan, tapi tak menyurutkan warga untuk menyaksikan pementasan karya budaya Senandung Jolo. Mereka datang berduyun-duyun dan berkerumun di bawah tenda.

Akhirnya tanpa basa-basi dan seremoni, Senandung Jolo, sebuah karya budaya tradisi lisan yang berkembang di Tanjung--tepian hilir Sungai Kumpeh itu dipentaskan oleh anak-anak dan penutur muda. 

"Taktak tung… tak-tak tung-tak-tak tung… tak-tak tung..." irama monoton yang dihasilkan instrumen musik dari bilah-bilah kayu mahang yang dipadukan dengan gendang yang dipukul para pengiringnya.

Beberapa saat kemudian, irama ketukan kayu mahang itu mangantar para remaja besenandung. Kesenian ini pada saat dipertunjukan, pemain musik dan penyanyinya selalu dalam posisi duduk.

"Dinandung... Nandunglah sayang... Kalaulah tuan naik perahu janganlah lupo lah dek membawa jalo... Kalaulah tuan naik perahu dek oi... Janganlah lupolah dek membawa jalo..."

"Kalaulah tuan inginlah tahu... Ikolah dio ikolah dio tubasolah tuan... Senandunglah jolo..."

Ini lah sepenggal syair pembuka Senandung Jolo. Para penutur muda itu kemudian saling berbalas-balasan sampiran dan isi syait yang disenandungkan.

Sebanyak 20 generasi penutur muda terlibat dalam pementasan Senandung Jolo yang digelar tim Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM) yang diinisiasi oleh Mutia Lestari Zurhaz dengan dukungan Dana Indonesiana Kemdikbusristek dan LPDP. Selain pelatihan bersama maestro, program ini diawali dengan pendokumentasian aktivitas sehari-hari para maestro, pewarisan tuturan, dan pembuatan alat musik.

Zulfikar, salah satu generasi penutur muda mengaku bangga bisa turut serta dalam pementasan. Meski latihan yang cukup singkat ia mampu bersenandung dan menyedot kagum dari hadirin.

“Latihan sekitar setengah bulan, kalau untuk menghapal syairnya mudah, senandungnya agak sulit,” kata Zulfikar, kini duduk dibangku kelas 2 sekolah menengah pertama.

Ketika pementasan Senandung Jolo berlangsung, sesekali terlihat senyum bahagia tiga sekondan maestro Senandung Jolo dari Sanggar Mengorak Silo: Wak Zuhdi, Wak Degum, dan Nek Maryam.

Mereka nampak berbangga. Sebab seni tradisi ini yang sebelumnya sempat mati suri, kini senandung hidup kembali hidup dan dituturkan oleh generasi penerus mereka.Dia bersyukur kelak generasi muda dikampungnya konsisten meneruskan tradisi bajolo. “Supaya seni moyang (senandung jolo) ini tidak mati,” kata Nek Maryam.

Usai pementasan, kemudian digelar pemutaran film yang bercerita tentang aktivitas maestro Senandung Jolo. Ketiga maestro dalam kesehariannya beraktivitas seperti memancing dan ke kebun. Pun sama seperti orang sepuh lainnya, ketiga maestro aktivitas sehari-harinya ini juga memomong cucu.  

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Peran Penting Generasi Muda Melestarikan Kebudayaan

Pada tahun 2014, seni tradisi Senandung Jolo ditetapkan pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tingkat nasional. Kesenian ini tercatat melalui nomor registrasi 2011001832 dengan domain Tradisi dan Ekspresi Lisan.

Namun seiring dengan diakuinya kesenian ini sebagai warisan budaya, sayangnya Senandung Jolo kehilangan tenar. Di tengah gempuran modernisasi, kalangan anak muda di Tanjung sedikit yang mengenal seni tradisi ini dan maestronya.

Menurut Mutia Lestari Zurhaz, maestro punya kekuatan dan menjadi tarik bagi masyarakat. Begitu dengan keberadaan Senandung Jolo dan maestro, masyarakat mesti merawa tradisi yang dikenalkan nenek moyang.

“Jika ketiga maestro Senandung Jolo ini nanti tidak ada lagi. Sementara Senandung Jolo belum terawisi dengan baik, maka nantinya Senandung Jolo hanya menjadi nama yang menari diingatan kita,” kata Mutia.

Tiga maestro senandung jolo: Maryam (tengah), Degum (kiri), Zuhdi (kanan). (Liputan6.com/Taufik untuk Gresi Plasmanto)

Mutia mengatakan, generasi muda harusnya menjadi subjek. Mereka punya peran penting untuk melestarikan kebudayaan di tengah industrialisasi budaya luar.

Melalui pementasan dan pemutaran film ini bukan akhir dari semangat pelestarian karya budaya yang tumbuh di Tanjung yang berada tepat hilir tepian Sungai Kumpeh--anak sungai Batanghari yang membawa peradaban penting bagi tanah Jambi.

“Daerah Tanjung ini punya potensi tradisi dan cagar budaya di mata kita. Jadi sama-sama mesti kita jaga jangan sampai rusak dan hilang dicuri orang,” kata Mutia.

Selain itu, Mutia mengatakan sebagai penyelenggara program Dana Indonesiana, dia berharap Pemkab Muaro dan Pemprov Jambi bersama-sama melakukan pelindungan karya budaya ini.

Mutia berharap pelindungan ini bukan akhir dari semangat bersama untuk saling berbagi, mengisi, dan membesarkan. Sebagai fasilitator pemerintah harus memberi penguatan regulasi terkait upaya regenerasi penutur muda ini.

Kelurahan Tanjung, asal kesenian tradisi ini menjadi sebuah daerah diujung Kabupaten Muaro Jambi. Dari Kota Jambi menuju daerah ini dapat ditempuh melalui jalur darat dengan memakan waktu sekitar 4 jam perjalanan. Jangan harap jalan menuju daerah tersebut mulus. Selama ini diperjalanan kita akan disuguhkan jalan rusak dan berlubang.

 

3 dari 3 halaman

Jolo

Tidak ada catatan waktu yang pasti tentang awal mula keberadaan kesenian Senandung Jolo ini. Dahulu masyarakat Tanjung hanya menganal kata jolo atau bajolo, yang dalam bahasa Indonesia mereka artikan berbalas pantun.

Senarai kisah, dulunya kesenian ini hanya berfungsi sebagai curahan hati yang yang diungkapkan warga ketika aktivitas beumo--menunggu sawah atau pada saat berada di perahu seusai memasang alat tangkap ikan.

Seiring berkembangnya zaman, jolo dikenal dengan nama Senandung Jolo, sebuah sebutan baru yang datang entah dari mana.

Sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Provinsi Jambi Nukman menjelaskan, jolo menjadi idiom lokal untuk menggantikan ungkapan perasaan seseorang. Ungkapan perasaan itu kemudian dituturkan dengan cara menyenandungkannya.

Melihat senandung jolo, kata Nukman, kita akan melihat dari dua sudut pandang. Pertama sebagai sebuah sastra tutur dalam bentuk pantun yang dinyanyikan.

"Kedua senandung jolo sebagai sebuah instrumen musik," ujar Nukman.

Senandung Jolo memiliki kekuatan pada etnomunikologi, yakni instrumen musik yang hasilkan dari alat musik kayu mahang dan mempunyai bunyi unik. Kini di tengah kerusakan ekologi dan alih fungsi hutan jadi kebun sawit, kayu mahang mulai sukar ditemukan.

“Kayu mahang ini seperti kayu ajaib. Berkat kayu inilah kami bisa naik pesawat dan membawa kami ke Jakarta,” kata Wak Zuhdi seraya bekelakar.

Wak Zuhdi, Wak Degum, dan Nek Maryam, adalah trio maestro Senandung Jolo yang masih konsisten mewarisi tradisi di desanya. Dimasa usia senjanya, ia tak lelah mengajarkan generasi penerus di kampungnya merawat kesedian tradisi. Kelak semoga Senandung Jolo bertahan dan terus mengiringi perjalanan belantika seni tradisi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.