Liputan6.com, Denpasar - Hari Raya Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali dalam penanggalan Bali. Sejarah dan prosesi hari raya sangatlah bermakna bagi masyarakat Hindu di Pulau Dewata.
Dalam kalender Bali, satu bulan terdiri dari 35 hari. Galungan jatuh pada Rabu Kliwon. Istilah khusus untuk menyebut hari itu adalah Budha Kliwon Dungulan atau hari Rabu Kliwon dengan wuku Dungulan, yang bermakna: hari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).
Baca Juga
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan "dungulan", yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Advertisement
Pada tahun ini, Hari Raya Galungan jatuh pada Rabu 8 Juni 2022. Hari Raya Galungan memiliki makna khusus bagi umat Hindu di Bali, yang kemudian dimaknai sebagai kemenangan dharma atau kebaikan melawan adharma atau keburukan.
"Masing-masing memberi makna yang berbeda terhadap perjalanan Galungan sampai Kuningan. Tyang sendiri memiliki cara membaca maknanya dengan berbeda," ujar Wayan Mustika, seorang dokter dan penulis buku kepada Liputan6.com, Selasa, 7 Juni 2022.
Runutan Upacara Menyambut Hari Raya Galungan
Menurut pandangan Wayan Mustika, upacara menyambut Hari Raya Galungan di antaranya:
Sugihan Tenten
Kapan saja kita mulai tersadar, bangkit, bangun (enten) dari mimpi-mimpi duniawi yang maya ini, segeralah basuh wajah kita agar segar dan mampu melihat kehidupan ini secara lebih jernih.
Sugihan Jawa
Mengandung arti untuk segera bersihkan semua hal di luar diri kita, palemahan dan parahyangan.
Sugihan Bali
Bila semua yang di luar sudah tampak bersih dan suci, lanjutkan untuk berproses membersihkan dan menyucikan diri sendiri.
Rahina Panyekeban
Mulai masuk ke dalam ruang hening, merenung dalam tapa brata, meresapi perjalanan diri selama 6 bulan terakhir kehidupan.
Rahina Penyajaan
Membuat jaja uli, jaja begina, satuh, iwel. Pesannya, temukan jati diri, agar tahu dari mana sesungguhnya kita berasal (jaja uli = uli dija sesajane), untuk apa sesungguhnya kerja kita di bumi ini (jaja begina, apa sajane gegina di gumine). Setelah memahami semua itu, maka bekal kesadaran itulah yang dibawa seumur hidup sebagai pegangan diri (satuh iwel; satuwuh maurip anggen gegambel).
Rahina Penampahan
Berbekal semua pemahaman yang kita bawa (nampa), maka kita lenyapkan kemalasan (tamas, babi) agar bisa melaksanakan semua kewajiban di kehidupan.Karena babi di sini sebagai perlambang kemalasan yang mesti dihilangkan.
Rahina Galungan
Dengan menjalankan semua Dharma atau kewajiban dengan benar, dari sana kita akan bisa berjalan menuju terang atau galang:Â Ga-lungan.
Dharma bisa diartikan kebenaran, bisa diartikan kewajiban. Di masa lalu, kewajiban para petani telah membuahkan hasil, sehingga dihaturkan terima kasih kepada Naga Basuki dan Anantaboga melalui pemasangan penjor persembahan.
Di dalam diri, kemenangan Dharma bisa diartikan kemenangan pikiran kita melawan sifat-sifat angkara murka dalam diri. Ritual sembahyangnya ada dengan upakara (hasil karya tangan untuk mendekat pada Tuhan), sebagai wujud terima kasih atas segala berkah kesuburan bumi yang memberi segala hasil panen. Bisa juga sembahyangnya dengan sembahyang biasa di hadapan Tuhan yang ada di tempat suci di rumah dan di desa adat.
Rahina Kuningan
Di puncak perjalanan pada hari yang sempurna (10) hari setelah Galungan, temuilah pengetahuan (kauningan) luhur di mana para leluhur (warisan sifat luhur) telah datang ke dalam batin kita, untuk menjadi cemeti (tér) yang memotivasi kita kembali melangkah dalam dharma, berbekal (andong) pengetahuan (kauningan), sebagai perisai (tamiang) saat berhadapan dengan energi-energi gelap di kehidupan.
Â
Advertisement
Penjor Sebagai Simbol
Umat Hindu memiliki tradisi menyambut Hari Raya Galungan dengan memasang penjor pada Hari Selasa Anggara Wage Dungulan (Penampahan Galungan) setelah jam 12 siang.
"Penjor itu simbol naga basuki dan anantaboga (lapisan bumi dan sungai) yang telah memberi berkah pangan. Jadi, penjor persembahan itu sebagai simbol ungkapan terima kasih atas hasil bumi," pungkas Wayan Mustika yang juga pengasuh Komunitas Rumah Semesta.
Â
Simak video pilihan berikut ini: