Sukses

Manisnya Yogyakarta, Kota Gula yang Kini Tinggal Sejarah

Kota Yogyakarta mungkin kini akrab disebut sebagai Kota Wisata, padahal dulu sempat disebut Kota Gula.

Liputan6.com, Yogyakarta - Kota Yogyakarta mungkin kini akrab disebut sebagai Kota Wisata. Namun, hampir lebih dari satu abad yang lalu Yogyakarta dikenal sebagai Kota Gula.

Ketika itu, banyak pabrik gula yang pernah berdiri di kota gudeg ini. Ada 19 pabrik gula yang pernah berdiri di Yogyakarta, meskipun sebagian besar pabrik-pabrik ini hanya tersisa fondasi bangunannya saja.

Dikutip dari berbagai sumber, produksi gula yang melimpah di Yogyakarta berefek pada manisnya pundi-pundi gulden yang diserap Belanda. Gula bukanlah komoditas baru yang melejit di Nusantara.

Meski buku sejarah berulang kali menceritakan rempah-rempah yang menjadi incaran kaum penjajah, ternyata gula juga tidak luput dari incaran.

Cornelis de Houtman penjelajah asal Belanda yang pertama kali tiba di Nusantara pun menyebut soal industri gula rakyat dalam catatannya.

Sebelum era kolonial, gula diproduksi dengan cara tradisional menggunakan alat dari kayu dan mesin giling bertenaga kerbau. Ada pula gula yang diperoleh dari tetesan air kelapa, aren, dan buah siwalan.

Hingga akhirnya pada 1619, Gubernur Jenderal van Diemen tertarik dengan industri gula Indonesia. Sejarah industri gula di Yogyakarta rupanya tak manis layaknya gula bagi masyarakat pribumi.

Adanya cultuur stelsel mulai 1830 memicu produksi gula yang kian digiatkan mengingat gula menjadi salah satu komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah Belanda. Sekitar 20 persen tanah di setiap desa wajib ditanami sesuai ketentuan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Komoditas Ekspor

Dikutip dari buku Suikerkultuur: Jogja yang Hilang, pada 1840 industri gula mencapai 77 persen dari nilai total eskpor dan menempati urutan pertama dari komoditas unggulan di Hindia Belanda. Industri gula berkembang pesat di pulau Jawa, termasuk Yogyakarta.

Wieseman dan Broese van Groesneau merupakan pendiri pabrik gula fase awal di Yogyakarta. Ia mendirikan pabrik gula Bantul pada 1861, yang kemudian diiikuti Stefanus Barends di pabrik gula Gondanglipuro (1862), dan George Weijnschenk di pabrik gula Padokan (1864) serta Barongan (1867).

Langkah ini lalu diikuti oleh para pengusaha lainnya yang mendirikan pabrik gula di Yogyakarta. Banyaknya pabrik gula yang berdekatan memicu munculnya julukan Yogyakarta sebagai Land of Sugar.

Meskipun pabrik-pabrik gula tersebut telah mengalami perubahan nasib seiring bergulirnya zaman, jejaknya masih dapat ditelusuri hingga saat ini.

Seperti, pabrik gula Bantul kini bangunannya menjadi SMAN 2 Bantul, area lokasinya sekarang menjadi pemukiman dan hanya menyisakan bekas saluran irigasinya saja. Demikian pula pabrik gula Wonocatur yang bertransformasi menjadi museum Dirgantara.

 

3 dari 4 halaman

Madukismo yang Bertahan

Dari berbagai pabrik gula yang pernah berdiri di setiap sudut Yogyakarta. Pabrik gula Sewugalur menjadi bangunan yang masih dapat ditelusuri di lapangan.

Jejak area pabrik tersebut menyisakan bekas struktur cerobong, struktur fondasi mesin, saluran pembuangan limbah, beberapa bangunan bekas rumah dinas pegawai, dan makam Belanda. Pabrik gula Padokan menjadi satu-satunya pabrik yang bernasib lain dari yang lain sebab hingga kini masih berdiri.

Meski sempat mengalami kerusakan parah, pabrik tersebut dibangun ulang di era Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan nama Madukismo pada 1955.

Area pabrik gula yang dibangun Belanda tidak hanya mencakup bangunan pabrik saja. Selain membangun pabrik, dibangun pula kompleks perumahan bagi kepala pabrik dan karyawannya, serta permukiman sederhana bagi para buruh.

Pengelola pabrik juga membangun sarana kesehatan seperti klinik atau rumah sakit, saluran irigasi, sarana pendidikan atau sekolah, dan lahan pemakaman. Tidak mengherankan jika keseluruhan area pabrik teramat luas.

Kehancuran pabrik gula di Yogyakarta diawali dari krisis malaise yang melanda di tahun 1929 dan memukul perekonomian secara global. Dari 19 pabrik yang ada, hanya enam yang mampu bertahan yakni pabrik gula Tanjungtirto, Cebongan, Medari, Gondanglipuro, Padokan, dan Gesikan.

Pabrik lain ada yang beralih fungsi menjadi tempat penggilingan beras seperti pabrik gula Barongan, Demakijo, Kedaton Pleret, dan Wonocatur. Sisanya pun bernasib serupa dengan strategi alih fungsi sebagai strategi bertahan dari kondisi krisis dan ada yang kemudian dibiarkan kosong karena kekurangan modal guna memutar roda perekonomian.

 

4 dari 4 halaman

Kian Suram pada Penjajahan Jepang

Nasib pabrik gula kian suram di masa kolonialisme Jepang. Aset pabrik yang masih bertahan dikuasai Jepang dan sumber daya ekonominya diarahkan untuk menunjang kepentingan Jepang di Perang Dunia II.

Era pabrik-pabrik ini juga bergulir di periode pasca kemerdekaan, semakin menambah gelap riwayat pabrik gula. Banyak bangunan yang menjadi objek taktik bumi hangus, termasuk pabrik.

Hal ini dimaksudkan guna mencegah pergerakan musuh agar bangunan tidak jatuh ke tangan musuh. Seiring berjalannya waktu, pasca situasi damai selepas Konferensi Meja Bundar, nasib pabrik gula semakin sunyi.

Madukismo seolah berdiri sendiri bagai wakil terakhir dari belasan teman-temannya yang telah tiada.

 

Penulis Tifani

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.