Sukses

Menilik Relevansi 'Seloko Salam Sembah' dalam Era Normal Baru

Salam sembah menjadi alternatif diterapkan dalam era normal baru. Salam sembah bagi masyarakat Jambi sudah dikenal lama. Hal itu tertuang dalam tradisi lisan seloko Jambi.

Liputan6.com, Jambi - Masyarakat Indonesia dalam menyapa dan berinteraksi biasanya diawali dengan bersalaman atau berjabat tangan. Namun, pandemi Covid-19 harus diakui telah mengubah kebiasaan jabat tangan.

Beraktivitas di tengah pandemi Covid-19, kebiasaan jabat tangan yang telah menjadi standar itu seketika mesti dihindari karena bisa membantu penyebaran virus yang ditularkan antarmanusia.

Apalagi saat ini fase normal baru (new normal) tengah diimplementasikan di Indonesia. Hal itu mendorong perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal dengan menerapkan protokol kesehatan, salah satunya physical distancing, dan tidak berjabat tangan.

Jika jabat tangan tidak disarankan, lantas adakah cara lain agar kita mempertahankan keakraban ketika bertemu dengan teman atau kerabat? Salah satu alternatifnya salam sembah Jambi.

Itulah salam yang lahir dari kearifan lokal. Dari segi kebudayannya menarik untuk disimak, bahwa salam sembah dikenal masyarakat Jambi sudah sangat lama. Bahkan, tak hanya Jambi, salam sembah juga telah lama dikenal oleh masyarakat di beberapa daerah Nusantara.

Menyilau kearifan lokal masa lalu, salam sembah di Jambi ini bahkan dituangkan dalam seloko adat Jambi. Seloko Jambi merupakan salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Jambi yang diwariskan turun-temurun oleh tetua dulu.

Seloko yang berkaitan ungkapan salam sembah ini berbunyi: Kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepalo nan satu, kami hatur sembah nan sebuah. Ampun-ampun kepado yang tuo, minta maaf kepado yang banyak.

Seloko yang berlafal Kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepalo nan satu. Ungkapan ini menunjukkan salam dalam gerakan menyembah (kedua tangan ditangkupkan), dan kepala menduduk.

Ungkapan ini juga memiliki maksud untuk memberi penghormatan salam secara santun. Biasanya seloko salam sembah ini diungkapkan untuk membuka suatu acara atau pertemuan adat.

"Menyusun jari nan sepuluh kemudian menundukkan kepala. Dari ungkapan seloko tersebut bisa kita lihat ini ada tindakan kesantunan," kata Sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi, Nukman kepada Liputan6.com, Kamis (11/6/2020).

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Relevan pada Era Normal Baru

Meski seloko ungkapan salam sembah pada masa itu muncul bukan karena latar belakang pandemi atau suatu hal. Namun, salam sembah, menurut Nukman, relevan diterapkan pada era tatanan kehidupan normal baru, khususnya untuk pengganti jabat tangan.

"Dari ungkapan seloko tersebut, dapat dipahami salam sembah itu bukti penghormatan yang sangat santun untuk berinteraksi atau menyapa satu sama lain. Jadi untuk kaitannya normal baru, gerakan salam sembah bisa diterapkan," ujar Nukman.

Nukman menjelaskan, dalam aktivitas tradisi atau prosesi seloko adat Jambi, misalnya saat upacara seserahan adat pengantin. Masing-masing kedua belah pihak mempelai yang diwakilkan juru bicara akan berseloko.

"Bahkan aktivitas tradisi itu terjadi, saat berseloko itu ada jarak. Dan diawali dengan salam sembah kemudian diikuti dengan ungkapan-ungkapannya," ujar Nukman.

Dalam sebuah makalahnya, Nukman mengatakan, seloko hadir dan diciptakan para tetua Jambi dulunya, sebagai sebuah ungkapan yang bersumber dari tradisi, hukum, dan norma adat istiadat. Seloko sebagai bagian dari tradisi sehingga mempunyai peran menjadi penyadar bagi masyarakatnya.

Seloko adat tidak hanya dipakai sebagai bentuk tegur-sapa dan peringatan-peringatan semata. Namun, seloko juga telah digunakan dalam berbagai bentuk upacara kerajaan sejak dulunya.

"Seloko selain berisikan rumusan, dalil, pedoman, dan petunjuk pelaksanaan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Seloko juga menyiratkan beberapa hal yang berkenaan dengan beberapa konsep, seperti kesejahteraan masyarakat, doktrin, pendidikan dan keadilan," kata Nukman.

 

3 dari 3 halaman

Pendekatan Persuasif Menuju Normal Baru di Jambi

Provinsi Jambi belum menerapkan era normal baru. Namun, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jambi mulai melakukan pendekatan persuasif guna meningkatkan kedisiplinan warga dalam aktivitasnya.

Pendekatan persuasif yang dilakukan Gugus Tugas itu untuk menuju tatanan kehidupan normal baru. Kedisplinan warga menjadi penting dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.

"Konsep ini pendekatan ini perlu kita kedepankan, masyarakat harus disiplin protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19 memasuki masa normal baru," kata Ketua Gugus Tugas Covid-19 Jambi, Fachrori Umar.

Fachrori Umar yang juga Gubernur Jambi itu mengatakan, pendekatan persuasif berperan untuk mendorong warga melaksanakan protokol kesehatan. Dia juga mengimbau agar warga tidak terpaksa menerapkan itu karena untuk kebaikan bersama.

"Semua jajaran yang terlibat dalam operasi pendisiplinan protokol kesehatan dapat memberikan contoh yang baik. Mari kita sama-sama disiplin," kata Fachrori.

Berdasarkan update data pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Jambi per 11 Juni 2020 mencapai 105 orang. Pasien sembuh 27 orang, dan pasien yang masih menjalani perawatan sebanyak 78 orang.

Pandemi Covid-19 belum bisa diprediksi kapan berakhir. Kehidupan normal masyarakat pun kini tengah diuji. Aktivitas normal pun berubah, masyarakat dituntut untuk dispilin mencegah penyebaran pandemi global.

Beselamah idak patah, besetenang idak hanyut.

Seloko di atas memiliki ungkapan sikap atau tindakan tabah saat menghadapi masalah atau ujian. Dan memang pandemi Covid-19 telah menguji kehidupan. Kita pun mesti tabah, jangan gegabah. Semua bisa berperan untuk mencegah penularan wabah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.