Sukses

Buton dan Setumpuk Adat Tua

Ada banyak cara untuk menyelami sejarah. Buton, kabupaten di Sulawesi Tenggara punya banyak tarian yang dapat menyikap lapisan sejarah.

Ada banyak cara untuk menyelami sejarah. Buton, kabupaten di Sulawesi Tenggara punya banyak tarian yang dapat menyikap lapis demi lapis sejarah yang terserak.

Seperti tayangan Potret Liputan6 SCTV Senin (9/9/2013) dini hari, butuh lebih dari 1000 penari untuk mengurai jejak Buton. Seperti saat digelar Adat Tua di areal Takawa, Pasarajo. Tarian kolosal ini merupakan gabungan dari tari Potimbe, Panare, Lawati Kambero, dan Ngibi. Lima tarian tradisi di Buton.

Masing-masing tarian memiliki tema sendiri. Tapi yang paling atraktif adalah tari perang, yang berkisah kepahlawanan masyarakat Kapontori, dan Wabula, suku tertua di Buton menaklukan bajak laut di bawah pimpinan Labontio.

"Secara fisik, orang Buton sejak lahir sudah dilatih kepemimpinan. Sebelum menari ada namanya Hure. Semacam narasi yang dibacakan. Hure itu seperti bahasa penyemangat, seperti dalam bahasanya, `hai kalian, benteng sudah dibangun`," ujar Syamsul Umar Abdul Samiun, tokoh adat Buton.

Syamsul menjelaskan, filosofi benteng merupakan sebuah pertahanan bagi seorang pemimpin untuk menaungi semua rakyatnya. `Hai kalian dengar, pohon beringin ini sudah selesai. Pohon beringin itu diibaratkan sebuah pohon besar. Sebuah pemimpin yang diharapkan besar bagi rakyatnya. Dia bisa menaungi rakyatnya juga sekaligus bisa memberikan nafkah kepada masyrakatnya,"  uranya.

"Sekaligus membuat semacam perlindungan, jadi seoarang pemimpin diharakan bisa memberiakn perlindungan bagi rakyatnya," sambungnya.

Tradisi maritim di Buton terekam sejak abad 14. leluhur Buton mengelilingi samudera dengan perahu Sope-Sope.  Perahu khas Buton bertenaga angin untuk mencapai setiap bandar untuk disinggahi dan kembali ke kampung halaman.

Benteng Buton menjadi bukti bahwa wilayah ini wilayah maritim, yang berdaulat Indonesia wilayah timur. Kekokohan Benteng ini cermin Buton bukan sekedar pelengkap di nusantara. Melainkan menjadi penentu sejarah besar melawan koloni, jauh sebelum nuantara terbentuk.

Buttun Banggawi yang disebut-sebut dalam Kitab  Negara Kertagama karya Empu Prapanca telah tumbuh sejak abad I3.

Itulah sebabnya warisan adat tua berserakan di Button, adat tua yang masih tersimpan rapi di kebanggan orang-orang Wolio.

"Adat tua kita sangat beragam sekali. Keragaman ini disebabkan sejarah panjang Button yang sejak tahun 1200-an sudah dimulai. Kalau diukur sampai sekarang ini kan waktu yang sudah demikian panjang sekali," papar Syamsul.

Beruntung, kesukuan Buton, kata Syamsul, sejak peradabatan tumbuh tahun 1200-an ini sampai sekarang masih dianut secara turun temurun dilaksanakan masyarakat Button secara umum.
Sejak Panglima Kubilai Khan dan Raja Wakaka singgah di Wabula, Buton telah memiliki peradaban .  

Mereka yang lahir di Buton sadar betul adat adalah keseharian kehidupan mereka. Adat bagi orang Buton adalah jalan hidup, penyeimbang agar tak tenggelam bersama zaman yang bergerak tak karuan.

Itulah sebabnya sebagian besar masyrakat Buton, seperti keluarga Zainuddin misalnya, perlu menggelar dole-dole, selamatan bayi yang diyakini sebagai imunisasi alamiah.

Ada 4 bayi yang hendak menjalani ritual dole-dole. Mereka adalah Diaz, Dira, Salfiati dan Zelni. Pemimpin ritual ini adalah Disya atau dukun adat.  Sebelum memulai, sang Disya memberikan petuah-petuah khas Suku Wulung.  

"Ini adalah tujuanya untuk mengajarkan anak-anak pada saat doli-doli itu agar supaya apa yang dismpaikan orang tua itu diikuti.  Tadi disebutkan `dengarkan tuli yang belum mendengar agar apa yang dibicarakan bapakmu, mamau itu diikuti`. Tujuanya agar setelah dewasa, besar kelak, dia bisa mengajarkan hal-hal yang baik," ujar La Hinda, orang tua bayi.

Begitu pentingnya dole-dole, ritual ini bisa digelar serentak. Lazimnya berlangsung pada bulan Rajab, Sa'ban atau setelah hari Raya Idul Fitri.

Pada pagelaran adat tua sejumlah bayi wajib menjalani doe-dole. Orang Buton percaya tanpa imunisasi alamiah, masan depan anak bakal menghadapi penuh kendala.

Pada saat pelaksaan ritual ini, suasana sangat ramai. Bayo-bayi mungil ini menangis bersautan satu dengan lainya.  Tiap dukun punya cara tersendiri, tapi pada intinya telur dan alas daun pisang serta minyak kelapa menjadi saran penting proses dole-dole.

Telur diyakini dekat dengan jodoh saat dewasa kelak. Pecutan daun kering agar si jabang bayi ini sehat dan jauh dari penyakit. Sebab orang Buton meyakini masa depan tak akan menjadi baik jika selagi bayi tak dipersipakan secara adat warisan nenek moyang.

Tak hanya saat bayi, saat beranjak dewasa, gadis-gadis Butoan pun harus  menjaani proses warisan kesultanan Buton yang dikenal dengan Posuo atau pingitan. Tradisi Posuo lahir pada masa awal Islam di Buton.

"Tradisi ini kan mereka yang perempuan, kalau mau menginjak dewasa, dia harus dipasuo. Setalah dewasa tidak bisa tidak melalui pasuo itu," ujar Tokoh Adat Suku Wolowo Buton, La Kubu.

Seorang guru di balik 7 lapis kelambu mencoba mencari tahu kesucian seorang gadis. Mereka yang memasuki umur 14 tahun harus menjalani pingitan. Tak boleh menolak, gadis buton harus mengikutin adat tua Posuo.

Seperti yang dialami Wa Ode Yuniar, Murosita dan Wahyu Putri Sakinah misalnya. Ketiga
"Senang, bisa dihias-hisas," ujar Wahyu Sakinah, salah satu Putri Pusuo. Perempuan etnis Wolowo ini mau tak mau harus menjalni pingitan.

Prosesi yang mereka lewati adalah Bahwe, Horaah, dan Nimba'a. Bahwe untuk memaksa dan menangkap ketiga putri. Air doa disiram dukun adat untuk pembersihan diri. Selam 8 hari mereka dikurung dalam kamar. Selama itu pula mereka tak dizinkan dilihat atau melihat kaum lelaki.

Ia mengaku kurang menyukai adat ini saat dikurung di kamar, namun ia harus melakukan adat yang sudah turun-temurun dilakukan nenek moyangngnya. "Sebentulnya ga, tapi itu adat Buton," ujar Wahyu Putri.

Jika mereka hendak beraktifitas keluar kamar, bunni gendang akan muncul sebagai aba-aba agar yag di luar waspada.

Setelah melewati itu semua tibalah mereka melakukaan Nimba'a. Para gadis setelah dituntun membacakan doa, diarak ke muara. Merereka dipanggul di atas pundak laki-laki dan kembali didoakan di muara sambil disiram air kelapa.

Tabuhan gendang dan tari pajogen menutup malam di Woloa. Semua lega, sebab adat tua Buton berjalan sempurna. Para gadis ini menari dengan iringan musik khas disaksikan keluarga dan kerabatnya. (Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini