Liputan6.com, Jakarta Perjalanan panjang dan berliku dilalui dr. Prita Kusumaningsih, Sp.OG, untuk bisa menapakkan kaki di tanah Gaza. Dokter Spesialis kebidanan dan kandungan ini menjadi salah satu anggota Emergency Medical Team (EMT) dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berangkat ke Gaza dalam misi kemanusiaan.
Dokter Prita mengisahkan perjuangannya menembus wilayah konflik tersebut sejak meletusnya Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 silam. Meski baginya perjalanan ke Gaza bukanlah yang pertama, tetapi tetap menantang.
“Karena bagi BSMI, organisasi kemanusiaan tempat saya bergabung, itu, Gaza itu sebetulnya sudah beberapa kali pernah kami kunjungi, terhitung dari tahun 2008, 2009, 2010, 2012. Itu yang saya ikut, terus ada lagi yang saya enggak ikut," katanya mengawal perbincangan dengan Liputan6.com di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Al-Fauzan, Jumat (10/10/25).
Advertisement
dr Prita kemudian menceritakan awal mula keterlibatan BSMI dalam misi kemanusian di Gaza baru-baru ini. Saat itu, BSMI mencoba bekerja sama dengan WHO yang sempat memberikan lampu hijau dan meminta tim datang ke Jordan untuk pertemuan. Namun, setelah ditemui, WHO menyampaikan bahwa BSMI tidak bisa diterima untuk berangkat ke Gaza.
Dalam upaya mencari solusi, mereka diperkenalkan dengan organisasi Rahma Worldwide. dr. Prita bercerita, upaya yang dilakukan tim BSMI cukup alot dan membutuhkan waktu tidak sedikit. Singkat cerita, upaya BSMI menyakinkan organisasi Rahma Worldwide untuk ikut dalam misi kemanusiaan ini akhirnya berhasil. Hingga akhirnya, pada Januari 2024, rombongan BSMI sampai di Al-Aris, Mesir, sebuah kota yang hanya berjarak sekitar 40 KM dari Gaza.
Perjalanan dari Kairo ke Al-Aris, memakan waktu lebih kurang enam jam. Sepanjang perjalanan, mereka didampingi Duta Besar Palestina. Diakuinya, selama di perjalanan rasa was-was selalu saja datang. Saban berhenti di pos pemeriksaan, dia hanya bisa mengencangkan doa-doa, berharap perjalanan bisa dilanjutkan dengan lancar tanpa ada penahanan.
“Diharapkan dengan adanya duta besar dan mobil kedubes itu akan memperlancar. Memang benar lancar. Check point tetap dijalani tapi artinya tidak ada masalah sampai ditahan begitu. Hanya paspor yang ditahan sehingga kami tidak pegang paspor,” kata dia.
Setelah menempung perjalanan panjang dan menegangkan, tim BSMI bergabung dengan Rahma Worldwide dan membentuk EMT untuk Gaza. dr. Prita sendiri bergabung dalam tim kedua setelah sebelumnya tim pertama hanya terdiri dari dua orang dokter.
Sambil menunjukkan kumpulan foto-foto relawan yang ada di majalah BSMI periode khusus 2025, dr. Pirta berceritra momen ketika dia dan tim di Amman, Yordania. Mereka mendapatkan arahan dari Duta Besar Indonesia sebelum melanjutkan perjalanan darat menuju Gaza. Mereka melalui perbatasan Yordan-Israel melintasi dua pos imigrasi. Biasanya, pemeriksaan yang dilakukan untuk menuju ke Gaza sangatlah ketat. Mulai dari larangan tidak boleh banyak bicara hingga barang bawaan yang dibatasi.
“Kami tidak boleh banyak bicara dan barang bawaan dibatasi ketat. Hanya boleh satu koper besar, satu koper kecil, dan satu tas tangan,” ucap dia.
Sampailah di Gaza. Suasananya hatinya berkecamuk. Bahagia bercampur sedih. Satu sisi, dia merasa bahagia karena misi kemanusiaan bisa segera dimulai. Tetapi di lubuk hati terdalam, dia sedih melihat kondisi Gaza kini. Semakin kacau jika dibandingkan dengan keadaan saat dia berkunjung 2008 lalu.
"Begitu masuk Gaza itu 180 derajat. Bahkan saya yang sudah pernah ke Gaza dulu di perang 2008. Pada saat gencatan senjata kan kami masuk, itu kaget ya, nggak nyangka sama sekali bahwa kerusakannya sedemikian massif, sampai shock gitu ya,” terangnya.
dr Prita semakin dibuat terperangah. Di tengah kondisi yang menyedihkan tersebut, kehidupan warga Gaza yang tetap berjalan seperti biasanya. Anak-anak main bola dan layangan, anak perempuan bermain dengan teman sebaya, ibu-ibu menggendong anak, bapak-bapak dengan kesibukannya. Ada yang naik sepeda membawa barang, ada yang naik kereta keledai, ada yang memperbaiki mobil di bengkel hingga yang mendorong mobil.
"Jadi mereka itu memang kan ketahanannya dikenal cukup tinggikan," ucapnya dengan kagum.
Suka Duka jadi Dokter Kandung di Antara 'Hujan' Bom di Gaza
Meski sudah pernah mendatangi Gaza, keadaan setelah beberapa belasan tahun begitu berbeda. Di hari-hari pertama, dia bolak balik dikagetkan dengan suara dentuman bom yang tak pernah berhenti. Namun selang empat hari menetap di Gaza, dr. Prita mulai terbiasa dengan suasana yang ada.
Sebagai dokter kandung, dia merasa sangat berkesan ikut menangani para ibu yang akan melahirkan. Sepengetahuannya, tingkat kelahiran di Gaza sangat tinggi. Beberapa kali dia menangani kasus kelahiran yang belum pernah ditemuinya di Indonesia sebelumnya. Di Gaza, ada seorang ibu dapat menjalani sesar hingga sepuluh kali.
“Jadi, dia sudah sesar sepuluh kali. Di Indonesia nggak mungkin, tidak mungkin akan terjadi begitu. Tidak mungkin, karena pasti sudah disteril,” ujarnya.
Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dinding rahim. Faktor tersebut yang membuat ibu-ibu di Gaza lumrah melakukan sesar hingga sepuluh kali.
“Saya juga menemukan perbedaannya, yaitu kalau di sana itu dinding rahim, meskipun sudah di sesar sekian kali, itu masih tetap tebal. Kalau di Indonesia, bahkan ada yang sesar dua kali saja, itu sudah tipis, terus sudah banyak lengket,” jelasnya.
Dia juga menemukan kondisi ibu hamil di Gaza yang banyak mengalami kekurangan darah.
"Ibu yang kurang darah itu banyak di sana. Kalau di sini ada kadar hemoglobin kan 10 minimal ya ibu hamil. Mau sesar itu, nggak boleh kurang. Kalau kurang pasti ditransfusi dulu. Di sana ya buru-buru ya. Buru-buru transfuse,” ucapnya.
Kenangan lain yang membekas di ingatannya saat diminta memberi nama bayi ke-10 dari seorang ibu yang berusia 43 tahun di Gaza.
“Nah itu yang saya diminta untuk memberikan nama. Ketika saya diminta untuk memberikan nama, saya tanya dulu. Saya mau kasih nama Fatimah gitu. Coba anda cek ya. Apakah yang ke sembilan orang itu ada? Sudah jangan-jangan sudah ada yang Fatimah kan? Supaya nggak double ya” tuturnya sambil tersenyum.
Proses kelahiran di Gaza terus berjalan di tengah kondisi perang. Dia mengutip hasil sebuah penelitian yang menyebut jumlah kematian di Gaza seimbang dengan jumlah kelahiran. Bahkan, jumlah kelahiran lebih besar daripada jumlah kematian.
Selain menangani proses persalinan baik normal maupun sesar. Ia juga memberikan edukasi kepada mahasiswa kedokteran lokal yang tetap menjalani pendidikan meski dalam kondisi perang.
“Pendidikan kedokteran tetap berjalan dan mereka tetap masuk setiap hari. Sesuai dengan shift-nya. Dan tetap mengikuti pendidikan, tetap mengerjakan tugas-tugasnya. Dengan penuh semangat. Kita melihat di sini, wajah-wajahnya kok penuh semangat. Sampai kadang-kadang saya itu heran” tuturnya
Dia melihat, kehadiran tim dokter Indonesia di Gaza memberi semangat bagi para tenaga kesehatan lokal. Mereka dapat menjadi tempat bercerita dan menghilang stress untuk para warga Gaza.
“Padahal kami itu apa sih? Mereka itu berterima kasih. Karena apa? Karena merasa masih ada yang mau membersamai. Bukan berarti kalau nggak ada dokter Indonesia lantas rumah sakit nggak jalan, nggak, tetap jalan. Nggak mungkin kan berhenti,” katanya.
Advertisement
Menjaga Kesehatan dan Mengelola Stres
Menjadi relawan di sebuah negara konflik tentu tidak mudah. Dentuman bom yang kerap terdengar, kerusakan di setiap sudut kota, fasilitas dan makanan yang sangat terbatas, hingga jumlah pasien yang terbilang tidak sedikit.
Kondisi ini tentunya sangat mempengaruhi kesehatan, baik fisik maupun mental. dr. Prita bercerita mengenai usahanya menjaga kesehatan selama di Gaza. Ia mengatakan, tak ada yang istimewa dari upayanya menjaga kesehatan.
Minum suplemen kesehatan, menjalani berbagai vaksinasi yang dibutuhkan, menjaga makan, hingga menjaga aktivitas fisik, merupakan upaya-upaya yang dilakukan dr. Prita dalam menjaga kesehatan.
“Jadi kita sendiri harus berusaha. Makan, dijaga. Aktivitas fisik, olahraga, dijaga. Jadi seperti itu. Enggak ada yang istimewa,” katanya
Dia juga memberikan cara untuk mengelola stres di tengah kondisi perang. Ia menyebut hal tersebut sebagai proses pembiasaan.
“Bom itu memang mengejutkan dan itu enggak ada waktunya. Bukan berarti kalau malam terus bomnya berhenti, engga. Bom bisa datang kapan saja dan yang sering itu membangunkan kita dari tidur,” jelasnya
“Jadi ritual sebelum tidur, itu ditingkatkan. Kalau biasanya cuma baca doa, baca Al-Fatihah, tiga surat, sekarang tambah zikir. Terus tengah malam ada bom, enggak bisa tidur ya salat. Salat sebelum tidur itu sudah diwajibkan. Mewajibkan diri sendiri kan. Salat sebelum tidur,” lanjut dia.
Dalam surat perjanjian, katanya, tim relawan sudah diingatkan bahwa mereka akan memasuki wilayah yang berpotensi menimbulkan trauma psikis, fisik, bahkan kehilangan nyawa. Bahkan sepulang dari Gaza, kenangan itu masih membekas kuat.
“Awal-awal masih kebawa. Suara bom, suara drone, masih terngiang-ngiang,” ujarnya.
Hingga kini, Ia belum bisa memposting foto makanan di media sosial. “Makan enak itu langsung ingat. Jadi saya nggak berani posting makanan,” katanya.
Harapan untuk Kehidupan di Gaza
Dari perjalanan panjangnya menuju Gaza, dr.Prita menyampaikan secercah harapan. Gencatan senjata yang baru saja diresmikan akan membawa kehidupan lebih baik untuk masyarakat Gaza.
“Alhamdulillah kan sudah tercapai kata sepakat untuk gencatan senjata,” ucapnya dengan nada lega. Namun, Ia tidak mau cepat berharap karna kabar tersebut belum diumumkan secara resmi.
Menurutnya, penundaan demi penundaan yang dilakukan terhadap gencatan senjata di Gaza justru menjadi luka baru bagi mereka yang menanti kemerdekaan.
Dari tahun 2009, katanya, Gaza tidak pernah meminta kiriman bantuan berupa bala tentara. Tetapi sejak 2009 hingga sekarang, keinginan masyarakat Gaza selalu sama yaitu meminta peristiwa yang terjadi dapat disiarkan kepada seluruh dunia.
“Mereka yang selalu diomongin dari tahun 2009 sampai sekarang itu: tolong siarkan, beritahukan kepada seluruh dunia, apa yang kami alami dan apa yang terjadi sesungguhnya di Gaza ini,” ujar dia mencontohkan.
Ia bersyukur, sejak tahun 2023, dukungan dunia terhadap Palestina akhirnya terdengar lebih massif.
“Dulu-dulu kan tidak kebayang, bahwa negara-negara Eropa itu akan berdemo untuk Palestina sampai sedemikian,” ujarnya.
Bagi dr. Prita, aksi solidaritas warga dunia itu menjadi tanda bahwa suara kebenaran mulai menggema lebih luas. Sehingga, terus menyiarkan tentang isu kemanusiaan di Gaza, baik melalui lisan maupun tulisan, harus terus digaungkan.
“Jadi suarakan baik dengan suara maupun dengan tulisan. Itu yang bisa kita lakukan. Kedua doa, doakan dan Ketiga nyumbang,” sambungnya.
Langkah lain yang bisa dilakukan dengan memiskinkan para penjajah dengan cara memboikot produk-produk mereka. Tetapi, upaya boikot tidak akan berhasil tanpa adanya kerja sama dan gerakan yang serentak
“Jangan kasih uang kita kepada mereka, yaitu dengan jalan memboikot dan memboikot enggak bisa orang per orang. Kalau donasi bisa orang per orang, tapi kalau boikot harus serentak. Karena itu, itu yang bisa kita lakukan. Miskinkan mereka,” pungkasnya sore itu.
Advertisement
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5345137/original/039546900_1757507069-men3.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5378840/original/076418100_1760326369-Cek_Fakta_Tidak_Benar_Ini_Link_Pendaftaran__91_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5401893/original/056195600_1762230800-Cek_Fakta_Tidak_Benar_Ini_Link_Pendaftaran_-_2025-11-04T113024.695.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5403962/original/025436500_1762345539-ri4.jpg)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5378149/original/025144400_1760200249-dr_Prita_saat_misi_kemanusian_di_Gaza_3.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5378150/original/041773300_1760200249-dr_Prita_saat_misi_kemanusian_di_Gaza.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5378151/original/064362900_1760200249-dr_Prita_saat_misi_kemanusian_di_Gaza__2_.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1414624/original/034927300_1479890640-Kairo.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/avatars/3884479/original/ACg8ocJc_oid6J3VLtCVFHYL6ugvHZoO8rxNNMWPfM8krXX-0Ve03HZakQ%3Ds200.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5398908/original/086614100_1761900233-Lagidiskon__desktop-mobile__356x469_-_Button_Share.png)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4700848/original/089505300_1703763117-sandals-4273243_640.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/2255977/original/087039700_1529581269-Sofo_Olive__1_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/3948052/original/092439800_1646031798-waldemar-brandt-UP9DtTjRYpI-unsplash.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5345509/original/045813900_1757565481-rosa-rafael-pxax5WuM7eY-unsplash.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/3362580/original/077439200_1611880181-close-up-portrait-young-pretty-woman-taking-shower_186202-4166.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5377919/original/002139400_1760168588-image_2025-10-11_144215799.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5376982/original/062419800_1760070989-iPhone_17_Pro_Series_01.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5376949/original/031648700_1760069306-10b1b3c4d7084378a9a764c0c2d58813_.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5406417/original/093008600_1762572203-1.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/thumbnails/5405724/original/013211700_1762497157-haru-dari-gaza-hilang-kaki-tak-hilang-cinta-pada-sepak-bola-0d0966.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5404719/original/031815100_1762414585-1.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5403478/original/084562800_1762328141-Untitled.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5403265/original/094766500_1762322476-1.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5401198/original/026084800_1762159713-9.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/thumbnails/5401945/original/016707600_1762232163-20251104-israel-kembalikan-45-jenazah-warga-palestina-ke-gaza-64e09f.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5401088/original/075367600_1762156607-5.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5401190/original/090248500_1762159690-1.jpg)