Sukses

Layakkah Solo Jadi Daerah Istimewa?

Wacana menjadikan Solo sebagai daerah istimewa kembali mencuat ke publik. Namun, sejumlah pengamat menilai keistimewaan tak cukup hanya bermodal romantisme sejarah. Lantas, apakah Solo benar-benar memenuhi syarat sebagai daerah istimewa?

Diperbarui 01 Mei 2025, 00:00 WIB Diterbitkan 01 Mei 2025, 00:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Wacana pembentukan Kota Solo menjadi daerah istimewa kembali mencuat. Namun, tidak jelas siapa yang pertama kali mengusulkan. Keraton Kasunanan Surakarta sendiri tidak mengetahui elemen masyarakat mana yang mengusulkan pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Tiba-tiba DIS dibahas dalam rapat dengar pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR RI.

Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta KPA Dany Nur Adiningrat mengatakan pihak keraton hingga saat ini belum mengirimkan surat kepada pemerintah pusat terkait usulan DIS tersebut.

“Jadi, kami tidak tahu dari keraton, elemen masyarakat mana yang mengusulkan tentang DIS yang terakhir ini, kita tidak tahu. Dari keraton belum secara resmi bersurat kepada pemerintah terkait hal tersebut,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (30/4/2025).

Dany mengungkapkan bahwa yang diharapkan pihak keraton bukan pembentukan DIS tetapi mengaktifkan kembali status keistimewaan yang pernah berlaku dan dibekukan oleh pemerintah pada masa awal kemerdekaan silam.

“Kalau memang mau mengaktifkan lagi, tinggal pemerintah mengkaji ulang mengajak bicara banyak pihak tapi ini sebenarnya pemerintah secara sepihak langsung memberlakukan bisa tanpa harus di Dirjen Otonomi Daerah, pemekaran dan lain sebagainya. Ini bukan pemekaran tapi pengaktifan kembali,” tambahnya.

Oleh sebab itu, Dany mengatakan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta sangat berhati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut. Namun ia menegaskan bahwa DIS merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar. Apalagi pada saat itu keraton pada masa pemerintahan Pakubuwono XII merupakan pihak yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

“Negara Surakarta pada saat itu negara pertama yang mengakui Republik Indonesia dan juga bergabung dengan Republik. Jadi keistimewaan itu bukan hal suatu hal yang aneh ketika kita menjadi daerah istimewa. Terus juga ini semua demi kemakmuran dan kemaslahatan Surakarta khusunya, Indonesia pada umumnya,” ucapnya.

Sementara Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ahmad Luthfi mengatakan kewenangan untuk mengubah Kota Solo menjadi daerah istimewa adalah kewenangan pemerintah pusat bukanlah pemerintah daerah. 

"Itu kewenangan pusat, provinsi enggak punya kewenangan," kata Ahmad Luthfi.

Dia pun mengaku Pemerintah Provinsi Jateng, termasuk pemerintahan Solo, tidak pernah mengusulkan menjadikan Kota Solo menjadi daerah istimewa.

"Enggak, enggak ada. Tergantung pusat, kan kita enggak punya kewenangan," jelas dia.

Senada, Wali Kota Solo, Respati Ardi juga menyerahkan keputusan tersebut kepada pemerintah pusat.

“Terkait adanya wacana kembali mengenai DIS ini tentu itu akan menjadi kebijakan pemerintah pusat dengan pertimbangan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi,” kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (30/4/2025).

Syarat Menjadi Daerah Istimewa, Apakah Solo Layak?

Indonesia mengakui dua karakteristik status sebuah daerah yaitu daerah otonomi khusus dan daerah istimewa. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Namun, tidak ada undang-undang yang secara spesifik mengatur syarat suatu daerah untuk menjadi daerah istimewa seperti halnya aturan pembentukan provinsi, kabupaten, atau kota.

Dalam ayat 1 pasal 5 UU Pemerintah Daerah hanya disebutkan bahwa:

"Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah".

Namun, status daerah istimewa di Indonesia selama ini diberikan berdasarkan kekhususan sejarah, budaya, dan peran dalam pembentukan negara, serta melalui undang-undang khusus yang ditetapkan oleh DPR RI.

Misalnya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Status keistimewaan diberikan karena sejarah DIY sebagai kerajaan yang secara sukarela bergabung dengan Republik Indonesia pasca-kemerdekaan dan kontribusinya terhadap pembentukan negara.

"Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia," bunyi Pasal 1 ayat 1 UU No 13 Tahun 2012.

Kemudian daerah lainnya adalah Aceh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Keistimewaan diberikan karena Aceh memiliki sejarah perjuangan yang kuat serta perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dengan MoU Helsinki.

Selain itu, masyarakat Aceh ingin menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang diwujudkan dalam berbagai peraturan dan kebijakan lokal, seperti Qanun Aceh.

"Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur," bunyi Pasal 1 ayat (2) UU No 11 Tahun 2006.

Lalu apakah Solo layak menyandang status daerah istimewa?

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mengungkapkan Solo memiliki kekhususan tersendiri dari sisi sejarah dan kebudayaan yang layak untuk mendapat pengakuan khusus dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Usulan ini muncul karena Solo memiliki kekhususan secara historis dan kebudayaan," ujar Aria Bima.

Aria Bima menegaskan, Solo tidak hanya dikenal sebagai kota budaya, tetapi juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa melawan penjajahan.

"Kekhususan itu terlihat dari proses perjuangan Solo dalam melawan penjajahan serta kekhasan budayanya yang hingga kini masih terjaga," lanjutnya.

Sebagai kota yang memiliki keraton dan warisan budaya Jawa yang kental, Solo dinilai memiliki kesamaan karakteristik dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini menjadi salah satu dasar munculnya wacana status daerah istimewa bagi Solo.

Meski demikian, Aria menekankan bahwa usulan ini masih memerlukan kajian mendalam dan dukungan politik yang solid di tingkat nasional. Proses penetapan daerah istimewa tidak hanya didasarkan pada kekhususan sejarah, tetapi juga mempertimbangkan aspek hukum, administratif, dan politik.

"Perlu ada kajian komprehensif serta pembicaraan lintas fraksi dan lintas kementerian agar usulan ini memiliki dasar hukum dan implementasi yang kuat," jelasnya.

Namun, Aria Bima juga berpendapat bahwa usulan ini tidak memiliki relevansi dan urgensi saat ini. "Solo ini sudah menjadi kota dagang, sudah menjadi kota pendidikan, kota industri. Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan," ujarnya.

Dia lantas berkata, "Komisi II tidak terlalu tertarik untuk membahas daerah istimewa ini menjadi sesuatu hal yang penting dan urgen."

Dia menekankan bahwa pengkajian suatu daerah untuk menyandang status daerah istimewa harus mempertimbangkan berbagai faktor. "Tidak gegabah hanya karena faktor-faktor tertentu," tambahnya.

Sebab, tambah dia, daerah istimewa itu selalu mempunyai irisan antara kepentingan global, kepentingan pusat, kepentingan regional, dan kepentingan daerah itu sendiri.

Dia juga mengingatkan agar pemberian status daerah istimewa tidak menimbulkan rasa ketidakadilan di daerah lain.

"Kita ini satu kesatuan wilayah, satu kesatuan administrasi, satu kesatuan ekonomi, yang antara daerah itu harus ada perasaan yang adil, jangan sampai pemberian daerah keistimewaan ini membuat rasa ketidakadilan daerah-daerah lain," ujarnya.

Meski demikian, dia tidak menafikan pembukaan moratorium pemekaran daerah dengan catatan persyaratan suatu daerah untuk dimekarkan harus dilakukan secara lebih ketat.

"Soal moratorium ada satu yang kita harapkan bisa kita lakukan, kita buka kembali, dan pengusulannya harus lebih ketat," ucap dia.

Solo Tidak Punya Desain Besar Penataan Daerah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman juga ia menekankan perlunya kajian mendalam terkait urgensi dan kesiapan regulasi sebelum merealisasikannya.​

"Usulan seperti ini konstitusional, tetapi pertanyaannya adalah apakah memang layak mendapatkan status keistimewaan atau kekhususan? Kita harus bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada," ujar Herman kepada Liputan6.com.​

Herman menyoroti bahwa hingga kini belum ada desain besar penataan daerah yang menjadi acuan dalam pembentukan daerah otonomi baru. Ketiadaan desain ini menyebabkan ketidakpastian dalam proses penataan daerah, termasuk pemberian status keistimewaan.​

"Dalam desain besar penataan daerah itu, itu kita bisa mendapatkan gambaran dalam periode waktu tertentu ke depan, kita punya beberapa daerah provinsi, kabupaten, kota, dan juga pengaturan-pengaturan sifatnya itu lebih detil terkait dengan kriteria dan juga proses penataan daerah itu sendiri. Karena di dalam Undang-Undang Pemda, kriteria dan juga proses pembentukan daerah otonomi baru itu sifatnya masih sangat umum," kata dia.

Selain itu, pemberian status istimewa kepada suatu daerah akan mempengaruhi keuangan negara yang signifikan terlebih saat ini pemerintah tengah melakukan efisiensi. Sebab daerah istimewa berhak menerima dana keistimewaan dari pemerintah pusat. 

"Kenapa? Karena nanti dalam transfer ke daerah itu, daerah-daerah yang sifatnya istimewa dan khusus itu akan mendapatkan yang disebut dengan dana istimewa, dana keistimewaan, dan juga dana khusus, daerah kekhususan. Tentu melihat konteks sekarang kita lagi berjuang dengan kondisi keuangan negara, baik di level pusat dan daerah, hal-hal itu yang menurut kami tidak pas dari sisi konteks waktu," lanjutnya.

Herman juga menyoroti bahwa justifikasi pemberian status istimewa kepada Solo perlu dikaji lebih dalam. Meskipun Solo memiliki sejarah dan budaya yang kaya, banyak daerah lain di Indonesia yang juga memiliki keunikan serupa. Selama ini, pemberian status istimewa didasarkan pada kebutuhan tata kelola pembangunan atau resolusi konflik, seperti yang terjadi di Papua dan Aceh.​

Di Papua, tujuan utama dari pemerintah otonomi khusus itu untuk mempercepat pembangunan di Papua. Kemudian di Aceh itu untuk resolusi konflik.

Sementara di Jakarta itu karena kedudukan dan fungsinya sebagai pusat perekonomian dan juga ibu kota negara. Kemudian di Yogyakarta, adanya aspek kesejarahan, karena dulu sebelum Indonesia merdeka Kesultanan Yogyakarta memberikan dengan sukarela Kesultanan Yogyakarta itu menjadi bagian dari NKRI, sehingga diberikan keistimewaan.

"Kami melihat untuk konteks kita sekarang belum relevan kalau kita mendasarkan argumentasi pemberikan kekhususan untuk Solo itu pada basis tadi, kesejarahan dan juga kebudayaan. Karena kalau kita mau bicara keistimewaan budaya dan kultur itu kan setiap daerah punya keistimewaan dan kekhususan dan keunikannya," kata Herman.

Menurut Herman, pemberian status istimewa kepada daerah-daerah terluar atau kepulauan yang memiliki kesulitan terhadap layanan publik justru lebih relevan. Daerah-daerah seperti Kepulauan Natuna, Anambas, dan Sabu Raijua menghadapi tantangan geografis yang memerlukan perhatian khusus dalam tata kelola pemerintahan.​

"Mereka itu punya tantangan tersendiri memberikan pelayanan publik di wilayah-wilayah yang berbentuk kepulauan," tandasnya.

2 dari 6 halaman

Apa Istimewanya Solo?

Herman berpandangan bahwa Solo memiliki keistimewaan dari sisi sejarah dan kebudayaan yang layak mendapatkan pengakuan setara dengan Yogyakarta. Kedekatan historis antara Solo dan Kesultanan Yogyakarta inilah yang dianggap Solo layak menjadi daerah istimewa. 

“Yang mengusulkan ini melihat Solo punya kekhasan sejarah dan kulturnya sendiri. Kalau dikaitkan dengan Kesultanan Yogyakarta, memang ada keterhubungan di masa lalu,” ujar Herman.

Namun, jika dasar pemberian status istimewa hanya berlandaskan pada sejarah dan budaya, maka hampir semua daerah di Indonesia bisa mengajukan klaim serupa.

“Saya melihat alasan tersebut kurang relevan. Karena jika begitu, banyak daerah lain yang juga punya nilai sejarah dan sistem tradisional pemerintahan yang tak kalah kuat,” lanjutnya.

Dalam sistem pemerintahan modern saat ini, kata dia, pemberian status istimewa seharusnya mengacu pada kebutuhan tata kelola khusus yang tidak bisa dijalankan secara optimal melalui sistem pemerintahan biasa. Tanpa dasar tersebut, pemberian status istimewa dikhawatirkan hanya menjadi simbol tanpa dampak signifikan.

“Kalau tidak dibarengi dengan perubahan tata kelola atau kewenangan khusus yang berdampak nyata, maka status itu hanya jadi simbol,” tegasnya.

3 dari 6 halaman

Apa Dampak Ekonominya Jika Solo Jadi Daerah Istimewa?

Herman menilai bahwa pemberian status keistimewaan belum tentu membawa perubahan ekonomi dan tata pemerintahan jika tidak dibarengi dengan desain kewenangan yang berbeda dari provinsi lainnya.

Herman mencontohkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selama ini dikenal memiliki keistimewaan karena tidak menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun dari sisi pengelolaan pemerintahan, menurutnya, kewenangan DIY sama seperti provinsi lain.

"Kalau kita bandingkan Yogyakarta dengan daerah lain, kewenangan mereka terkait dengan kebudayaan dan pariwisata sama saja. Jadi, meskipun diberi label daerah istimewa, tidak ada perbedaan signifikan dalam 32 urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang," jelasnya.

Hal serupa juga terjadi pada DKI Jakarta. Meski berstatus sebagai daerah khusus, dalam praktiknya kewenangan yang dimiliki tidak jauh berbeda dengan provinsi lain.

“Jakarta memang secara hukum memiliki lima urusan yang diberikan kewenangan khusus, tapi dalam implementasinya juga tidak terlalu berbeda,” ujarnya.

Menurut Herman, agar status istimewa atau khusus bisa memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan daerah dan kejuan ekonomi, diperlukan desain kewenangan yang benar-benar berbeda.

"Kalau memang ingin menjadikan keistimewaan sebagai jalan percepatan ekonomi atau penguatan budaya, maka yang harus dirancang lebih dahulu adalah desain kewenangan daerah itu," tegasnya.

Tanpa adanya perbedaan dalam pengelolaan kewenangan, status istimewa dikhawatirkan hanya simbolik. Karena itu, ia mendorong pemerintah agar dalam setiap rencana pemberian status istimewa, tidak hanya mempertimbangkan aspek historis atau budaya, melainkan juga menyusun sistem tata kelola yang benar-benar berbeda dari daerah biasa.

4 dari 6 halaman

Waspada Efek Domino

Menurut Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, usulan agar Solo menjadi daerah istimewa sudah pernah muncul sebelumnya, bahkan sempat digugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK), namun gugatan tersebut ditolak.

"Usulan Solo jadi daerah istimewa ini bukan hal baru. Sudah pernah digugat ke MK, dan kalah," ujar Trubus kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa, (29/4/2025).

Trubus menjelaskan, jika ingin naik status menjadi daerah istimewa, maka Solo perlu terlebih dahulu menjadi provinsi. Namun secara administratif, Solo belum memenuhi syarat minimal pembentukan provinsi.

"Kalau Solo mau jadi provinsi, minimal harus terdiri dari lima kabupaten atau kota. Saat ini Solo hanya mencakup beberapa wilayah seperti Sukoharjo dan Klaten. Jadi prosesnya masih panjang," jelasnya.

Trubus juga menyoroti potensi efek domino jika Solo disetujui menjadi daerah istimewa. Ia mengingatkan bahwa daerah lain yang memiliki warisan budaya dan keraton, seperti Cirebon, juga bisa menuntut status serupa.

"Kalau Solo disetujui, nanti daerah lain seperti Cirebon bisa ikut menuntut karena juga punya keraton. Dulu sudah ada lima daerah yang mengusulkan status istimewa, termasuk Solo dan Cirebon," kata dia.

Lebih jauh, Trubus mempertanyakan urgensi usulan ini dari sisi kebijakan publik. Menurutnya, pemekaran wilayah atau pemberian status istimewa belum tentu berdampak positif pada pembangunan daerah.

"Selama ini, pemekaran wilayah seringkali tidak membawa kemajuan seperti yang diharapkan. Malah jadi pemborosan anggaran karena munculnya birokrasi dan pejabat-pejabat baru," ungkapnya.

Ia mencontohkan, pemecahan wilayah di Bogor menjadi Bogor Barat dan Timur justru membuat koordinasi menjadi semakin rumit.

Trubus menilai, dorongan agar Solo menjadi daerah istimewa sebagian besar didasari oleh keinginan untuk menyamai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memang memiliki kedudukan khusus secara konstitusional.

"Solo sejak dulu memang ingin mendapatkan perlakuan yang sama seperti Yogyakarta. Tapi konteksnya berbeda. DIY punya dasar historis dan hukum yang kuat sejak awal kemerdekaan," tutup Trubus.

5 dari 6 halaman

Solo Pernah Jadi Daerah Istimewa

Status daerah istimewa sebenarnya bukan hal baru bagi Solo. Pada periode Agustus 1945 hingga Juli 1946, Solo sempat menyandang status sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS).

Status ini diberikan melalui Piagam Penetapan Presiden 19 Agustus 1945 serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.

Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta KPA Dany Nur Adiningrat mengatakan status tersebut tidak lepas dari maklumat yang dikeluarkan Raja Pakubuwono XII yang mendukung bergabungnya Negara Surakarta dengan NKRI.

“Tapi secara global garis besar ada maklumat PB XII yang lebih dulu berapa hari dari pada Jogja (bergabung RI). Ada piagam kedudukan dari Presiden Soekarno saat itu, sama Jogja juga dapat itu. Terus di Undang-Undang Negara Republik Indonesia di Pasal 18 jelas gitu loh, negara mengakui bentuk-bentuk itu dan lain sebagainya tentang daerah istimewa,” ujar Dany kepada Liputan6.com

Namun adanya gerakan swa-praja di Solo menyebabkan suasana di wilayah tersebut tidak kondusif. Bahkan, dikatakan Dany bahwa saat itu juga terjadi penculikan terhadap para bangsawan seperti patih dan bupati di Keraton Kasunanan Surakarta. Adanya gerakan tersebut diduga yang menjadi penyebab status keistimewaan ditangguhkan pada saat itu.

“Itu mungkin juga yang mendasari belum bisa berjalan sempurna, lalu menunggu situasi aman difreeze sementara waktu sambil menunggu-menunggu ketentuan seperti itu. Jadi ini sudah ada (DIS) dan dibekukan sementara waktu,” kata dia.

Dipicu Ketidakpuasan Rakyat

Gerakan anti-swapraja ini dipicu oleh ketidakpuasan rakyat terhadap sistem pemerintahan kerajaan yang dianggap feodal dan tidak relevan dengan semangat kemerdekaan.

Ketegangan meningkat akibat kemerosotan ekonomi, pengaruh ideologi sosialis dan komunis, serta tekanan dari kelompok buruh yang menuntut perubahan.

Situasi ini menimbulkan instabilitas serius. Bahkan, aksi penculikan hingga percobaan penyerangan ke Istana Presiden di Yogyakarta turut memperburuk kondisi keamanan. Pemerintah pusat pun mengambil langkah tegas demi stabilitas nasional.

Melalui UU No. 16/SD/1946, pemerintah resmi membubarkan DIS, dan wilayah Surakarta dijadikan karesidenan di bawah kendali seorang residen. Selanjutnya, pada 3 Maret 1950, melalui keputusan Menteri Dalam Negeri, Kasunanan dan Mangkunegaran resmi digabungkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah.

6 dari 6 halaman

Infografis Respons Usulan Solo Jadi Daerah Istimewa.

EnamPlus