Sukses

JK Sebut Kerugian Negara Akibat Kasus Korupsi LNG Pertamina Bagian dari Bisnis

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia (RI) Jusuf Kalla menilai kerugian negara akibat kasus korupsi Liquefied Natural Gas (LNG) oleh mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Karen Agustiawan, merupakan hal yang biasa saja. Sebab, menurut Jusuf Kalla, hal tersebut biasa terjadi dalam urusan bisnis.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia (RI) Jusuf Kalla menilai kerugian negara akibat kasus korupsi Liquefied Natural Gas (LNG) oleh mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Karen Agustiawan, merupakan hal yang biasa saja. Sebab, menurut Jusuf Kalla, hal tersebut biasa terjadi dalam urusan bisnis.

"Biasa aja, kalau semua harus untung ya bukan bisnis namanya," kata politikus senior yang akrab disapa JK, saat dimintai keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024).

Menurut JK, kasus korupsi LNG Pertamina murni urusan bisnis, tidak akan selalu menguntungkan, terlebih bagi Karen selaku pembuat kebijakan.

Bahkan JK berpandangan dampak korupsi dari Karen tidak selalu masuk dalam kategori kriminal.

"Ya kalau pimpinan atau direktur membuat kebijakan, itu mestinya selama tidak menguntungkan dia sendiri, itu bukan kriminal, itu kebijakan. Selama tidak menguntungkan ya," jelas JK.

JK yang juga politikus senior Partai Golkar itu menjadi saksi meringankan atau a de charge untuk terdakwa Karen Agustiawan dalam perkara korupsi Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair tahun 2011-2021.

Keterangan JK di hadapan majelis hakim menerangkan perihal kebijakan soal Perpres Nomor 5 tahun 2006 yang pada saat itu direktur utama Pertamina dipegang oleh Karen Agustiawan.

JK menyebut Perpres itu dibuat lantaran kondisi negeri pada tahun 2005 yang sedang dalam krisis energi secara besar-besaran.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemerintah Keluarkan Kebijakan kepada Pertamina untuk Percepatan Pembangunan

JK mengatakan pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan era Presiden SBY yang pada tahun 2006 yang ditujukan kepada Pertamina untuk menjaga ketahanan industri energi. Termasuk dalam bidang energi Liquified Petroleum Gas (LPG) maupun LNG (Liquefied Natural Gas).

Kebijakan tersebut juga menindaklanjuti dengan kondisi tahun 2005 di mana Indonesia sedang mengalami krisis energi secara besar-besaran. Terlebih harga minyak mencapai 90 dolar per barelnya. Alhasil, pemerintah mengambil empat langkah kebijakan.

"Pemerintah mengambil empat kebijakan untuk mengatasi masalah krisis energi di tahun 2005 yaitu mengurangi konsumsi yang waktu itu tinggi sekali dengan cara menaikkan harga BBM. Bapak ingat waktu itu kita naik lebih 100% agar negara tidak bangkrut pada waktu itu," kata JK di ruang sidang PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024).

Kebijakan lainnya yakni melakukan penghematan energi seperti pengaturan listrik AC, TV dan lain sebagainya. Kebijakan ketiga mengkonversi minyak tanah ke LPG karena dianggap jauh lebih bersih dan murah.

Alhasil, untuk mengatasi krisis energi, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menargetkan kenaikan konsumsi gas.

"BBM itu minyak bumi seperti solar, bensin, minyak tanah, dan sebagainya, dan diganti oleh gas dan batubara untuk listrik. Gas itu terdiri dari LPG dan LNG, dan industri. Maka itulah pemerintah mempunyai target waktu untuk menaikkan konsumsi gas lebih 30%, sehingga negara karena agar biaya suatu gas dan BBM itu satu banding tiga. Artinya, hanya satu kalori daripada minyak tanah dibanding dengan gas itu lebih murah, lebih bersih," jelas JK.

"Waktu itu punya pelaksanaan dari pada energi LNG baik LPG. Dan LNG itu tanggung jawab Pertamina menyiapkan satu ketersediaan energi, dalam hal ini gas lebih besar daripada sebelumnya. Itulah kenapa dikeluarkan keputusan Perpres Nomor 5 tahun 2006 itu dalam rangka menjaga ketahanan industri," sambung dia.

3 dari 3 halaman

JK Bingung Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Jadi Terdakwa Korupsi

Jusuf Kalla mengaku tidak tidak tahu mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Karen Agustiawan, harus duduk di kursi persidangan sebagai terdakwa kasus korupsi. Dia hanya mengetahui kalau Karen hanya menjalankan tugasnya.

"Sebab terdakwa ini sampai dijadikan terdakwa di sini, tahu saudara?" tanya hakim anggota di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024).

"Saya juga bingung kenapa jadi terdakwa, bingung, karena dia menjalankan tugasnya," jawab Jusuf Kalla.

Hakim pun menanyakan perihal Instruksi Presiden nomor 1 yang ditujukan langsung kepada Pertamina, yang pada saat itu kondisi industri energi di dalam negeri sedang krisis.

Dalam instruksi yang dikeluarkan pemerintah era SBY-JK tahun 2006, pada intinya Pertamina harus menaikkan konsumsi gas lebih dari 30% dengan cara apa pun.

JK pun menegaskan walaupun ada kebijakan itu, dalam perihal bisnis tidak luput dengan hal untung dan rugi. Namun yang harus digarisbawahi adalah bila pada akhirnya usaha BUMN merugi, maka harus ada hukuman.

"Jadi ada memang ada kebijakan kebijakan dalam itu ya. Jadi Bapak tidak tahu apakah Pertamina itu merugi atau untung, enggak tahu?" tanya hakim.

"Tidak. Tapi begini, boleh saya tambahkan? Kalau suatu kebijakan bisnis, langkah bisnis, cuma ada dua kemungkinannya; dia untung atau rugi. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka seluruh BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya. Kalau suatu perusahaan rugi harus dihukum," jelas JK.

"Maka semua perusahan negara harus dihukum dan itu akan menghancurkan sistem," sambung JK.

 

Reporter: Rahmat Baihaqi

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.