Sukses

Usulan MPR Bisa Pilih Presiden Kembali, Eks Ketua MK: Langsung Oleh Rakyat Masih Lebih Bagus

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva buka suara mengenai usulan amandemen UUD 1945 yang salah satu poinnya Presiden dipilih dan dilantik oleh MPR. Dia menilai saat ini pemilihan langsung oleh rakyat masih lebih baik.

Liputan6.com, Jakarta Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva buka suara mengenai usulan amandemen UUD 1945 yang salah satu poinnya Presiden dipilih dan dilantik oleh MPR. Dia menilai saat ini pemilihan langsung oleh rakyat masih lebih baik.

"Saya pribadi saya katakan sekarang ini pemilihan langsung oleh rakyat itu masih lebih bagus," kata Hamdan di Oakwood Suites Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/7/2023).

Menurut dia, jika ada yang tidak baik dalam sistem yang sudah berjalan cukup menjadi bahan diskusi saja dan dipebaiki. Sebab, untuk mengandemen UUD 1945 perlu prosedur formal seperti persetujuan sepertiga anggota MPR dan mengadakan sidang.

"Mungkin pada saatnya kita evaluasi ada mudaratnya lebih banyak gakapa kita diskusikan lagi kan gak masalah, jadi buka saja dialog mengenai itu yang ngusulkan juga boleh tapi sekali lagi menempuh prosedur formal, tapi kalau saya ditanya masih lebih bagus dipilih langsung oleh rakyat," jelas Hamdan.

Dia membeberkan alasan mengapa pemilihan langsung oleh rakyat lebih baik. Hamdan bercerita, pada tahun 1998-1999 rakyat ribut karena ada ketidakpercayaan terhadap MPR yang memilih presiden tidak sesuai kehendak rakyat.

"Itu kan ada perang di Semanggi waktu pemilihan presiden tahun '99, ada agak perang, karena rakyat datang dan agak ragu dengan MPR memilih presiden yang tidak sesuai dengan kehendaknya," ucapnya.

Hamdan menerangkan, kehendak atau suara rakyat dalam memilih pemimpinnya bermacam-macam. Atas dasar itu, MPR memutuskan pemilihan langsung oleh rakyat.

"Macam macam suaranya dan ada yang berselisih 'kami ini yang ini, kami yang ini', akhirnya MPR memutuskan kalian ajalah yang milih, rakyat yang milih langsung, biar semua puas kan itu, saya terlibat langsung dalam merumuskan itu karena permintaan rakyat itu," ujarnya.

Menurutnya, bila pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR membuat masyarakat menjadi curiga. Sehingga, sebaiknya saat ini cukup memperbaiki sistem yang sudah berjalan saja.

"Kalau sekarang ada merasa itu kurang wah ini bisa nanti orang yang punya duit aja bisa jadi presiden lah kita kontrolmya disitu, jadi sistem yang sudah berjalan tinggal di perbaiki," ucapnya.

"Mana rusaknya kalau ada luka dalam penyakitnya kita perbaiki obati lukanya jangan dibunuh orangnya, hal yang sudah baik dipertahankan tapi kalau ada yang jelek kita perbaiki," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Usulan Datang dari DPD RI

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengusulkan untuk melakukan amandemen UUD 1945. Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti mengatakan, DPD menerima aspirasi untuk melakukan kajian ulang terhadap sistem bernegara.

"Perlu saya sampaikan dalam kesempatan ini, bahwa kami di DPD RI telah menerima secara langsung aspirasi terkait perlunya bangsa ini melakukan kaji ulang atas sistem bernegara yang kita terapkan saat ini," katanya dalam pidato sidang tahunan di Gedung MPR DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2023).

DPD RI menawarkan lima proposal untuk melakukan amandemen konstitusi. Pertama, adalah mengembalikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.

"Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan. Yang menampung semua elemen bangsa. Yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan," kata La Nyalla.

Kemudian, MPR nantinya berwenang menetapkan TAP MPR sebagai produk hukum dan menyusun haluan negara sebagai panduan kerja presiden.

"MPR yang memilih dan melantik Presiden. Serta MPR yang mengevaluasi kinerja Presiden di akhir masa jabatan," ujar La Nyalla.

Kedua, DPD RI mendorong ada anggota DPR RI berasal dari unsur perseorangan atau non partai politik. Agar dalam pembentukan undang-undang tidak didominasi kepentingan partai politik.

"Membuka peluang adanya anggota DPR RI yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Selain dari anggota partai politik. Sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas oleh keterwakilan masyarakat non partai," tegas La Nyalla.

Ketiga, DPD RI mengingatkan memastikan utusan daerah dan utusan golongan bukan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah. Bukan juga ditunjuk langsung presiden seperti era orde baru.

Dengan komposisi utusan daerah mengacu pada kesejahteraan wilayah yang berbasis negara lama dan bangsa Nusantara, yaitu raja dan sultan serta suku penduduk asli Nusantara.

"Sedangkan Utusan Golongan diisi oleh Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki kesejarahan dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia," jelas La Nyalla.

Keempat DPD RI ingin memberikan kewenangan kepada utusan daerah dan utusan golongan untuk memberikan pendapat terhadap materi RUU yang dibentuk oleh DPR bersama presiden sebagai bagian pelibatan publik yang utuh.

"Kelima; menempatkan secara tepat, tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di era Reformasi, sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur ketatanegaraan. Dengan demikian, kita sebagai bangsa telah kembali kepada Pancasila secara utuh. Sekaligus kita sebagai bangsa akan kembali terajut dalam tekad bersama di dalam semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan Sosial," jelas La Nyalla.

 

Reporter: Genantan Saputra/Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini