Sukses

Sejarawan Sebut Praktik Korupsi Menginspirasi Sejumlah Karya Sastra

Sejumlah karya sastra yang menggambarkan praktik dan perlawanan terhadap korupsi telah diterbitkan setelah Indonesia sejak pemerintahan orde baru.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah karya sastra yang menggambarkan praktik dan perlawanan terhadap korupsi telah diterbitkan setelah Indonesia merdeka. Salah satunya novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada tahun 1954. 

Meskipun karya sastra tersebut berbentuk fiksi, sejarawan Bonnie Triyana menilai hal tersebut merupakan penggambaran mengenai masalah sosial yang dihadapi masyarakat pada masanya. Bahkan, Bonnie menyebut banyak sastrawan yang mengangkat tema serupa.

Misalnya novel Orang-Orang Proyek oleh Ahmad Tohari hingga Ramadhan KH dengan karyanya yang berjudul Ladang Perminus.

"Itu novel yang sebetulnya melukiskan keadaan bagaimana praktik korupsi di tubuh Pertamina yang merugikan negara banget, yang mungkin hasil korupsi juga enggak habis dimakan tujuh turunan. Nah itu juga menginspirasi novel dan sangat menarik ketika praktik korupsi ini menjadi tema-tema novel," kata Bonnie kepada Liputan6.com.

Karena itu, dia menyebutkan berbagai praktik korupsi sudah terjadi sejak masa penjajahan dan polanya masih terbawa dari masa ke masa. Saat masa kolonial, kata Bonnie, saat tanam paksa pun praktik korupsi telah terjadi yang dilakukan oleh para kaum feodal.

"Jadi mulai camat, bupati ke atas itu. Mereka yang mengoperasionalkan kekuasaan di dalam kolonialisme yang berkawinlah dengan kolonialisme. Ketika kopi disetorkan ke VOC misalkan, petaninya cuma dapat 1-2 sen, harga si elite feodal nya itu mark-up harga dinaikkan lagi ke VOC. Selisihnya itu sudah korupsi," ucapnya.

Kemudian contoh lainnya yaitu praktik upeti. Atau kebiasaan memberikan hadiah yang secara finansial dan ekonomi saat itu belum bagus kepada petinggi wilayah atau pengusaha saat itu.

"Dalam pola yang lebih modern sekarang itu, kayak ngasih uang tanda terima kasih, tanda hadiah atau apa pun itu, gratifikasi lah katakanlah. Nah, hubungan ini berlangsung ratusan tahun dalam kebudayaan kita. Sedikit banyak praktiknya masih ada," papar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pola Korupsi Saat Ini Bentuk Modifikasi dari Peristiwa Sebelumnya

Selanjutnya, berhubungan dengan otoritas feodal, misalnya sebelum adanya Pilkada yang memberikan jabatan kepada keturunannya. Sedangkan untuk saat ini warisan yang tersisa di era modern yaitu berhubungan dengan partai politik.

"Partai politik kalau udah mau pemilu orang ngomongnya pakai duit semua. Hubungan yang terjalin antara orang yang mau dipilih sama yang memilih itu hubungan duit. Untuk daerah tertentu misalkan, dia untuk menjaga masanya ada istilahnya biaya patronase, ngasih uang supaya dia tetap memberi dukungan. Ini pola-pola yang menurut hemat saya diwariskan dari masa lalu," ujar Bonnie.

Dia menegaskan, praktik korupsi yang terjadi saat ini merupakan warisan masa lalu dan telah dimodifikasi. "Tapi kelakuannya polanya sama. Kalau pertanyaannya seberapa banyak garong seberapa banyak yang dicuri segala macam, pasti banyak. Jadi kita alihkan sedikit geser pemahamannya seberapa kuat dan seberapa serius kita memeranginya. Bahkan, kalau sudah diperangi aja masih ada tuh orang korupsi, apalagi enggak," Bonni menjelaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.