Sukses

HEADLINE: MA Tetap Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan, Efek Jera Pelaku Asusila?

Putusan MA menolak kasasi Herry Wirawan dianggap tepat. Harry pun tetap divonis hukuman mati. Namun hukuman itu masih menjadi pro-kontra. Bagaimana KUHP baru memandang itu?

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Herry Wirawan terkait upaya hukumnya di Mahkamah Agung kandas. Terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati Pesantren Madani Boarding School di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, ini tetap divonis mati setelah majelis pada Mahkamah Agung menolak kasasinya.

Perkara dengan nomor: 5642 K/PID.SUS/2022 ini diadili oleh Ketua Majelis Kasasi Sri Murwahyuni dengan hakim anggota Hidayat Manao dan Prim Haryadi dengan panitera pengganti Maruli Tumpal Sirait. Putusan kasasi ini dibacakan MA pada Kamis, 8 Desember 2022.

"Amar putusan JPU & TDW = Tolak," demikian dikutip dari laman kepaniteraan MA, Selasa 3 Januari 2022.

Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan positif dari Kuasa Hukum korban, Yudi Kurnia. Ia menilai langkah MA menolak kasasi Herry Wirawan merupakan keputusan yang adil.

"Itu sudah cukup adil putusan kasasi, sudah cukup memberikan keputusan seadil adilnya," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (5/1/2023).

Menurutnya, hukuman mati patut diberikan kepada terdakwa lantaran telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam perundang-undangan. Selain itu, hukuman mati juga tertera dalam hukum positif di Indonesia.

"Karena itulah undang-undang yang tersedia bagi pelaku untuk seorang guru, apalagi ini korbannya di undang-undang itu kan lebih dari satu orang itu kan hukuman mati. Ini kan lebih dari satu orang, 13 orang. Artinya sudah sangat layak, sangat adil, sesuai dengan peraturan perundang-undangan putusan itu. Kami menyambut baik dan mengapresiasi putusan yang adil itu," terang dia.

Yudi pun menyentil mereka yang tidak sepakat terhadap hukuman mati untuk terdakwa Harry Wirawan. Para penolak hukuman mati tersebut dinilainya sebagai kelompok yang tidak memiliki rasa simpati terhadap nasib para korban.

"Yang kontra terhadap hukuman mati itu menurut saya sangat naif, miskin empati, tidak merasakan perasaan korban. Walaupun dengan alasan-alasan bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan deklarasi internasional tentang Hak Asasi Manusia. Ini yang tersedia undang-undang yang berlaku, ya itu. Orang yang kontra, lembaga apa pun, termasuk saya baca itu Komnas Perempuan, tidak setuju dengan hukuman mati," kata dia.

Yudi meminta pihak yang menolak hukuman mati untuk tidak mengkritisinya secara per kasus. Menurutnya, hukuman mati tersebut seharusnya ditelaah dari sisi perundang-undangannya.

"Jangan per kasus untuk mengkritisinya, harus undang-undangnya. Karena kalau terbaca, terlihat oleh para korban, itu sangat menyakitkan bahasa itu. Bukannya mendukung harapan harapan para korban, tetapi ini malah sebagai Komnas Perempuan, tidak merasakan tidak memiliki empati terhadap sesama perempuan, apalagi terhadap anak ini korbannya. Kalau mau mengkritisi, undang-undang secara hukum. Tolong dijagalah, kalau memang mengkritisi tidak sesuai dengan deklarasi internasional tentang HAM, kritisilah undang-undang. Jangan per kasus, kasihanlah keluarga korban," terang dia.

Dengan adanya hukuman ini, Yudi menambahkan, diharapkan akan memberikan efek jera bagi orang lain. Sehingga kasus-kasus seperti Herry Wirawan ini tidak kembali terulang di masa mendatang.

"Apalagi ini sudah membawa label agama, itu membuat masyarakat hilang dan menurun kepercayaannya terhadap pesantren gara gara ulahnya si Herry Wirawan. Hukuman mati sudah layak," tegas dia.

Selain hukuman mati terhadap pelaku, Yudi juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib para korban kebiadaban Herry. Negara harus hadir dalam membantu korban yang masih berusia anak-anak dengan masa depan yang masih panjang tersebut.

"Masa depan anak-anak ini perlu diperhatikan. Terlepas ada restitusi atau tidak di dalam putusan, ini sudah menjadi kewajiban negara. Negara Wajib hadir mengurus anak-anak itu. Karena anak-anak ini bagaimana pun juga secara ekonomi, di bawah standar. Itu sudah menjadi kewajiban negara, apalagi ini korban," ujar dia.

Yudi mengungkapkan, saat ini kondisi korban telah dapat menjalani kehidupannya secara normal. Mereka sudah dapat bersosialisasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat.

"Dari sisi psikologis korban, sampai saat ini alhamdulillah sudah membaik. Lingkungan juga sudah menerima, sudah memahami, bahwa (kejadian) mereka itu bukan keinginan dia, tapi sebagai korban. Dan sebagian sudah mengikuti sekolah persamaan dan sudah membaur. Sudah clear di lingkungan," ucap dia.

Sedangkan anak yang dilahirkan para korban, Yudi mengatakan telah diasuh oleh keluarga masing-masing. Karena itu pemerintah harus turun tangan mengatasi persoalan mereka.

"Ke depannya, korban dan anak yang dilahirkan itu, itu harus menjadi perhatian pemerintah. Karena pemerintah sampai saat ini kan menunggu putusan. Jangankan ada putusannya, tidak ada pun sudah menjadi kewajiban negara," dia menegaskan.

Sementara itu Pengacara Harry Wirawan, Ira Mambo belum dapat mengomentari putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Dirinya baru sebatas mengetahui putusan tersebut berdasar informasi yang beredar dari Mahkamah Agung.

"Jadi yang beredar itu dari MA sendiri sumbernya. Saat ini bagian lawyer itu belum mendapatkan putusan, putusan sendiri akan didapat dari kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung. Saya sudah ke kepaniteraan PN Bandung bagian kasasi, memang belum mendapatkan putusan dari MA, jadi tidak bisa meminta ke MA, tetap harus menunggu. Proseduralnya itu. Dari kepaniteraan PN Bandung," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (5/1/2023).

Karena itu, dia menegaskan, pihaknya tidak dapat menanggapi putusan MA ini. Pun dengan langkah-langkah yang bakal diambil setelah kasasi Herry Wirawan ditolak.

"Mengenai isinya (putusan kasasi) tidak bisa menanggapinya sekarang, karena harus membaca dulu secara utuh menyeluruh. Kemudian nanti tentunya saya akan mendiskusikannya dulu kepada Bapak Herry Wirawannya, tentang langkah yang akan dilakukannya. Kan di situ tentu ada argumentasi-argumentasi di dalam keputusan itu. Jadi kita harus melihat utuh menyeluruh dulu," jelas Ira.

"Jadi intinya bukan kita tidak menerima (putusan MA), tapi memang di Pengadilan Negeri Bandung pun belum (terima). Ketika telah menerima, pasti kami langsung dihubungi. Dan Kejaksaan pun belum (menerima), (setelah terima) pasti langsung dihubungi. Mungkin memakan waktu karena proses pemberian surat keputusan itu, tidak seperti yang umum tahu. Ada proseduralnya," dia menerangkan.

Ira mengungkapkan, saat ini kondisi Harry Wirawan dalam keadaan baik. Ia pun menegaskan kabar tentang MA menolak kasasi belum disampaikan kepada kliennya. Dan pada saatnya, informasi tersebut akan disampaikan jika keputusan tertulis MA telah sampai kepada pihaknya.

"Saat ini Harry Wirawan dalam keadaan sehat dan masih di Rutan Kebonwaru, belum dipindahkan. Pada saat ini, kami tidak akan memberikan kabar (kasasi ditolak MA), atau sesuatu yang belum on the paper-nya. Tentu begitu kami mengetahui, nomor satu yang kami beritahukan adalah pihak keluarga dan Pak Harry itu sendiri," dia menegaskan.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Jamin Ginting menilai, bobot tindak pidana yang dilakukan Herry Wirawan menjadi pertimbangan tersendiri dalam putusan hukum tersebut. Terlebih, sang terdakwa merupakan sosok dari kalangan pemuka agama.

"Pada prinsipnya perbuatan yang dilakukan dengan berulang ulang dan berlanjut, serta dilakukan pada situasi dan kondisi yang orang itu dipercaya sebagai pemuka agama, menjadi dasar pemberatan bagi pelaku yang dengan mudahnya bisa melakukan perbuatan pidananya," kata Jamin kepada Liputan6.com, Kamis (5/1/2023).

"Kedua, perbuatannya itu kategorinya kekejian dan secara berulang-ulang dan berlanjut, karena ada pasal berlanjut. Saya kira itu sudah amat sangat dipertimbangkan matang, bukan hanya dalam tingkat kasasi saja, tapi dalam tingkat banding ya. Karena di tingkat banding meningkatkan status pemidanaannya," dia menerangkan.

Namun demikian, Jamin melanjutkan, yang harus dipahami ini agak sedikit kontradiktif dengan KUHP yang baru diterbitkan Presiden Jokowi. Dalam KUHP itu, menurut dia, semangatnya tidak lagi menginginkan adanya hukuman mati.

"Jadi jika disesuaikan dengan keadaan (KUHP baru) seperti itu, maka hukuman mati itu bukan sesuatu efek jera. Bukan membuat efek jera, maksudnya jangan sampai hukuman mati itu, diputuskan tapi nanti tidak dapat dieksekusi. Karena apa? Karena memang UU yang baru, KUHP itu mengkonversi hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup, dalam hal orang itu berkelakukan baik selama 10 tahun," ujarnya.

Aturan tentang hukuman mati diatur dalam Pasal 100 KUHP baru. Dalam pasal itu disebutkan hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan dua hal.

Pertama, rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Kedua, peran terdakwa dalam tindak pidana. Kemudian Pasal 100 Ayat (4) menyatakan jika dalam masa percobaan itu terpidana menunjukan sikap terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan putusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Kemenkumham mengungkapkan, KUHP ini akan berlaku efektif pada 2025. Pemerintah dan DPR akan melakukan sosialisasi KUHP baru itu selama tiga tahun.

"Ada masa percobaan 10 tahun, makanya nanti kalau orang ini ditahan, hukuman mati tidak dieksekusi sampai 10 tahun ke depan, dan diberlakukan KUHP, berarti dia ada kesempatan untuk mengkonversi hukuman matinya menjadi seumur hidup," jelas dia.

"Atau mungkin juga minta grasi, tapi tentu kan keadaan saat ini sangat sulit bagi presiden untuk bisa memberikan grasi. Karena ini kan putusan udah inkrach dalam konteks sudah putusan kasasi dan berkekuatan hukum tetap. Satu-satunya dimohonkan PK ataupun grasi,"

Selanjutnya dia menilai hukuman mati tetap diperlukan di Indonesia. Di Amerika Serikat, sebutnya, sebagai negara kampiun demokrasi dan menjunjung tinggi HAM, hukuman mati masih diberlakukan.

"Kita dalam konteks negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM sama seperti AS dalam level menjunjung tinggi HAM tetap masih mempertahankan hukuman mati itu sebagai penghukuman pemidanaan, tapi bukan pidana utama, beda. Cuman memang kalau di sana sudah ada putusan yang menjadi dasar, apakah dihukum mati atau tidak, karena mereka terikat terhadap yurisprudensi, kalau kita kan enggak," ujar dia.

Terkait putusan kasasi MA ini, lanjut Jamin, memang adanya kekejian yang mendalam terhadap korban yang dilakukan pelaku. Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual pun baru kali ini terjadi.

"Ini juga jarang, sampai sampai seperti ini hukuman mati terhadap pelaku pelecehan atau pemerkosaan, jarang terjadi hukuman mati. Karena korbannya terlalu besar dan klasifikasi yang disebutkan tadi," kata Jamin.

Hukuman ini, menurutnya, akan memberikan trigger mechanism effect terhadap yang lain. Meraka akan berpikir ulang untuk melakukan hal serupa jika tak ingin mengalami nasib serupa Harry Wirawan.

"Jadi kalau orang ada yang udah pernah dihukum mati, pasti orang takut melakukan hal yang sama. Cuman apakah semua orang memiliki pendidikan yang sama dalam memahami dan mengerti kalau ada yang pernah dihukum seperti ini. Ini yang masih belum dipahami, bisa juga mereka tingkat pendidikannya sangat rendah dan tidak tahu kalau ada putusan seperti ini," jelas dia.

Karena itu, penting adanya pengawasan yang ketat terhadap pendidikan-pendidikan keagamaan. Lembaga yang berbasis keagamaan, menurut Jamin, cenderung pemimpinnya dijadikan sebagai idola.

"Rata-rata kan yang menjadi idola pendidikan yang berbasis agama. Mereka sangat mengidoakan pemimpinnya. Jarang kita lihat (pendidikan) umum atau negeri yang kena kasus seperti ini. Mereka yang masuk asrama pesantren sangat mengidolakan (pemimpinnya). Nah ini harusnya yang diberi pemahaman, bahwasannya mereka harus berani melawan, menolak setiap tindakan yang melawan norma agama dan hukum. Siapa pun pemimpin mereka yang dipercaya," demikian Jamin menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mati Urusan Tuhan

Pandangan berbeda disampaikan Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Dia mengaku tidak sepakat dengan penerapan hukuman mati lantaran urusan nyawa menjadi kewenangan sang pencipta.

"Saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju hukuman mati, karena hukuman mati itu hanya otoritas Tuhan menurut saya. Yang paling realistis sebenarnya dihukum saja seumur hidup, nanti lama-lama juga mati. Tanpa ada remisi, pengurangan atau perubahan, lama-lama kan mati juga di penjara itu," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (5/1/2023).

Meski demikian, dia menilai putusan MA yang menolak kasasi terdakwa Herry Wirawan sudah memenuhi rasa keadilan. Jumlah korban serta dampak yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa, dinilainya telah memenuhi unsur putusan hukum tersebut.

"Secara yuridis maupun sosiologis, sudah memenuhii unsur keadilan di masyarakat," kata dia.

Dia menjelaskan, hukuman mati memang tertera dalam KUHP buatan Belanda. Namun norma hukum itu dapat berubah bila KUHP baru yang disahkan Jokowi mulai berlaku pada 2025 mendatang.

"Hukum positif kita hukuman mati ada. Tetapi belakangan KUHP (baru), ada juga hukuman mati. Cuman diberikan tenggang waktu selama 10 tahun. Kalau 10 tahun ada perubahan, akan diubah bentuknya menjadi seumur hidup atau 20 tahun. Okelah ada lebih baik lah, memang ada prasyaratnya juga. Artinya tidak semata-mata dihukum mati, tapi juga diberi kesempatan, untuk memperbaiki dirinya. Walaupun lucu juga, karena orang di penjara mana bisa dia berbuat tidak baik," ujar dia.

Menurutnya, sistem ini dapat menimbulkkan dilema baru. Karena bisa juga menjadi komoditi yang akhirnya orang akan merekaya untuk dapat mengubah status hukuman tersebut.

"Orang akan, 'ah udah lah bikin aja supaya (hukuman) bisa diubah. Ada banyak peluang yang bisa juga mengakibatkan tindak pidana tersendiri. Harusnya juga pelaksanaan ini diawasi dengan ketat, supaya bisa benar-benar dilakukan dengan tujuannya," ujar dia.

"Hukuman Herry bisa berubah, menurut saya berubahnya jangan pada hukuman jangka waktu tertentu, bisa bebas dia. Mestinya seumur hidup saja. Kan nggak beda dengan hukuman mati," Fickar menandaskan.

Sedangkan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono Abdul Ghafur, menghargai putusan MA itu. Dia berharap, vonis itu bisa jadi efek jera bagi pelaku asusila.

"Semoga penegakan hukum atas pelaku kejahatan kemanusiaan, termasuk tindak asusila di lembaga pendidikan, ini bisa memberikan efek jera," terang Waryono dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (4/1/2022).

"Hukuman untuk Heyry Wirawan semoga menjadi pelajaran berharga sehingga kejadian yang sejenis tidak terulang," sambungnya.

Waryono menilai, hukuman yang telah dijatuhkan sampai pada tingkat kasasi di MA adalah sebuah ketegasan hakim dan keteguhan penegak hukum.

"Ini bentuk ketegasan hakim. Ini juga mengingatkan kepada setiap kita agar tidak berbuat seperti itu," tegasnya.

Waryono mengakui bahwa kasus Herry Wiryawan terjadi sebelum terbitnya Peraturan Menteri Agama No 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

3 dari 3 halaman

Kasasi Bukan Minta Keringanan Hukuman

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati, Herry Wirawan. Dengan ditolaknya kasasi oleh MA, maka Herry tetap divonis dengan pidana mati.

"Amar putusan JPU & TDW = Tolak," demikian dikutip dari laman kepaniteraan MA, Selasa (3/1/2022).

Perkara dengan nomor: 5642 K/PID.SUS/2022 ini diadili oleh ketua majelis kasasi Sri Murwahyuni dengan hakim anggota Hidayat Manao dan Prim Haryadi dengan panitera pengganti Maruli Tumpal Sirait. Putusan kasasi ini dibacakan MA pada Kamis, 8 Desember 2022.

Diketahui, terpidana kasus perkosaan terhadap belasan santriwati, Herry Wirawan (36), akhirnya mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) atas vonis mati yang telah dijatuhkan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.

Kuasa hukum Herry Wirawan, Ira Mambo mengatakan, pengajuan kasasi merupakan keputusan yang dipilih Herry yang memperkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan itu menanggapi langkah hukum usai divonis hukuman mati PT Bandung.

"Iya (kasasi). Lagi diurus," kata Ira saat dikonfirmasi, Senin (26/4/2022).

Ira menerangkan, usai menerima salinan putusan PT Bandung, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Herry Wirawan yang kini mendekam di Rumah Tahanan Kelas I Bandung.

Adapun opsi kasasi diambil didasari pertimbangan upaya hukum kliennya. Selain itu, Ira juga menegaskan bahwa pengajuan kasasi bukan semata-mata bahwa kliennya meminta keringanan hukuman, melainkan untuk memperkuat putusan pada tingkat pertama atau tingkat kedua (banding).

"Ketika kasasi itu, beliau (hakim) memutus di luar putusan tingkat pertama atau kedua. Kan pertama seumur hidup, kedua mati dan restitusi. Nah, nanti kasasi ini misalnya lebih rendah atau lebih tinggi, jadi istilahnya menguatkan banding atau PN atau dia bikin putusan sendiri. Itu kewenangan hakim sendiri, jadi tidak meminta hukumannya diringankan," tuturnya.

Pengadilan Tinggi (PT) Bandung sebelumnya menjatuhkan vonis mati kepada terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya, Herry Wirawan. Vonis banding itu dibacakan pada Senin 4 April 2022.

"Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," bunyi amar putusan kasus pemerkosaan santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan, seperti dikutip Liputan6.com dari laman resmi PT Bandung.

Putusan banding itu lebih berat dari vonis yang dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama, yakni hukuman pidana seumur hidup. Vonis ini juga sekaligus memperbaiki sejumlah putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung, salah satunya terkait restitusi.

Putusan banding yang memperberat hukuman Herry Wirawan ini disambut baik para korban dan keluarganya. Mereka merasa bahwa vonis mati terhadap Herry Wirawan adalah keputusan yang adil.

"Keluarga korban merasa senang mendengar itu, karena sesuai dengan harapan, yang dulu pada saat putusan PN sempat ada kekecewaan. Jadi ketika kemarin mendapatkan hukuman mati mereka senang. Paling tidak merasa lega ya, karena dengan hukuman mati keluarga korban merasa adil," ujar kuasa hukum korban, Yudi Kurnia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (5/4/2022).

Bahkan Yudi menilai, putusan di tingkat banding itu tidak hanya memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. "Tapi juga secara umum masyarakat luas," dia menambahkan.

Dia mengakui bahwa putusan ini menuai pro dan kontra. Namun, dia meminta agar pihak yang menolak hukuman mati tidak mengkritisi putusan yang dijatuhkan terhadap Herry Wirawan atas perbuatan biadabnya memperkosa santriwatinya yang masih di bawah umur hingga melahirkan.

"Karena kasihan keluarga korban. Kalau mau mengkritisi undang-undangnya, jangan dalam konteks kasus ini. Jangan dalam konteks kasusnya, tapi dalam kerangka aturan yang sudah ada itu," ucap Yudi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.