Sukses

Polemik Surat Edaran Mendagri dan Ancaman Penyalahgunaan Kekuasaan

Pengamat Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menilai surat edaran Mendagri tersebut merupakan suatu langkah kemunduran yang dapat berimplikasi pada masalah serius yang memungkinkan terjadinya abuse of power.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengizinkan Pelaksana tugas (Plt), Penjabat (Pj), maupun Penjabat sementara (Pjs) Kepala Daerah untuk memberhentikan hingga memutasi pegawai tanpa izin dari Kemendagri. Hal itu, tercantum dalam Surat Edaran (SE) Nomor 821/5292/SJ yang diterbitkan Kemendagri.

Surat Edaran (SE) yang diteken oleh Mendagri Tito Karnavian pada 14 September 2022 itu ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota di seluruh Indonesia.

Alih-alih mendapat sambutan baik, SE Mendagri tersebut nyatanya membuat banyak pihak bertanya-tanya, bahkan ada yang menyebut hal itu hanya akan membuat kegaduhan di ranah publik dan dapat menciptakan suatu pertentangan.

Pengamat Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menilai surat edaran Mendagri tersebut merupakan suatu langkah kemunduran yang dapat berimplikasi pada masalah serius yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.

"Dengan memberikan kewenangan secara besar kepada penjabat (Pj). Saya pikir ini merupakan sebuah langkah yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan itu sendiri," Kata Umam kepada Liputan6.com Rabu (21/9/2022).

Lebih lanjut, Umam menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Menurutnya, aturan-aturan mengenai persoalan yang perlu dilakukan oleh penjabat sudah jelas tertuang dalam PP tersebut, di mana dalam semua pelaksanaan tugas Pj harus dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Dalam PP yang ada, itu sudah diatur dengan cukup clear. Bahwa, semua langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Penjabat (Pj) itu harus betul-betul dikoordinasikan dan mendapatkan legalisasi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri)," Ujarnya

Umam menyebut selain dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power, Surat Edaran mendagri tersebut juga dapat menciptakan sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat melalui Mendagri kepada Pj, Pjs ataupun Plt yang menjabat.

"Langkah ini memungkinkan terjadinya sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat lewat Kemendagri dan memiliki kendali yang lebih kuat terhadap kepala-kepala daerah." Jelas Umam

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Minta Mendagri Cabut Surat Edaran Soal Pj Gubernur Bisa Mutasi Pegawai

Selain dapat menimbulkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, SE Mendagri juga dinilai dapat menciptakan intepretasi negatif dari publik. Hal ini sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa. Oleh karenanya, Saan meminta Mendagri Tito Karnavian segera mencabut Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ.

"Jadi saya mengusulkan surat edaran tersebut kalau bisa dicabut. Karena nanti rawan interpretasi. Bukan hanya rawan interpretasi oleh para Pj gubernur bupati/walikota, juga rawan interpretasi di publik," ujar Saan dalam rapat kerja dengan Mendagri, Rabu (21/9/2022).

Saan mengingatkan, surat edaran itu sangat berpotensi untuk disalahgunakan oleh para Pj. "Surat edaran ini sangat potensial atau rawan nanti disalahgunakan, rawan namanya abuse of power, itu rawan sekali," kata politikus NasDem ini.

Politikus NasDem itu menyebut SE itu harus direvisi atau paling tidak dievaluasi kembali.

"Surat edaran yang baru, dievaluasi atau direvisi terkait dengan soal surat edaran itu supaya dasar hukumnya ini tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada semua," kata Saan.

3 dari 5 halaman

Minta Penjelasan Mendagri Tito

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa menyatakan pihaknya akan mengklarifikasi soal edaran itu ke Tito pada rapat hari ini, Rabu (21/9/2022).

“Kita tanyakan, coba klarifikasi, sekaligus akan kami meminta penjelasan terkait surat edaran Mendagri yang memberikan kewenangan pada Pj gubernur, Plt dan pejabat sementara, terkait pemberhentian pemberian sanksi ASN termasuk mutasi,” kata Saan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (21/9/2022).

Saan menyebut edaran itu bisa menimbulkan kegaduhan. Ia juga menyatakan ada peluang surat edaran itu ditarik atau direvisi apabila banyak menentang aturan.

“Karena misal tidak dijelaskan surat edaran itu, banyak sekali bertentangan dengan berbagai aturan yang ada. Hal seperti ini di rapat kita minta mendagri jelaskan. Dan kalau memang dirasa surat edaran itu perlu direvisi atau ditarik kembali, karena memang menimbulkan banyak hal dan kegaduhan juga,” kata dia.

Menurut Saan, surat edaran ini perlu direvisi atau ditarik. Karena hanya menimbulkan kegaduhan.

Diketahui, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merinci penjelasan terkait Surat Edarkan Mendagri Nomor 821/5492/SJ yang memberikan izin kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah memutasi maupun memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) begitu saja. Edaran ini diterbitkan berkaitan dengan akan habisnya masa bakti sejumlah kepala daerah sehingga kekosongan diisi penjabat (Pj).

"Penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 bertujuan agar pengelolaan pembinaan kepegawaian di daerah berjalan lebih efektif dan efisien," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Benni Irwan dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

4 dari 5 halaman

Berisi 2 Pokok Poin

Benni Irwan mengatakan, SE tersebut berisi dua poin pokok. Pertama, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi PNS tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat.

Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi aparatur sipil negara (ASN) yang tersangkut korupsi.

Benni mencontohkan, apabila ada seorang ASN yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Maka bupati akan melakukan pemberhentian sementara.

Namun, hal itu tidak bisa langsung dilakukan, karena harus izin Mendagri terlebih dahulu. Sedangkan, amanat PP Nomor 94 Tahun 2021 pegawai yang bersangkutan harus segera diberhentikan sementara.

"Sehingga, dengan izin yang tersebut dalam SE, ASN yang melakukan pelanggaran dapat segera diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku," ucap dia. Demikian dikutip dari Antara, Senin, 19 September 2022.

5 dari 5 halaman

Tak Perlu Lagi Persetujuan Pusat

Poin kedua, lanjut Benni, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah yang akan melepas dan menerima ASN yang mengusulkan pindah status kepegawaian antar-daerah (mutasi antar-daerah), maupun antar-instansi (mutasi antar-instansi).

Dengan demikian, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana yang diatur sebelumnya. Upaya itu dilakukan agar proses pindah status kepegawaian tersebut berjalan lebih efektif dan efisien.

Sebagai contoh, ketika seorang Pj bupati akan melepas ASN-nya pindah ke kabupaten lain. Kedua kepala daerah, baik yang melepas maupun menerima, harus mendapatkan izin Mendagri lebih dulu. Sebelum menandatangani surat melepas dan menerima pegawai tersebut.

Padahal pada tahap selanjutnya, mutasi antar-daerah tersebut akan tetap diproses oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Dengan demikian, kata dia untuk mempercepat proses pelayanan mutasi, maka melalui penandatanganan izin melepas dan izin menerima tersebut diberikan.

"Pada dasarnya SE itu hanya memberikan persetujuan amat terbatas, hanya 2 urusan di atas kepada Pj Kepala Daerah untuk kecepatan dan kelancaran birokrasi pembinaan kepegawaian, dan sangat jauh berbeda dengan kewenangan kepala daerah definitif," tutur Benni.

Namun, lanjut Benni untuk mutasi pejabat internal daerah, seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis dari Mendagri.

"Kalau tidak dapat izin dari Mendagri, maka kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh daerah," ujarnya.

Selanjutnya, Benni mengatakan setelah proses pembinaan kepegawaian tersebut dilaksanakan, maka Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus melaporkan kepada Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak kebijakan tersebut diambil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.