Sukses

Journal: Memutus Mata Rantai Generasi Sandwich, Anak Bukanlah Mesin Uang

Generasi sandwich, mereka yang terimpit di antara dua generasi, atas dan bawah, dan mau tidak mau harus membiayai hidup dua generasi tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Jam menunjukkan pukul enam pagi. Satria (36) bergegas mengeluarkan motornya. Ia punya waktu dua jam untuk mencari penumpang, sebelum berangkat menuju kantor.

Ya, Satria melakoni dua pekerjaan sekaligus. Selain sebagai pegawai kantoran, ia juga mencari nafkah sebagai pengendara ojek online. Semua dilakukan demi memenuhi kebutuhannya, istri, dua anak dan orang tua.

Dari dua pekerjaan itu, Satria mendapatkan penghasilan sekitar 6 juta perbulan. Angka ini, kata dia, pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta seperti makan, bensin, cicilan motor dan lain-lain. Jika ada kebutuhan mendesak, Satria terpaksa mencari pinjaman.

"Ya mau bagaimana, harus dijalanin. Setiap ada kekurangan dicari solusinya. Tetap berusaha untuk keluarga," dia bercerita.

Satria (kiri) termasuk salah satu contoh generasi sandwich (Istimewa)

Setali tiga uang, Cakra (31) juga menjadi tulang punggung keluarga sejak duduk di bangku kuliah. Sang ayah tidak lagi membiayai hidup dia dan ketiga adiknya. Cakra pun memutuskan bekerja sambil kuliah, demi membantu kehidupan keluarganya, termasuk sang ibu.

Selepas lulus kuliah dan sepenuhnya bekerja, Cakra jadi tulang punggung penuh keluarga. Dia turut bertanggung jawab membiayai kuliah adik-adiknya. Demikian pula setelah menikah hingga akhirnya punya anak. Cakra sejak awal mengaku memberi pengertian kepada sang istri bahwa dia harus membantu membiayai kehidupan ibu dan adiknya yang belum selesai kuliah.

"Selama ini sih tidak pernah ada konflik. Istri memaklumi dan setuju-setuju saja saya membiayai orang tua. Paling kalau ke adik waktu itu, saya setengah mengancam; 'Kalau empat tahun belum lulus kuliah, bayar pakai duit sendiri'," tutur Cakra.

Bapak beranak satu ini tidak pernah merasa keberatan berada dalam posisi di antara membiayai orang tua dan menafkahi istri serta anak. Cakra meyakini rezeki akan selalu ada dari Tuhan, jika dipakai untuk kebutuhan keluarga.

"Kadang ada saja rezeki yang enggak disangka-sangka. Sekarang adik-adik sudah lulus kuliah semua, ada yang sudah kerja juga. Padahal dulu kalau dihitung-hitung kasar, duitnya dari mana ya, kok bisa cukup saja," katanya.

Kini, dia cukup lega, karena tinggal memikirkan biaya hidup sang ibu serta istri dan anaknya. Setidaknya, selain untuk bayar kontrakan, ada sedikit uang yang dapat masuk ke tabungan.

Terimpit Dua Generasi

Satria dan Cakra adalah contoh sandwich generation atau generasi sandwich. Generasi yang terimpit di antara dua generasi, atas dan bawah, dan mau tidak mau harus membiayai hidup dua generasi tersebut, termasuk diri mereka sendiri. Generasi ini terjebak dalam situasi menopang beban ganda, layaknya isi sandwich.

Adalah Dorothy A. Miller, Profesor sekaligus Direktur Praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS), yang pertama kali memperkenalkan istilah generasi sandwich. Dia memperkenalkan istilah itu dalam jurnal bertajuk "The Sandwich Generation: Adult Children Of The Aging (1981)".

Generasi sandwich yang digambarkan Dorothy yakni generasi orang dewasa yang mesti menanggung hidup orang tua sekaligus anak-anaknya. Generasi ini mungkin sebenarnya mempunyai support system yang baik, tapi di lain sisi juga perlu menangani potensi konflik dan masalah keuangan yang rentan terjadi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pemicu Kemunculan Generasi Sandwich

Terdapat berbagai pendapat tentang faktor yang menyebabkan munculnya generasi sandwich, khususnya di Indonesia. Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Daisy Indira Yasmine, menyebut ada empat faktor yang mendorong lahirnya generasi sandwich.

Empat faktor tersebut di antaranya, budaya, masyarakat yang belum terstruktural dan sistematis mempersiapkan hidup jangka panjang, kemampuan finansial individu atau keluarga, dan terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.

Menurut Daisy, budaya di Indonesia menganut nilai keluarga luas. Nilai keluarga luas yakni di mana kita lahir sampai meninggal kita hidup dalam satu keluarga. Hubungan darah penting sekali dan terus menerus dijaga dan dibina sehinggga ada turunan yang bentuknya semacam tanggung jawab saling membiayai atau menghidupi orang tua atau adik, meskipun kita juga sudah berkeluarga.

Seorang anak yang sudah bekerja memiliki semacam kewajiban memberikan sumbangan atau membantu kehidupan orang tua. Itu budaya yang sesungguhnya dianut kebanyakan masyarakat di benua Asia.

Faktor kedua yakni, masalah sistem dan struktur di Indonesia yang tidak mempersiapkan hidup dengan lebih terencana sampai jangka waktu yang lama atau panjang. Hanya ASN (Aparatur Sipil Negara) yang disiapkan negara untuk jaminan sosialnya di masa ketika sudah tidak produktif.

Untuk mereka yang bukan ASN, menabung untuk jaminan hari tua merupakan keputusan sendiri. Beruntung apabila individu tersebut bekerja di perusahaan yang mendaftarkannya di BPJS Ketenagakerjaan, namun bagaimana dengan nasib yang tidak?

"Banyak yang akhirnya mereka yang sudah tidak produktif lagi, kemudian punya anak, berbalik bergantung pada anaknya. Dan ini kalau terus-menerus dibiarkan ya akan begitu terus. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, ada satu ketergantungan," terang Daisy kepada Liputan6.com.

Sumber pembiayaan rumah tangga lansia 2020 (BPS / Liputan6.com / Abdillah)

Kemampuan finansial individu atau keluarga untuk menabung juga menjadi faktor lainnya yang memicu timbulnya generasi sandwich. Mungkin hanya kelas menengah-atas yang mampu melakukan perencanaan 20 sampai 30 tahun ke depan. Sementara mereka yang kelas menengah-bawah, biasanya malah memikirkan bagaimana hidup untuk hari ini atau paling tidak satu sampai dua tahun ke depan.

Selain itu, terjadi mobilitas vertikal antargenerasi yang turut menyebabkan keberadaan generasi sandiwich. Peluang generasi muda sekarang untuk mendapatkan penghasilan lebih luas dibanding generasi sebelumnya. Hal itu membuat mereka merasa punya kewajiban atau tanggung jawab membantu keluarga atau orang tuanya.

Kelompok usia produktif antara 30 sampai 50 tahun sebenarnya cukup rentan terhadap beban dua keluarga sekaligus. Tapi, semua tergantung kelas sosial generasi sandwich tersebut dan bagaimana perencanaan keuangan rumah tangganya.

3 dari 5 halaman

Anak Bukanlah Investasi

Sejak dulu, di Indonesia mengenal pepatah, "banyak anak banyak rezeki". Orang-orang di masa lalu menganggap anak sebagai sebuah investasi di masa depan. Dalam pepatah itu, anak adalah semacam peluang untuk mobilitas vertikal antargenerasi di masa depan. Secara sosiologis, hal itu disebabkan nilai-nilai budaya yang dianut di Indonesia yakni keluarga luas.

Menurut Sosiolog UI, Daisy Indira Yasmine, apakah nilai keluarga luas tersebut hal yang baik atau buruk, sebenarnya harus dilihat dari kacamata kasus per kasus. Efek negatif bisa timbul saat hal tersebut jadi sebuah tekanan atau tuntutan, bukan berdasarkan kesukarelaan.

"Akhirnya, malah memperburuk hubungan antar keluarga, karena kesannya jadi hubungannya material base. Itu yang buruk," katanya.

Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, rasio ketergantungan lansia terhadap penduduk produktif adalah sebesar 15,01. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif Indonesia mesti menanggung 15 penduduk lansia. Sayangnya, tren rasio ketergantungan lansia itu terus meningkat.

BPS menyatakan, jika jumlah penduduk lansia kian bertambah, maka tuntutan biaya perawatan lansia menjadi cukup besar. Sebaliknya apabila penduduk lansia dalam kondisi sehat, aktif, dan produktif, maka besarnya jumlah penduduk lansia bakal berdampak positif terhadap angka rasio ketergantungan dan kondisi sosial ekonomi keluarga, masyarakat, dan negara.

Daisy berharap ada sistem jaminan sosial di luar untuk ASN dan karyawan swasta. Sistem jaminan sosial itu nantinya dapat menjadi solusi mengurai persoalan ini. Sebab, kalau tidak maka akan terjadi lingkaran kemiskinan, terutama bagi mereka yang merupakan kelas menengah-bawah.

Mereka yang sudah tidak produktif atau tidak bekerja sehingga tidak memiliki penghasilan, kata Daisy, tentu akan bergantung pada anaknya. Dia menilai, perlu kebijakan negara untuk mereka yang usianya tidak lagi produktif agar masa tuanya terjamin.

"Tetapi, sistem jaminan sosial ini ada konsekuensinya yaitu ketika masa produktif, potongan untuk tunjangan dan lain sebagainya itu tinggi. Ibaratnya, kaya negara membantu warganya untuk 'menabung' untuk hari depan," jelasnya.

4 dari 5 halaman

Memutus Mata Rantai

Perencana Keuangan, Safir Senduk, mengatakan, generasi sandwich yang terjadi saat ini disebabkan karena ketidakmampuan generasi sebelumnya atau orang tua kita dalam mengelola keuangan.

Menurut dia, hal ini bisa dimengerti karena zaman dulu ada pemikiran dimana kesuksesan keuangan hanya diukur dari kepemilikan aset.

Safir menjelaskan, pola pikir generasi sebelumnya adalah jika sudah memiliki pekerjaan, maka hal pertama yang ada di pikiran adalah punya rumah pertama, mobil pertama. Setelah terbeli, muncul lagi sofa pertama, alat elektronik pertama dan seterusnya. Kemudian alat elektronik diganti lagi dengan yang lebih bagus dan canggih.

Pada akhirnya kehidupan penuh dengan cicilan, tanpa ada investasi. "Semua tidak terasa, usia tambah tua, dan begitu pensiun, penghasilannya berhenti. Orang tua menjadi bingung dan akhirnya menyandarkan diri kepada anak," kata Safir kepada Liputan6.com.

Safir mengatakan, guna memutus mata rantai generasi sandwich, maka generasi sekarang harus memiliki literasi dan pengetahuan keuangan yang baik

"Mumpung masih punya penghasilan produktif, mumpung punya kemampuan belajar dan mudah menggunakan internet karena banyak usia di atas 40-an sekarang megang handphone tuh kagok. Sementara anak usia belasan tahun atau 20-an, dia mengerti sehingga akses terhadap internet dan pengetahuan keuangan sangat mudah."

"Dengan akses mudah dan memiliki pengetahuan dan literasi meningkat, maka anak muda sekarang ketika pensiun, tak perlu menyandarkan diri kepada anaknya lagi."

Bagaimana Jika Penghasilan Pas-pasan?

Untuk berinvestasi, tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Muncul pertanyaan bagaimana jika generasi sandwich tidak bisa berinvestasi karena penghasilannya pas-pasan.

Menurut Safir, solusinya adalah anak muda harus punya pengetahuan bagaimana menambah pemasukan. Banyak orang, kata dia, tahu cara mengelola uang dan investasi, tapi kurang paham menambah pemasukan.

"Mereka cuma paham menambah income dari satu bidang sesuai sekolahnya. Jadi belajarlah segala bidang, jangan hanya bidang yang berhubungan dengan jurusan sekolahnya. Makin banyak bidang yang ia kuasai, maka makin banyak penghasilan yang bisa dihasilkan," ucap Safir.

Safir mengatakan, pola pikir bahwa anak adalah tabungan masa depan orang tua adalah kesalahan. Anak tidak berkewajiban untuk menanggung biaya hidup orang tua di masa depan.

Selain itu, orang tua tidak boleh mengharapkan “imbal hasil” atas seluruh biaya dan kewajiban yang sudah mereka keluarkan untuk anak-anak.

"Banyak orang tua berpikir berinvestasi ke si anak, harapannya si anak nanti punya penghasilan bagus dan nanti bisa membiayai orang tuanya di masa depan. Jangan begitu, itu pola pikir salah," pungkasnya.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.