Sukses

HEADLINE: Perairan Teluk Jakarta Tercemar Parasetamol, Seberapa Bahaya?

Penelitian BRIN dan University of Brighton UK pada 2018 lalu mengungkap air di Teluk Jakarta mengandung parasetamol. Berdampak serius bagi kehidupan kah? Masih validkah? Berikut ulasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Teluk Jakarta kini tak lagi berwarna biru, airnya berubah menjadi merah kecoklatan. Nelayan seperti Amda, harus mengarahkan perahunya ke tengah lautan saat mencari ikan di kawasan Teluk Jakarta sejak zat Parasetamol mencemari perairan Muara Angke. 

Jika tidak, Amda sulit mendapatkan ikan.

"Merah airnya. Mempengaruhi (pendapatan). Mati ikannya, rajungan mati. Kalau mati semua, ya ke tengah. (ke) Pulau," ujar nelayan Muara Angke ini, dalam tayangan Liputan 6 SCTV, 2 Oktober lalu.

Konsentrasi parasetamol yang tinggi di Teluk Jakarta terungkap dari penelitian yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan University of Brighton UK. Disebutkan, Muara Sungai Angke mengandung 610 Nanograms per liter dan Muara Sungai Ciliwung Ancol menyimpan 420 Nanograms per liter.

Ironinya, Pemprov DKI Jakarta tidak mengetahui adanya kadar parasetamol yang tinggi di perairan Teluk Jakarta sebelum hasil penelitian itu terungkap ke publik. 

Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas LH DKI Jakarta Yusiono berdalih, pihaknya tidak pernah menganalisis kadar parasetamol, lantaran zat itu tidak masuk dalam daftar indikator pencemaran lingkungan.

Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP itu menyebutkan, ada 38 parameter yang merupakan indikator pencemaran lingkungan dan parasetamol tidak masuk di dalamnya.

"Sedangkan untuk parasetamol ini karena tidak termasuk yang diatur. parasetamol ini masih belum ada baku mutu yang ditetapkan," kata Yusiono saat dihubungi, Selasa (5/10/2021)

"Sehingga kami tidak melakukan analisis ya untuk parasetamol tersebut," lanjut dia.

Meski demikian, dia menegaskan, Pemprov DKI Jakarta selalu meneliti kualitas air laut Ibu Kota setiap enam bulan sekali sesuai perintah perundangan. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, mengamini parasetamol tidak termasuk parameter pencemaran lingkungan. Namun harus diingat, lanjut dia, rehabilitasi Teluk Jakarta masuk dalam daftar kegiatan strategis. Oleh karena itu, seharusnya upaya pencegahan dilakukan.

"Mereka harus berterima kasih ke LIPI (sekarang BRIN) soal temuan parasetamol ini," ucap Tubagus kepada Liputan6.com, Selasa (5/10/2021).

Tubagus mengungkapkan, riset BRIN dan University of Brighton UK ini dilakukan pada 2018-2019. Prosesnya panjang hingga akhirnya mereka menemukan temuan tersebut. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta harus segera menindaklanjutinya. Misalkan terkait dampaknya terhadap ekosistem di Teluk Jakarta? Atau masih adakah kandungan parasetamol di sana?

"Menurut kami harusnya temuan ini harus ditindaklanjuti dengan berkoordinasi dengan LIPI untuk mendalami temuannya. LIPI ini kan hanya mengkaji dan yang menindaklanjuti Pemprov DKI, misal kandungannya sejauh mana memengaruhi ekosistem di Teluk Jakarta," kata Tubagus.

Dia juga menyarankan Pemprov DKI Jakarta menggandeng ahli dari berbagai bidang terkait dampak yang ditimbulkan. Karena setiap beban pencemaran, dipastikan akan mempengaruhi ekosistem dan kehidupan setempat.

"Soal dampak harus ada ahli khusus, misal dampak ke ikan, maka harus ada ahli kelautan dan perikanan," kata dia.

Tubagus mengatakan banyak dugaan terkait sumber limbah tersebut. Namun, untuk mengetahui asalnya, bisa dimulai dengan meneliti aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Jika hasil penelitian terbukti adanya pelanggaran, Pemprov DKI harus menindak tegas tanpa pandang bulu.

"Kita harus tahu berdampak penting pada lingkungan. Dan kalau terbukti, harus disanksi berat," ujar Tubagus.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Guru Besar bagian Hidrologi di Geofisika dan Meteorologi IPB University, Hidayat Pawitan mengaku heran dengan penelitian tersebut. Masih ada beberapa hal yang perlu digali, seperti terkait kata "tinggi" yang digunakan untuk menggambarkan konsentrasi parasetamol di Teluk Jakarta.

"Saya agak bertanya-tanya itu penelitian 2018 yang diributkan itu yang katanya parasetamol tinggi, tapi saya enggak begitu mengerti setinggi apa itu, karena teluk Jakarta bukan seperti baskom, kan luas sekali. Jadi kalau dibilang tinggi, berapa tingginya," ujar Hidayat kepada Liputan6.com, Selasa (5/10/2021).

"Saya mempertanyakan validitas dan esensi permasalahan parasetamol di perairan Teluk Jakarta. Tapi tadi kita tunggu saja hasil dari Dinas Lingkungan Hidup kemarin ambil sampel, kita lihat masih benar seperti itu," Hidayat menambahkan.

Ia mengungkapkan secara keseluruhan, Teluk Jakarta memang menanggung beban pencemaran yang tinggi. Namun yang acap dipersoalkan adalah limbah yang berasal dari logam berat.

"Karena kalau logam berat seperti tukang perbaikan pelek, B3 itu masuknya, industri rumahan ilegal, artinya yang tidak kontrol dan limbahnya masuk ke sungai, masuk ke teluk, itu udah cukup lama. Kalau itu yang kita curigai misal mercury, kemudian dari B3 tadi logam berat," kata Hidayat.

Untuk mengatasi ini, sumber pencemaran harus ditertibkan dan dibenahi serta dibina. Sehingga menjadi usaha yang terkendali. "Kalau sekarang susah kita bilangnya dia cuma buang limbah, kalau hujan hanyut ke teluk Jakarta, ke 13 sungai itu," ucap dia.

Hidayat menegaskan, sebetulnya mudah mengidentifikasi sumber pencemaran. Intinya B3 logam berat mercuri dan sebagainya itu sudah lama sehingga memang membuat perihatin bagi kesehatan masyarakat.

"Peneliti dari LIPI juga menganjurkan kalau ingin mengembangkan perikanan yang buat dikonsumsi, pindah ke pantai Karawang, sudah ada rekomendasi itu," ujarnya.

Perlu Pembaruan

Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Syaripudin mengungkapkan perlu pembuktian kembali terkait hasil riset BRIN yang disebutnya terjadi pada 2018. Sebab riset itu sudah dilakukan tiga tahun lalu.

"Ketika itu dipublish, saat ini kita harus membuktikan apakah benar di dua titik itu ada konsentrasi yang tinggi parasetamol. Kita harus lakukan uji daripada sampel air laut yang diambil ke labkesda DKI Jakarta. Nanti hasilnya dua minggu baru bisa disampaikan, apakah ada di situ mengandung parasetamol yang tinggi," ujar Syaripudin di Jakarta, Selasa (5/10/2021).

"Termasuk ada saran dari sungai tertentu sebaiknya kita ambil sampel lagi, kondisinya dua tahun yang lalu. Tiga tahun dipublish sekarang, nah itu harus kita buktikan," dia menambahkan.

Syaripudin menyampaikan apresiasinya kepada tim yang melakukan penelitian tersebut. Kendati demikian, sekali lagi ia menegaskan harus ada pengujian agar hasil yang didapat menjadi valid.

"Kami ucapkan terima kasih atas hasil penelitian. Justru itu kita akan melakukan pengujian yang nanti akan dijelaskan apakah betul di situ terdapat konsetrasi parasetamol yang tinggi yang mungkin nanti bisa mengakibatkan biota laut terganggu. Ini kan belum ada hasilnya," ujarnya.

Kabar ini, lanjut Syaripudin, menjadi masukan yang baik bagi Pemprov DKI. Semua hasil penelitian tersebut akan menjadi bahan untuk ditindaklanjuti.

"Bagi kami ini masukan yang baik sehingga mendapat informasi di sana tercemar. Makanya kita akan uji, ini saran yang bagus. Kami terbuka, KLH sudah respons, BRIN sudah konpers. Bahkan nanti mau dibentuk tim kerja rencananya terhadap sumber yang menjadi pencemar lingkungan. Bukan cuma ini aja," jelas Syaripudin.

Dia menjelaskan, selama ini, Pemprov DKI Jakarta selalu mengawasi pengolahan air limbah kegiatan usaha seperti hotel, gedung perkantoran, industri maupun pabrik. Ada standar pengawasan sampel air limbah yang diuji ke laboratorium.

"Nanti (hasilnya) dia laporkan. Ketika dia enggak memenuhi baku mutu, kita tegur. Jadi itu udah ada sistem pengawasannya. Nah kalau mungkin pada limbah cair rumah tangga, ini kan sebetulnya udah ada pola ketika mereka yang sehat punya septic tank yang sesuai ketentuan. Sehingga limbah yang dikeluarkan ke saluran air, apakah itu sungai, enggak mencemari sungai. Sudah ada," terang Syaripudin.

Terkait dengan pelaku pencemaran teluk Jakarta, Syaripudin tak mau menuding siapa pun. Saat ini, pihaknya masih terus menyelidiki masalah tersebut.

"Konteks hukum saja orang yang jelas sudah membunuh enggak boleh (jadi tersangka) sebelum dibuktikan dengan namanya peradilan dengan bukti-bukti. Dalam konteks ini tetap kita akan lakukan penyelidikan," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dampak Pencemaran Parasetamol

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati juga merasa terkejut dengan penemuan ini. Dia mempertanyakan dari mana sumber parasetamol itu berasal.

“Saya sendiri agak heran terkait temuan itu, sebenarnya dari mana (Parasetamol-nya), tapi memang ada kemungkinan. Bisa dari limbah industri, rumah tangga, ya mungkin ada sampai ke laut,” ujar Zullies kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (5/10/2021).

Dampak pada biota laut mungkin ada. Tapi untuk manusia dampaknya tidak terlalu signifikan karena jumlahnya kecil dalam nanogram (nl).

“Kalau dampak ke manusia saya kira tidak terlalu signifikan karena jumlahnya sangat kecil, Parasetamol sendiri sebetulnya obat yang aman, dia selama ini digunakan dalam 500 miligram (mg) dan dosis maksimalnya 4 gram.”

“Artinya, orang masih bisa menggunakan hingga 2 gram bahkan 4 gram. Jadi kalau di laut cuma sekian dan orang juga enggak minum air laut ya mungkin tak terlalu berdampak bagi orang.”

Zullies menambahkan, jika Parasetamol kemudian dimakan oleh ikan dan ikan tersebut dimakan oleh manusia, maka tetap saja dampaknya kecil. “Kalau dampak ke biota saya juga enggak tahu. Kalau dari segi bahaya saya enggak lihat bahayanya.”

Walau tak begitu membahayakan, Zullies berpendapat bahwa kejadian ini telah mengindikasikan bahwa pengelolaan limbah di Indonesia masih kurang baik.

“Sekarang yang diukur kan Parasetamol, kita belum tahu obat lain, jangan-jangan juga ada dan bisa saja yang lebih berbahaya seperti logam berat.”

Peneliti Oseanografi BRIN Zainal Arifin menjelaskan, pihaknya belum mempunyai data konsentrasi atau kandungan parasetamol ikan atau kerang yang terkontaminasi di Teluk Jakarta. Ditegaskan, parasetamol bukan dipergunakan dalam kegiatan budidaya.

"Kita harus pahami, parasetamol ini bukan untuk kegiatan budidaya (ikan, kerang atau tambak lain), sehingga dampaknya lebih kepada unintended marine life. Kita tidak tahu apakah (ikan, kerang, biota lain) terkontaminasi atau tidak," jelas Zainal dalam Media Briefing Paracetamol di Teluk Jakarta pada Selasa, 5 Oktober 2021.

"Ini perlu peneltian lebih lanjut. Sifat parasetamol itu cepat terlarut (dalam air), life time-nya pendek."

Dalam hal ini, Zainal menekankan, efek kontaminasi kemungkinan lebih menyasar populasi biota laut yang ada di Teluk Jakarta.

"Tentunya, kalau konsentrasi parasetamol ada sepanjang waktu atau istilahnya long term exposure. Karena kalau saya lihat dari beberapa studi terkait, konsentrasi kecil dan terus-menerus mungkin berdampak ke biota laut atau sungai," terangnya.

Sedangkan Pakar Teknologi Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri menyoroti pengolahan limbah farmasi.

"Parasetamol kan dipakai di mana-mana sebagai obat. Soal pencemaran parasetamol yang ketangkep (terdeteksi) bisa banyak (faktor) kemungkinan. Pertama, dari masyarakat atau penduduk. Mereka juga banyak menggunakan, sehingga keluar dari air limbah," jelas Enri kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (5/10/2021).

"Kedua, sektor (perusahaan/industri) farmasi. Mereka juga mengeluarkan air limbah industrinya. Mungkin di situ termasuk parasetamol dan sebagainya."

Yang menjadi fokus permasalahan, lanjut Enri, adalah setiap air limbah harus diolah sesuai standar. Ini bertujuan agar kandungan logam berat tidak melebihi ambang batas ketika dibuang.

"Karena harus diolah ya mesti sesuai standar. Misalnya, Oh, supaya logam berat tidak lebih, maka digunakan pengolahan kategori tertentu," terangnya.

"Ini juga termasuk (pengolahan limbah) obat-obatan dan bahan kimia."

Enri Damanhuri menambahkan, kemungkinan terdeteksinya parasetamol di Teluk Jakarta dari obat yang dibuang, lalu terbawa air hujan.

"Instalasi pengolahan limbah domestik mungkin di negara berkembang, obat dibuang, lalu tergilas air hujan, misalnya, bisa saja terjadi," tambahnya.

Di sisi lain, Enri membandingkan dengan pengolahan limbah di negara-negara industri. Di sana, pengolahan limbah dinilai sudah baik. Di negara-negara industri pun penelitian terkait pencemaran limbah, termasuk obat-obatan juga dilakukan.

"Kalau di negara industri, pengolahannya sudah bagus. Sementara itu, di kita mungkin saja di sektor industri sudah bagus, tapi di bagian domestik air limbah, pengolahannya bisa masuk septic tank dan sebagainya," tutup Enri.

"Di negara industri tahun 2015 sudah mulai concern (penelitian limbah), sehingga banyak melakukan analisa di laut dan sebagainya, termasuk limbah spesifik seperti obat-obatan."

Hasil Penelitian

Sebelumnya, Peneliti BRIN, Wulan Koagouw mengungkapkan dampak pencemaran parasetamol  terhadap biota laut, terutama pada jenis kerang. Dalam hal ini, kerang biru yang terpapar parasetamol selama tujuh hari akan mengalami perubahan pada jaringan gonad.

"Dan itu bisa dikomparasi antara 40 nanogram per liter, 250 nanogram per liter, dan juga 100 miligram per liter," kata Wulan yang dikutip, Selasa (5/10/2021).

Begitu juga dengan efeknya pada modulasi transkripsi gen. Beberapa transkripsi gen terlibat dalam reproduksi dan juga apoktosis akan mengalami perubahan.

"Jadi kita bisa lihat perbandingan konsentrasinya itu dalam 7 hari," ujarnya.

Yang mencengangkan, Wulan menambahkan, ketika membandingkan hasilnya dengan paparan parasetamol selama 24 hari. Dia menuturkan, selama masa itu, terlihat adanya perubahan di jaringan histopatologi. Dan juga pada transkripsi ekspresi gen-gen. "Kita investigasi eksposur jangka pendek," ujarnya.

Menariknya lagi pada paparan jangka panjang ini, efek yang bisa terlihat pada paparan parasetamol paling rendah, yaitu 40 ng/L itu sama dengan efek yang terlihat pada paparan parasetamol 100 mg/L (100 ribu Ng/L).

"Itu berarti magnitudenya 2.500 kali, kalau dibandingkan dengan 40 ng/L ke 100 rb ng/L," jelas dia.

"Jadi memang efeknya tidak bisa kelihatan langsung karena dari segi histopatologinya itu biasa-biasa," Wulan mengimbuhkan.

Terkait dengan efek bagi manusia, dia belum dapat mengungkapkan lantaran belum ada data yang mendukungnya. "Jadi hanya bisa bilang, di sini saya belum lihat efeknya pada manusia," ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Berasal dari Daerah Penyangga?

Kandungan parasetamol di Teluk Jakarta diungkap oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasiona (BRIN) dan University of Brighton UK. Mereka merilis hasil studi pendahuluan (preliminary study) mengenai kualitas air laut di beberapa situs terdominasi limbah buangan.

Hasil studi itu dimuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia”.

Hasil riset ini menginvestigasi beberapa kontaminan air dari empat lokasi di Teluk Jakarta. Yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing; serta satu lokasi di pantai utara Jawa Tengah yakni Pantai Eretan, Indramayu.

Dari hasil penelitian menunjukkan, beberapa parameter nutrisi seperti Amonia, Nitrat, dan total Fosfat, melebihi batas Baku Mutu Air Laut Indonesia. Selain itu, Parasetamol juga terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Zainal Arifin menyatakan, pihaknya belum dapat memastikan sumber pencemaran kadar parasetamol yang tinggi di perairan Teluk Jakarta. Namun dia menegaskan, pencemaran ini belum tentu berasal dari Jakarta semata. Ada dugaan kontribusi dari daerah penyangga.

"Jadi karena ini di Teluk Jakarta, Pemda Jakarta mungkin, tapi enggak. Kita harus tahu bahwa kita peneliti hampir setuju bahwa 60 sampai 80 persen pencemaran itu datangnya dari daratan sumbernya, dari daratan itu kan bisa sampai Bodetabek," kata Zainal dalam konferensi pers, Senin 4 Oktober 2021.

Kendati begitu, dia menyebut ada tiga kemungkinan sumber pencemaran paracetamol di perairan Jakarta. Yaitu: ekskresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan; rumah sakit, dan industri farmasi.

"Dengan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter, memiliki potensi sebagai sumber kontaminan di perairan," paparnya.

Selain itu, bisa juga terkait pengelolaan limbah farmasi dari rumah sakit belum optimal. Akibatnya, limbah yang terbuang ke lautan terkontaminasi dengan zat paracetamol.

"Sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai," jelas dia.

Zainal juga mengungkapkan, konsentrasi Parasetamol yang cukup tinggi meningkatkan kekhawatiran tersendiri tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.

"Hasil penelitian awal yang kami lakukan ingin mengetahui apakah ada sisa Parasetomol yang terbuang ke sistem perairan laut,” ujar Zainal.

Parasetamol merupakan salah satu kandungan yang berasal dari produk obat atau farmasi yang sangat banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara bebas tanpa resep dokter.

Sisa atau limbah obat-obatan atau farmasi memang seharusnya tidak ada di dalam air sungai dan air laut.

“Tugas setiap kita baik industri maupun masyarakat, untuk menjaga kesehatan manusia dan juga kesehatan lingkungan termasuk laut. Semua itu agar kita dapat hidup lebih bermakna,” ungkap Zainal.

Pemerintah, lanjut dia, perlu melakukan penguatan regulasi tata kelola pengelolaan air limbah baik untuk rumah tangga, komplek, apartemen, dan industri.

"Sedangkan dalam pemakaian produk farmasi (obat, stimulan), publik perlu lebih bertanggung jawab, misalnya tidak membuang sisa obat sembarangan. Ini yang nampaknya belum ada, perlu ada petunjuk pembuangan sisa-sisa obat,” pungkasnya.

Sementara itu Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengklaim, selama ini penanganan limbah medis saat pandemi Covid-19 sudah dilakukan dengan tepat. Menurutnya, Dinas Kesehatan dan DLH DKI Jakarta sudah mengirimkan limbah medis ke tempat pengelolaan limbah, sesuai aturan yang berlaku.

"Sejauh ini tidak ada masalah meskipun ada peningkatan luar biasa terkait limbah," tegasnya.

Riza menegaskan, Pemprov DKI akan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang terbukti dengan sengaja melakukan pencemaran di perairan Teluk Jakarta. Namun begitu, langkah itu menunggu hasil penelitian yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.

"Tentu ada sanksinya, ada peraturannya (soal sanksi). Sekali lagi kita tunggu dulu ya hasil penelitiannya," kata Riza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin 4 Oktober 2021.

Dia mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah mengambil sampel air laut yang memiliki kadar parasetamol dan dilanjutkan dengan penelitian. Proses penelitian tersebut memakan waktu sekitar 14 hari.

Politikus Gerindra ini mengaku Pemprov DKI Jakarta belum mengetahui penyebab pasti adanya kandungan parasetamol tersebut. Apakah karena kelalaian atau ada yang membuangnya dengan sengaja atau tidak. Untuk itu, Ia meminta masyarakat dan pihak manapun, agar tidak membuang sampah, obat-obatan apalagi limbah sembarangan ke laut.

"Kita jaga lingkungan kita, laut kita. Itu penting kita jaga kebersihannya dan juga ekosistem laut kita," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.