Sukses

HEADLINE: Indonesia Memasuki Gelombang Kedua Covid-19, Seberapa Bahaya?

Satgas Covid-19 menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki gelombang kedua Covid-19. Lonjakan kasus naik jauh lebih tinggi dari gelombang pertama.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tengah menghadapi gelombang kedua lonjakan kasus Covid-19. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya kasus virus corona di Tanah Air dalam sepekan terakhir. Bahkan penambahan kasus harian pada 27 Juni 2021 kemarin mencatat rekor tertinggi selama pandemi, yakni 21.345 orang. 

Satuan Tugas (Satgas) penanganan Covid-19 mencatat, lonjakan kasus kali ini jauh lebih tinggi dari puncak gelombang pertama yang terjadi pada Januari 2021 lalu. Pada puncak pertama, jumlah kasus mingguan mencapai 89.902 orang, sedangkan minggu ini angkanya sudah mencapai 125.396 orang.

"Hal ini menandakan second wave atau gelombang kedua kenaikan kasus Covid di Indonesia," kata Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito dalam pernyataan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (29/6/2021).

Wiku mengungkapkan bahwa pada puncak gelombang pertama, kenaikan dari titik kasus terendah sebesar 283 persen dan memuncak dalam waktu 13 minggu. Sedangkan pada gelombang kedua ini, kenaikan dari titik kasus terendah mencapai 381 persen atau hampir 5 kali lipatnya dan mencapai puncak hanya dalam waktu 6 minggu.

Padahal, Indonesia sempat mengalami penurunan kasus sejak puncak pertama yaitu selama 15 minggu dengan total penurunan hingga 244 persen. Menurut Wiku, kasus meningkat sangat cepat pascalibur Lebaran 2021.

"Awalnya kenaikan terlihat normal dan tidak terlalu signifikan. Namun, memasuki minggu ke-4 pascaperiode libur, kenaikan meningkat tajam dan berlangsung selama tiga minggu hingga mencapai puncak kedua di minggu terakhir," papar Wiku.

Setidaknya ada tiga faktor yang memicu lonjakan kasus Covid-19 pada gelombang kedua ini, yakni masih banyaknya masyarakat yang nekat mudik Lebaran 2021, ditambah munculnya beberapa varian baru virus corona, dan diperparah dengan tingginya mobilitas warga.

"Kondisi-kondisi ini menyebabkan dampak periode libur (Lebaran 2021) terlihat hingga minggu ke-6 dan kemungkinan masih akan terlihat hingga minggu ke-8," katanya.

Keberhasilan pengendalian dari lonjakan kasus ini, kata Wiku, kembali pada kesiapan masing-masing daerah dalam menyusun dan menjalankan strategi penanganan terbaik di wilayahnya. Dengan demikian, lonjakan kasus yang terjadi dapat segera ditekan dan dikendalikan sehingga mengurangi beban pada fasilitas, sistem, dan tenaga kesehatan.

Satgas Covid-19 mencatat, tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, disusul Jawa Timur sama-sama berkontribusi besar pada kenaikan kasus baik pada puncak pertama maupun gelombang kedua. Adapun Sulawesi Selatan yang turut berkontribusi pada puncak pertama, kini relatif stabil dan posisinya digantikan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Masyarakat terutama di ketiga provinsi ini harus berkontribusi dalam menekan lonjakan kasus Covid-19. Upaya penanganan adalah upaya kolektif. Untuk itu, inisiatif masyarakat dalam menekan dan mengendalikan kasus menjadi sangat penting," ungkap Wiku.

Wiku meminta masyarakat terus disiplin menerapkan protokol kesehatan (Prokes) pencegahan Covid-19. Dia meminta masyarakat tidak abai dan merasa kebal sesudah divaksin. Sebab, kekebalan komunal atau herd immunity baru dapat tercapai apabila vaksinasi telah mencakup 70 persen populasi.

“Jika terpapar, mengalami gejala Covid atau memiliki kerabat yang terkena Covid, jujurlah dengan segera melapor kepada ketua RT setempat agar segera ditindaklanjuti oleh Puskesmas. Jangan khawatir jika petugas tracing datang untuk melacak kontak erat, dan jangan takut di-swab karena hal ini perlu dilakukan agar kasus positif ditangani dengan cepat, sehingga tidak bertambah parah,” tutur dia.

Selanjutnya, masyarakat juga dapat ikut menyebarluaskan edukasi terkait Covid-19 kepada orang-orang di sekitarnya. Hal ini penting karena terdapat berbagai isu yang masih perlu diedukasi dengan baik, seperti penggunaan masker yang benar, pentingnya menjaga jarak, hingga vaksinasi.

“Akseslah informasi Covid-19 yang valid dan terpercaya dari kanal resmi Satgas Covid-19, kementerian/lembaga terkait serta kanal edukasi lainnya, dan pastikan informasi yang disampaikan terkonfirmasi kebenarannya dan bukan hoaks,” kata Wiku memungkasi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Puncak Gelombang Kedua Belum Terlihat

Epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo mengakui bahwa saat ini kasus Covid-19 di Tanah Air telah memasuki gelombang kedua. Dia menuturkan, gelombang pertama terjadi saat kasus awal terdeteksi di Indonesia pada Maret 2020 hingga puncaknya pada akhir Januari 2021.

Selanjutnya, kasus Covid-19 mulai melandai dan perkembangannya cenderung stagnan. "Tiba-tiba naik setelah lebaran, ini kita masuk dalam gelombang kedua, dan ini lebih tinggi dari pada gelombang pertama. Kita belum tahu puncaknya loh gelombang kedua ini, yang jelas lebih tinggi," kata Windhu saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (30/6/2021).

Menurut dia, banyak faktor yang melatarbelakangi menggilanya kasus Covid-19 di Indonesia. Pertama, Windhu menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah saat menghadapi libur Lebaran 2021 dengan upaya penanggulangan pandemi Covid-19.

Larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah tidak dibarengi dengan ketegasan sanksi dan kebijakan yang lain. Sebab di saat yang sama, pemerintah justru mengizinkan masyarakat berlibur ke tempat wisata. Belum lagi beda sikap antara Satgas Covid-19 dengan pemerintah soal diperbolehkannya mudik lokal.

Kedua, lonjakan Covid-19 juga dipicu banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI) yang mudik ke kampung halamannya. Kepulangan warga dari luar negeri ini juga disinyalisasi membawa virus corona varian baru yang lebih menular. Hal itu juga dibuktikan dengan banyaknya temuan varian Delta di Bangkalan, Jawa Timur.

Sementara kewajiban karantina yang ditetapkan pemerintah terhadap warga yang pulang dari perjalanan luar negeri dinilai tidak memenuhi standar. Pemerintah hanya mewajibkan orang dari luar negeri melakukan karantina selama 5 hari.

"Jadi itu kesalahan kebijakan juga tidak sesuai dengan masa infeksius maupun masa inkubasi virus. Karena masa inkubasi virus bisa 14 hari, bahkan ada beberapa orang lebih. Sehingga banyak pekerja migran yang membawa virusnya tidak dikarantina dengan baik ya menularkan varian baru yang dia bawa dari luar, seperti sekarang banyak varian Delta yang mengenai banyak orang jadi transmisi lokal," kata Windhu.

Faktor lainnya yakni upaya testing dan tracing yang masih buruk sejak awal pandemi Covid-19. Menurut dia, upaya testing dan tracing sempat bagus pada pertengahan Februari 2021 hingga melebihi standar minimum yang ditetapkan WHO, namun beberapa saat kemudian kembali merosot.

"Keempat, kepatuhan dari warganya sudah makin melorot, yang sebelumnya saja enggak bagus-bagus amat, sekarang makin melorot. Sekarang mungkin yang pakai masker di bawah 40 persen, kemudian jaga jarak (juga menurun)," tutur Windhu.

Lebih lanjut, Windhu menuturkan bahwa varian Delta memiliki karakteristik yang harus betul-betul diwaspadai dan diantisipasi penyebarannya. Sebab, varian yang pertama kali ditemukan di India itu memiliki tingkat replikasi yang sangat cepat dibanding varian lainnya.

"Jadi varian Delta ini dikatakan 40 persen lebih menular dari varian Alpha yang dari UK (Inggris). Padahal Aplha sendiri 70 persen lebih menular daripada virus yang original (yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Jadi Delta ini kalau dibandingkan dengan original 98 persen lebih menular, jadi hampir 2 kali lipat," ujar dia.

Seseorang yang terpapar virus corona varian Delta, kata Windhu, bisa menulari 6 hingga 7 orang. Orang-orang yang tertular tadi juga akan menulari 6 hingga 7 orang lainnya, begitu dan seterusnya seperti jaringan multilevel marketing (MLM).  

"Bayangkan kalau makin meluas, kapan ini (berakhir), padahal sekarang ini respons pemerintah enggak kuat. Mestinya itu dilakukan pembatasan mobilitas warga, semua harus tinggal di rumah. Bukan seperti sekarang, transportasi masih jalan dan sebagainya," ucap Windhu.

Berdasarkan penelitian ahli virus, varian Delta juga mampu melakukan antibody escape. Artinya, varian dengan nama lain B1617.2 itu dapat menurunkan efikasi antibody yang didapat dari vaksinasi Covid-19.

"Harusnya varian original ketika dia mengenai orang yang sudah punya antibody enggak akan sampai membuat sakit, karena dia tertahan oleh antibody itu. Tetapi Delta mampu melarikan diri, jadi dia ketika antibody melawan virus dia mampu menghindari dan masih bisa menyakiti orang yang dia tulari," beber dia.

Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang terpapar Covid-19 dengan gejala berat meski sudah divaksinasi. Windhu mencatat, hingga saat ini terdapat enam tenaga kesehatan (nakes) di Bangkalan yang meninggal dunia akibat Covid-19, padahal mereka telah divaksinasi.

"Itu berbahayanya varian baru Delta ini. Jadi kalau respons kita biasa-biasa saja, masyarakat juga gitu masih abai terhadap prokes, ini akan meluas. Kita enggak tahu nanti gelombang kedua ini tingginya seberapa kalau kita ternyata respons kita biasa-biasa saja," katanya.

Belajar dari India

Pakar epidemiologi ini tidak bisa memprediksi kapan puncak gelombang kedua Covid-19 di Indonesia ini terjadi, sebab semua itu akan dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Jika kebijakan masih seperti saat ini, bukan tidak mungkin puncaknya baru akan terjadi pada September atau Oktober 2021. 

"Saya enggak bisa bayangkan itu kaya apa tingginya kalau respons kita biasa-biasa aja," ucap Windhu.

Dia pun meminta Indonesia berkaca pada penanganan lonjakan kasus Covid-19 di India yang sempat disorot dunia karena kewalahan menghadapi varian Delta. India langsung memutuskan untuk menerapkan karantina wilayah atau lockdown. Tak tanggung-tanggung, India me-lockdown sebagian besar negara bagian.

"Jadi lockdown mereka bukan sekedar lockdown RT. Mereka lockdown negara bagian, kalau di sini provinsi. Jadi sebagai besar negara bagian di India di-lockdown, sisanya lockdown parsial karena tidak terlalu berat kondisi Covidnya. Apa yang terjadi, hanya dalam waktu sebulan, hari ini kasus sudah sepersepuluh dari (lonjakan) tanggal 8-10 Mei. Bayangkan, berhasil. Itu karena kebijakan yang tepat," kata Windhu.

Berbeda dengan pemerintah Indonesia yang hanya melakukan penebalan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro. Padahal kebijakan PPKM Mikro sejauh ini dinilai gagal menekan laju penularan Covid-19.

"Kalau kita masih seperti ini kita enggak tahu puncaknya, yang bisa saya perkirakan ya September baru sampai puncak. Kalau kita tepat, mungkin dalam tiga minggu sudah mulai turun atau satu bulan paling lama mencapai puncak dan turun. Tapi kalau seperti ini enggak tahu, tergantung dari apa yang dilakukan pemerintah, masyarakat itu hanya manut," ujar Windhu menandaskan.

3 dari 4 halaman

Skenario Terburuk 1 Juta Kasus Baru dan 5 Ribu Kematian per Hari

Bila tidak dilakukan penanganan Covid-19 dengan optimal, penambahan kasus harian corona di Indonesia masih bisa lebih tinggi lagi. Skenario terburuknya, dalam sehari bisa bertambah 1 juta orang yang sakit akibat paparan virus corona.

Skenario terburuk kasus Covid-19 di Indonesia pada Agustus 2021 ini disampaikan epidemiolog yang juga peneliti Griffith University, Australia, Dicky Budiman.

Dicky membuat perhitungan skenario terburuk lonjakan kasus Covid-19 RI dengan memasukkan beberapa unsur, yaitu pembatasan yang tidak efektif dan angka positivity rate mencapai 20 persen, lalu testing dan tracing kecil, serta ditambah varian Delta yang memiliki angka reproduksi 8 (satu orang terinfeksi bisa menularkan ke delapan orang lainnya).

Untuk proyeksi terburuk, masa puncak dicapai padapada akhir Juli hingga Agustus 2021. Puncaknya terjadi pada pertengahan Agustus yang bisa mencapai satu juta kasus Covid-19 per hari. Lalu, jumlah kematian bisa terjadi adalah sekitar 5.000 kasus per hari.

"Prediksi angka kematian itu karena banyak kasus tidak terdeteksi di rumah, sehingga ya lambat ketemu, lambat ditangani, lambat dirujuk, dan lambat mendapatkan perawatan kesehatan. Saat ingin membawa ke rumah sakit tapi penuh, sehingga bisa banyak yang tidak tertanggulangi," kata Dicky lewat pesan suara kepada Liputan6.comRabu, (30/6/2021).

Hal ini juga mengingat mayoritas orang dengan Covid-19 di Indonesia tidak menjalani tes, maka banyak kasus yang tidak terlapor di data pemerintah. Ditambah lagi, kultur sebagian masyarakat Indonesia tidak memeriksakan diri saat jatuh sakit. 

"Yang tambahan 20 ribuan kasus Covid-19 sekarang itu hanya mereka yang datang saja ke rumah sakit atau pusat layanan medis. Mayoritas orang Indonesia tidak dites kan," kata Dicky.

"Jadi, laporan yang disampaikan pemerintah itu laporan seadanya. Laporan dari mereka yang ada di RS atau melaporkan ke pusat layanan kesehatan. Karena memang kita bukan negara dengan intervensi testing yang masif, aktif, dan agresif," katanya menambahkan.

Guna menghindari kondisi dengan skenario terburuk di atas, Dicky mengatakan, ada tiga strategi yng harus dilakukan. Strategi utama adalah mengoptimalkan tes dan lacak kasus Covid-19, isolasi dan karantina, rawatan awal, serta vaksinasi lalu skrining orang yang masuk dari perbatasan dan karantina 14 hari.

Ditambah dengan melakukan strategi tambahan berupa disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, kebersihan diri, membatasi mobilitas, membatasi interaksi, dan menjauhi kerumunan.

Serta strategi penguat berupa pembatasan yang ketat entah itu PSBB, lockdown, karantina wilayah, atau PPKM plus seperti disampaikan Dicky.

Terkait skenario terburuk adanya peningkatan kasus Covid-19 hingga satu juta per hari pada akhir Juli dan Agustus, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan hal tersebut tentu tidak diharapkan terjadi. Malah yang terjadi adalah vaksinasi Covid-19 yang mencapai satu juta orang per hari di Juli 2021.

"Kalau Juli itu bisa sejuta orang divaksin Covid-19," kata Nadia optimistis lewat pesan singkat kepada Liputan6.com.

Nadia yakin, masyarakat Indonesia memiliki semangat untuk mengendalikan Covid-19. Sehingga nantinya kasus ini akan bisa rendah.

"Tetap semangat dan optimis, kita yakin masyarakat Indonesia tidak gampang menyerah," kata Nadia.

4 dari 4 halaman

Sempat Diingatkan Jokowi, Akhirnya Terjadi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mewanti-wanti kepala daerah untuk mewaspadai potensi gelombang kedua Covid-19. Saat itu, dia mencontohkan bagaimana negara-negara tetangga mulai mengalami lonjakan kasus Covid-19.

"Hati-hati gelombang kedua, gelombang ketiga, di negara-negara tetangga kita sudah juga mulai melonjak drastis," kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Indonesia, sebagaimana ditayangkan di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (18/5/2021).

Peringatan itu disampaikan Jokowi beberapa hari setelah Lebaran 2021. Pemerintah diketahui telah mengeluarkan kebijakan larangan mudik, namun nyatanya masih banyak warga yang nekat pulang ke kampung halamannya.

Jokowi menyebut, saat itu negara tetangga Indonesia seperti, Malaysia sudah menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah hingga Juni 2021. Kebijakan yang sama juga dilakukan Singapura sejak Mei 2021.

"Singapura juga sudah lockdown sejak Mei dan semakin ketat pada minggu-minggu kemarin. Kita harus melihat tetangga-tetangga kita," ujarnya.

Menurut dia, ada potensi peningkatan kasus baru Covid-19 di Tanah Air pascalibur Lebaran 2021. Pasalnya, ada 1,5 juta masyarakat yang nekat pergi ke kampung halaman meski sudah dilarang mudik.

"Pascalebaran hati-hati, betul-betul kita harus waspada karena berpotensi, ada potensi jumlah kasus baru Covid, meskipun kita telah mengeluarkan kebijakan larangan mudik," kata Jokowi.

Saat itu, Jokowi melaporkan terdapat 15 provinsi yang mengalami kenaikan kasus Covid-19, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Maluku, Banten, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kaliman Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

"Sebagian ada di Sumatera, sebagian besar dan ada di Jawa dan juga ada di Sulawesi dan Kalimantan," ucapnya.

Dia pun berharap kenaikan kasus Covid-19 pascalebaran 2021 tak sebesar tahun sebelumnya. Sebab, Indonesia sudah melewati puncak kenaikan kasus aktif Covid-19 pada Februari 2021.

Jokowi mengatakan kasus aktif Covid-19 di Indonesia mencapai 176.000 orang pada 5 Februari 2021. Sementara kasus aktif Covid-19 sempat turun drastis sebesar 48 persen menjadi 90.800 orang. "Ini yang harus terus kita tekan agar semakin turun, semakin turun, semakin turun," tutur Jokowi. 

Namun kekhawatiran Jokowi tentang gelombang kedua Covid-19 di Indonesia akhirnya terjadi. Kasus aktif Covid-19 pada hari ini, Rabu 30 Juni 2021 mencapai 239.368 orang.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengkritisi Pemerintahan Jokowi yang tidak mengantisipasi potensi tersebut dengan baik. Alih-alih menyiapkan strategi yang lebih baik, kebijakan yang diterapkan pemerintah justru lebih buruk. 

"Kalau sudah tahu mau meningkat ya kenapa enggak dicegah. Kenapa kalau mau kebakaran malah dibiarin kebakaran, baru teriak-teriak ada kebakaran. Sekarang kebakarannya sudah ngabisin separuh rumah baru memanggil pemadam kebakaran. Kesalahan bagi semuanya juga. Pertama tidak mengantisipasi, kemudian responnya terlambat," kata Pandu saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (30/6/2021).

Karena sikap pemerintah itu pula membuat Pandu tidak bisa memprediksi kapan puncak gelombang kedua ini akan terjadi. Yang pasti, dia menegaskan, bahwa gelombang kedua Covid-19 di Indonesia ini belum sampai puncaknya.

"Itu kan tergantung upaya kita. Sekarang aja masih bingung mau ngapain. Sudah tahu namanya mau pakai PPKM Darurat, tapi apa yang mau dilakukan enggak tahu, masih belum sepakat. Rapat mereka, tapi belum ada kesepakatan," kata Pandu.

Menurut Pandu, pemerintah saat ini harus menghentikan seluruh mobilitas penduduk. Namun dia enggan menyebut kebijakan yang dimaksud adalah lockdown.

"Kita enggak pernah punya istilah lockdown. Lockdown kan bahasa Inggris. Yang penting berani melaksanakan, tapi pembatasannya maksimal. Semua harus diikutin (ketegasan aturannya)," katanya menerangkan.

 

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa virus corona akan terus bermutasi dan memunculkan varian-varian baru dengan kemampuan yang berbeda. Karena itu, cara satu-satunya adalah menghentikan laju penularan Covid-19. 

"Varian baru akan muncul terus, jangan takut. Ini kan virus bermutasi terus. Nanti ada Delta Plus, Delta Force, macam-macam. Ini akan muncul terus. Maksud saya, virus ini adalah virus yang mudah bermutasi. Selama penularannya masih tinggi maka akan terus bermutasi," ujarnya menjelaskan.

Untuk itu, dia meminta pemerintah segera mengambil sikap tegas untuk menghentikan lonjakan kasus Covid-19 yang makin menggila ini. Pemerintah diminta tak ragu menerapkan PPKM Mikro Darurat yang telah dibahas dalam beberapa har terakhir ini.

"Jalankan saja yang harus dilakukan dengan cepat. Jangan menunda-nunda. Sudah telat masih nunda-nunda lagi. Ngapain nunggu tanggal 3 (Juli), kalau perlu ya hari ini. Sekarang semuanya masyarakat pemerintah harus bersatu. Masyarakat jangan didiamkan, harus diingatkan terus menerus. Eksekusi dan ajak masyarakat untuk mendukung," kata Pandu menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.