Sukses

Menko Polhukam Sebut Jokowi Akan Buat Omnibus Law UU ITE

Mahfud menegaskan, pemerintah akan membuat sejumlah aturan masuk dalam UU ITE lewat Omnibus Law. Hanya saja, keterbatasan waktu membuat eksekusi niatan tersebut masih tertunda.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyampaikan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi bermaksud membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lebih menyeluruh dalam cakupan Omnibus Law.

"Dalam rapat kabinet terakhir memang ada usulan begini, Pak kenapa kok kita mau merevisi UU ITE. Kok tidak sekalian seluruhnya? Gitu. Misalnya gini, ini kan sekarang ada UU tentang keamanan udara, ada masalah intelijen dari pihak luar, ada rahasia pribadi dan rahasia konsumen, ada penyadapan ilegal, ada transaksi uang untuk terorisme dan pencucian uang. Nah kenapa tidak dibuat sekalian itu? Di dalam sidang kabinet muncul begitu," tutur Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (11/6/2021).

"Tetapi kemudian arahan Presiden kita buat nanti Omnibus Law untuk itu semua yang sekarang ini kita sedang berbicara tentang UU yang namanya UU ITE yang menimbulkan reaksi-reaksi penerapan di lapangan oleh masyarakat," sambungnya.

Mahfud menegaskan, pemerintah akan membuat sejumlah aturan masuk dalam UU ITE lewat Omnibus Law. Hanya saja, keterbatasan waktu membuat eksekusi niatan tersebut masih tertunda.

"Apakah yang ini, yang banyak ini, kalau sekarang terjadi tidak bisa dihukum? Bisa. Sudah ada hukumnya. Tapi sektoral. UU-nya ini sendiri, UU Intelijen sendiri, UU ini sendiri. Besok akan disatukan sehingga prospektif ke depan dan bisa menjadi payung dari keseluruhan masalah-masalah ITE," kata Mahfud.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mahfud Md Jelaskan Penerapan Pasal Revisi di UU ITE

Mahfud Md juga menekankan, pemerintah tidak akan mencabut UU ITE. Meski begitu, revisi untuk sejumlah pasal tengah disiapkan demi mencapai keadilan dalam penegakan hukum.

"UU ITE tidak akan dicabut, bunuh diri kalau kita mencabut UU ITE itu. Kesimpulan ini diperoleh sesudah kita melakukan FGD dengan tidak kurang 50 orang akademisi, praktisi hukum, NGO, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politisi, jurnalis baik perorangan maupun organisasi," tutur Mahfud di Kantor Menko Polhukam, Jakarta, Jumat (11/6/2021).

Menurut Mahfud, ada empat Pasal yang akan diperbaiki yakni Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. Sejalan dengan itu, akan ada surat keputusan bersama yang dikeluarkan oleh Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri terkait dengan pedoman implementasi agar penegakan hukum berlaku sama bagi setiap orang.

"Kedua, akan dilakukan revisi terbatas sifatnya semantik dari sudut redaksional tapi subtansif uraian-uraiannya," jelas dia.

Mahfud mencontohkan, dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE nantinya akan ditegaskan bahwa pelaku yang dapat dijerat oleh Pasal penyebaran konten kesusilaan itu adalah pihak yang memiliki niat menyebarluaskan ke umum.

"Jadi, bukan orang yang melakukan kesusilaan yang menyebarkan itu yang dikenakan. Kalau orang cuma bicara mesum, orang saling kirim gambar membuat gambar-gambar melalui elektronik gitu, tetapi dia bukan penyebarnya, itu tidak apa-apa. Apakah itu tidak dihukum? Dihukum tetapi dengan UU ITE itu ada UU-nya sendiri, misalnya UU Pornografi, itu bisa dihukum dengan itu. Gitu," kata dia.

Kemudian soal pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3, lanjut Mahfud, dalam usul revisi pihaknya membedakan norma antara pencemaran nama baik dan fitnah, termasuk perubahan penurunan ancaman pidana.

"Jadi, pencemaran nama baik itu kan misalnya ada yang terbentuk benar, Pak Mahfud itu di punggungnya banyak tato misalnya, anda ndak tahu tapi banyak tato, itu dulu adalah anggota preman, misalnya. Sesudah diperiksa tidak terbukti, itu namanya fitnah. Tapi, kalau diperiksa betul ada tato, itu pencemaran, ghibah namanya. Apakah bisa dihukum? Dihukum meskipun tidak terbukti ada, kalau tidak terbukti fitnah. Kalau ada tetapi saya tidak senang berita itu didengar oleh orang lain, itu bisa dihukum juga," beber Mahfud.

Hanya saja, kata Mahfud, dijelaskan bahwa ada yang namanya delik aduan. Artinya bahwa pihak yang berhak menyampaikan aduan dalam tindak pidana pencemaran, fitnah, menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan menggunakan sarana ITE, hanya korban.

Selanjutnya, untuk Pasal 27 ayat 4 sendiri dalam usul revisi dipertegas isi normanya dengan menguraikan unsur ancaman pencemaran, ancaman membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya miliknya atau kepunyaan orang lain.

"Misalnya supaya membuat pernyataan utang penghapusan piutang, untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik dan dokumen elektronik. Itu yang dimaksud dengan ancaman. Sebenarnya kan cuma disebut pemerasan ya, sekarang diurai, ancaman pencemaran, ancaman membuka rahasia, ancaman seseorang supaya memberi sesuatu, dan sebagainya. Jadi diurai agar tidak menjadi Pasal karet," terang Mahfud.

Tidak ketinggalan soal perkara ujaran kebencian dalam UU ITE. Mahfud mengatakan bahwa norma di dalamnya nanti hanya terkait menyebarkan informasi yang ditujukan untuk memunculkan rasa kebencian atau permusuhan individu, atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA.

"Nah kita mengusulkan di dalam revisi dipertegas dengan norma bukan hanya menyebarkan masalah SARA tetapi menghasut, mengajak, atau mempengaruhi. Jadi ada kata menghasut, mengajak, atau mempengaruhi ketika dia menyebarkan informasi itu. Kalau cuma menyebarkan tanpa niat ini, tidak bisa. Kita usulkan begitu," Mahfud menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.