Sukses

Tak Teken UU KPK, Eks Hakim Agung Sebut Jokowi Tak Langgar Etik

Menurut Gayus, meski dalam situasi pro dan kontra terkait revisi UU KPK, tindakan Jokowi yang tidak menandatangani UU yang telah disahkan DPR dalam paripurna tidak melanggar etika ketatanegaraan.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbun menilai Presiden Jokowi tak melanggar etik lantaran tak mendandatangi revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

"UU KPK tidak ditandatangani Jokowi tidak melanggar keabsahan UU dan tidak melanggar etika ketatanegaraan," ujar Gayus dalam diskusi daring, Senin (6/7/2020).

Pernyataan Gayus ini sekaligus menanggapi soal adakah pelanggaran etik yang dilakukan Jokowi lantaran tak menandatangani UU KPK versi revisi. Menurut Gayus, meski dalam situasi pro dan kontra terkait revisi UU KPK, tindakan Jokowi yang tidak menandatangani UU yang telah disahkan DPR dalam paripurna tidak melanggar etika ketatanegaraan.

"Pandangan negatif terhadap tidak ditandatanganinya UU KPK hasil revisi tersebut justru merupakan sikap positif dalam bentuk menghargai hubungan antara pemerintah dan DPR karena sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang menegaskan bahwa RUU tetap sah tanpa tandatangan presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui," kata dia.

Sebelumnya, dalam diskusi yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie sempat menyebut, tidak ditandatanginya UU KPK oleh Jokowi sebagai politik pencitraan.

Menurut Jimly, Jokowi mempertimbangkan adanya demonstrasi secara besar-besaran yang dilakukan masyarakat dalam menolak revisi UU KPK tersebut.

"Karena mempertimbangkan ada keributan, ada keramaian, maka Presiden tidak teken. Ini seolah-olah maunya DPR. Ini politik pencitraan," ujar Jimly dalam diskusi daring, Senin (6/7/2020).

Menurut Jimly, apa yang dilakukan Jokowi secara hukum sudah sah. Sebuah revisi UU sudah berlaku meski tak ditandatangani. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 20 ayat 5 tentang Perubahan UUD 1945.

"Ayat 5 menyebut paling lambat 30 hari sejak rancangan UU disepakati bersama dan disahkan, dan apabila tidak disahkan akan terlau otomatis," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bertolak Belakang dengan Etika?

Namun menurutnya, sejatinya dalam pembentukan Undang-undang, pemerintah tidak hanya berpikir secara hukum, melainkan juga secara etika. Menurutnya, tindakan Jokowi yang tak menandatangani sebuah revisi UU bertolak belakang dengan etika.

"Dalam pembentukan UU itu ada prosedur hukum, namun tentu saja harus ada prosedur etik. Jadi etika itu seperti samudera, hukum itu kapalnya, etika itu lebih luas. Tidak mungkin kapal berlayar menuju keadilan kalau etika samuderanya tidak benar," kata dia.

Persoalan tidak ditandatangani sebuah revisi UU menurut Jimly tidak hanya terjadi pada era Jokowi, melainkan jauh sebelumnya. Setidaknya, menurut Jimly sudah ada delapan UU yang tidak ditandatangani oleh seorang kepala negara.

Salah satunya UU tentang Penanggulangan Bencana. Menurutnya, hal tersebut akan kembali terjadi jika tetap dibiarkan. Dia berpandangan, sejatinya seorang kepala negara tetap harus menandatangani sebuah revisi UU.

"Akan ada UU yang sudah disahkan DPR tapi oleh presiden tidak disahkan. Saya rasa ke depan harus diperbaiki, caranya dengan diskusi bagaimana soal format UU," kata dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.