Sukses

Kontroversi Herd Immunity, Solusi Atau Vonis Mati?

Herd Immunity jadi kontroversi, dianggap vonis mati bagi mereka yang rentan. Strategi ini digunakan Swedia, yang kemudian jadi salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Sempat beredar kabar Indonesia akan menerapkan strategi herd immunity setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berakhir. Namun, hal tersebut terbukti hanya hoaks belaka. Meski demikian, publik jadi dibuat bertanya apakah hal itu benar bisa dilakukan secara efektif di Tanah Air.

Masyarakat dunia kalut dengan kondisi, ingin segera menemukan solusi. Kabar mengenai vaksin berseliweran, namun terasa bagai mimpi yang masih jauh dicapai. Herd immunity pun sempat dilirik oleh Swedia dan Inggris sebagai salah satu cara untuk menghadapi pandemi Covid-19. 

Perlu diketahui sebelumnya bahwa herd immunity adalah kondisi di mana sebagian besar penduduk memiliki imunitas terhadap suatu penyakit. Setidaknya, 80 persen masyarakat harus pernah terinfeksi dan berhasil sembuh untuk bisa kebal. 

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono menjelaskan, ada dua cara untuk bisa mencapai herd immunity. Yakni melalui vaksinasi, atau membiarkan penduduk terinfeksi dan jadi kebal secara alami. Tetapi, cara kedua dinilai tidak etis untuk dilakukan.

"Kalau kita membiarkan orang terinfeksi itu salah, idenya saja sudah salah. Artinya kita melakukan pelanggaran etika karena ada konsep pembiaran," tegas Pandu saat diwawancara Liputan6.com.

"Walaupun mungkin secara teoritis bisa tercapai, tapi untuk tercapainya itu sangat mustahil dalam waktu dekat dan juga menelan korban. Kita lupakanlah ide ini karena hampir tidak mungkin dilakukan tanpa kita tega membiarkan orang sakit dan meninggal," lanjutnya.

Pendapat ini pun bukan tanpa alasan yang kuat. Inggris sempat mencoba strategi herd immunity melalui pembiaran, namun akhirnya harus beralih cara. Masyarakatnya protes sebab infeksi kian menjalar.

Tak lama setelah itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang mengusulkan strategi itu sendiri akhirnya juga terinfeksi Covid-19. Lockdown pun kemudian diberlakukan pada 23 Maret 2020. Namun, nasi sudah menjadi bubur.

Per 6 Mei 2020, kasus kematian di Inggris sempat menyalip Italia dan menjadi yang tertinggi di Eropa dengan jumlah sebanyak 29.427 orang meninggal.  Per 12 Juni 2020, sudah ada 41.279 orang meninggal di Inggris akibat Covid-19. Langkah lockdown Inggris dianggap sudah benar, namun dinilai terlambat. Herd immunity terbukti gagal.

Seakan tak belajar dari pengalaman Inggris, Swedia percaya diri negaranya mampu menangani pandemi Covid-19 dengan strategi yang sama. Namun, hal ini berakibat cukup fatal. Sebab, tingkat kematian di Swedia, jumlah kasus di banding jumlah populasi, menjadi yang tertinggi di Eropa dengan angka 6,5 persen, sementara Inggris hanya 5,75 persen. Walau kasus kematiannya tidak sebanyak Inggris maupun Italia, tingkat persen kematian Swedia jauh lebih tinggi. 

Perdana Menteri Australia Scott Morrison bahkan menilai, strategi herd immunity yang sempat dilakukan Inggris dan masih diterapkan di Swedia sebagai langkah keliru. "Itu seperti hukuman mati," kata dia seperti dikutip dari situs The New Daily.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Menelan Banyak Korban Jiwa

Pandu mengatakan, herd immunity dengan cara pembiaran hanya bagus dalam teori. Secara pelaksanaan, hal itu mustahil untuk dilakukan, apalagi di Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai 268 juta jiwa.

Jumlah penduduk yang besar dan persebarannya yang luas, membuat herd immunity mustahil untuk dicapai dalam waktu singkat. Dalam prosesnya, angka kematian juga pasti akan melonjak.

"Penduduk Indonesia ini tersebar dalam pulau-pulau, tidak menyatu dalam suatu wilayah tertentu. Dan ini yang menurut saya menjadi mustahil untuk konsep herd immunity di Indonesia, apalagi kita tahu bahwa sebagian penduduk Indonesia itu kondisinya tidak fit," tuturnya. 

Korban meninggal akibat Covid-19 kebanyakan adalah mereka yang berusia lanjut dan memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti hipertensi, jantung, paru-paru, dan sebagainya. Namun, ternyata kondisi kesehatan penduduk muda Indonesia juga tidaklah baik.

"Penduduk muda Indonesia juga ternyata tidak fit. Banyak yang obesitas, apalagi sebagian besar merokok ya. Jadi mereka sendiri mempunyai komorbiditi yang menimbulkan kematian cukup tinggi pada generasi muda di Indonesia," tutur Pandu.

"Jadi usia produktif itu seperti 20, 40, sampai 50 itu bisa saja sebagian hilang. Itu usia yang sudah punya pengetahuan atau skill yang cukup baik untuk memajukan Indonesia," tambahnya.

Dengan menghilangnya generasi produktif, otomatis Indonesia juga akan kehilangan banyak SDM yang andal. Tenaga kerja yang andal, terlatih, dan terdidik malah jadi berkurang. Indonesia bisa terpuruk karena ini.

 

3 dari 4 halaman

Butuh Waktu Lama

Selain menelan banyak korban jiwa, strategi ini juga tak bisa diharapkan karena memakan waktu yang sangat lama, yakni tahunan. Herd immunity melalui vaksin saja bisa memakan waktu kurang lebih 20 tahun, sebab pemerintah harus berlomba dengan kecepatan kelahiran penduduk. Tak bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan bila harus membiarkan penduduk terinfeksi secara alami.

Mengapa dengan adanya vaksin saja bisa lama? Ini karena kondisi vaksin juga harus terjaga agar efektif. Pandu menyatakan, hal ini bisa jadi tantangan bagi daerah di Indonesia yang masih sulit dijangkau.

"Vaksin itu harus dalam keadaan dingin, harus pakai kulkas supaya efektif, itu juga butuh waktu pada daerah-daerah yang sulit dijangkau. Pada remote area. Jadi perjuangannya cukup berat kalau kita sudah ada vaksinasi pun," dia menuturkan.

Penyakit polio adalah salah satu contoh bagaimana lamanya herd immunity bisa dibentuk. Situs resmi Kementerian Kesehatan Indonesia menyebut, Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diadakan berturut-turut dari tahun 1995-1997 untuk memerangi virus polio.

Sejak tahun 1996, sudah tidak ditemukan lagi virus polio liar asli Indonesia (indigenous). Namun, tahun 2005 ditemukan lagi kasus polio importasi pertama di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam kurun waktu 2005-2006, sebanyak 305 orang terserang virus ini.

Tapi, Indonesia kemudian sempat dinyatakan bebas polio pada tahun 2014. Sayangnya, pada tahun 2018 kembali terjadi ledakan kasus polio di Papua. Hal ini menunjukkan bagaimana sulitnya mencapai status di mana 80 persen masyarakat memiliki imunitas.

"Kerugian kedua adalah kita menghadapi virus yang mudah bermutasi. Jadi imunitasnya itu hanya pada virus yang jenis sekarang. Kalau virus Covid-nya nanti bermutasi, imunitas yang kita sekarang terbentuk itu tidak ada manfaatnya lagi. Kita akan mudah menderita atau terinfeksi dari virus yang jenis baru," tambah Pandu.

 

4 dari 4 halaman

Bayangan New Normal

PSBB di Indonesia sudah mulai dikurangi, new normal pun berjalan. Sebagian masyarakat mulai melanjutkan aktivitas seperti pergi ke kantor dan makan di restoran. Namun, Pandu mengingatkan agar pemerintah tidak lengah. 

Sebab, pembatasan sosial tidak akan pernah diangkat 100 persen, hanya dikurangi. Untuk menguranginya, pemerintah juga harus memenuhi persyaratan bahwa Indonesia sudah bisa mengendalikan virus.

“Kriterianya itu ada tiga, pertama indikator epidemiologi. Dalam epidemiologi itu harus ada penurunan kasus Covid-19, dan kemudian juga penurunan orang dengan suspect Covid-19 atau PDP, dan penurunan kematian pada Covid-19 yang kita amati selama dua minggu,” jelas Pandu.

“Berikutnya adalah testing-nya tidak boleh menurun. Kalau testing-nya menurun, nanti kalau kasusnya menurun ya mungkin karena testing (kurang). Jadi testing harus terus meningkat. Dan juga contact tracing, kalau ada satu infeksi kita lacak ke mana saja ini sudah menularkan, atau dia tertular dari yang mana,” dia mengimbuhkan.

Setelah semua persyaratan itu terpenuhi, barulah PSBB bisa dikurangi. Selain itu, masyarakat juga harus taat dengan kebiasaan baru, yaitu selalu menggunakan masker saat bepergian, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak.

"Kemudian tempat kerja juga sudah menyesuaikan untuk penduduk yang mau bekerja supaya aman, karena kalau kita ingin meningkatkan produktivitas penduduknya harus tenang bekerjanya," kata Pandu.

Rumah sakit di seluruh Indonesia juga harus dipastikan siap untuk menghadapi kemungkinan gelombang kedua Covid-19. Jangan sampai rumah sakit tidak sanggup menampung mereka yang menderita Covid-19.

"Kalau sudah tidak bisa mengatasi, kan seperti dibiarkan meninggal di depan rumah sakit, di bangsal-bangsal, dan sebagainya. Kalau itu benar-benar terjadi, itu tidak akan pernah bisa dilupakan dalam sejarah bahwa kita pernah dengan sengaja membiarkan penduduk meninggal. Kayak pembunuhan lah," tegas Pandu.

"Dalam sejarah, herd immunity itu tidak pernah ada dengan membiarkan orang terinfeksi. Selalu ada intervensi (vaksinasi). Karena membiarkan orang terinfeksi dan mati begitu saja  bukan naluri manusia yang beradab," dia mengakhiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.