Sukses

3 Kejanggalan Sidang Teror Air Keras Novel Baswedan versi Tim Advokasi

Tiga kejanggalan tersebut diungkap usai dua terdakwa teror terhadap Novel hanya dituntut 1 tahun penjara oleh tim jaksa penuntut umum.

Liputan6.com, Jakarta - Tim advokasi mengungkap tiga kejanggalan dalam sidang perkara penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan. Tiga kejanggalan tersebut diungkap usai dua terdakwa teror terhadap Novel hanya dituntut 1 tahun penjara oleh tim jaksa penuntut umum.

"Sejak awal tim advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam persidangan ini," ujar Andi Rezaldy, salah satu tim advokasi Novel Baswedan dalam keterangannya, Jumat (12/6/2020).

Kejanggalan pertama menurut tim advokasi yakni terkait dakwaan yang disangkakan terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dua anggota Polri aktif yang menjadi terdakwa penyerangan air keras terhadap Novel.

"Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya," kata dia.

Sebab, menurutnya, jaksa hanya mendakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal, menurut dia, kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi buruk, yakni meninggal dunia.

"Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," kata dia.

Kejanggalan kedua yakni terkait dengan pemanggilan saksi. Menurutnya, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa penuntut dalam persidangan.

"Dalam pantauan tim advokasi Novel Baswedan setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penuntut Bela Terdakwa?

Andi tak menjelaskan lebih rinci tiga saksi yang dimaksud. Meski demikian, menurut Andi, ketiganya sudah pernah diperikaa oleh tim penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," kata Andi.

Kejanggalan ketiga, menurut Andi peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Menurutnya, hal ini bosa dilihat dari tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel, jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK ini yang notabene adalah korban.

"Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.