Sukses

Aktivis dan Tokoh Masyarakat Tolak Draf Perpres TNI Tangani Terorisme

Al Araf beserta aktivis dan tokoh masyarakat yang menandatangani petisi menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draft peraturan presiden terlalu berlebihan,

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mendapat penolakan dari aktivis dan tokoh masyarakat. Mereka pun membuat petisi bersama masyarakat sipil. 

“Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Mengganggu Criminal Justice System, Mengancam HAM dan Demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus juru bicara Petisi, Al Araf, Rabu (27/5/2020).

Dijelaskannya, 4 Mei 2020 lalu pemerintah akhirnya menyerahkan draft Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, sebelum nantinya disahkan atau tidak oleh Presiden.

“Kami menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power,” tegas Al Araf.

“Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik  dengan perlindungan terhadap ”security of person” lanjutnya. 

Lebih jauh Al Araf beserta aktivis dan tokoh masyarakat yang menandatangani petisi menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draft peraturan presiden terlalu berlebihan, sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.

“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perppres). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan ‘operasi lainnya’,” papar Al Araf.

Dengan Pasal ini menurutnya, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia. Dalam kesempatan yang sama ia mengingatkan, secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43 UU nomer 5 tahun 2018), yang kewewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan. 

“Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa di barengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga. Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” ungkapnya. 

“Kami menilai, rancangan Perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” timpalnya:

Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.

Pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9 draft Perppres) akan merusak mekanisme criminal justice sistem. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tumpang Tindih

Tak hanya itu, adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, dipandang akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri.

“Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antarkelembagaan negara,” pesannya. 

“Pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draft peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia,” sambungnya. 

Terpisah, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Dr. Najib Azca MA PhD mengemukakan, dalam petisi itu aktivis, akademisi maupin tokoh masyarakat mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.

“Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia,” terang Najib.

Selain Al Araf dan Najib Azca, sejumlah aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang turut menandatangani petisi itu diantaranya, Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri mendiang Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.