Sukses

Mahfud Md soal Pilkada Tidak Langsung: Politik Uangnya Borongan

Mahfud melanjutkan, sistem pilkada tidak langsung juga mendorong aksi teror DPRD kepada kepala daerah.

Liputan6.com, Jakarta - Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, politik uang berpotensi terjadi bila dilangsungkannya pilkada tidak langsung. Menurutnya, akan terjadi politik uang yang masif dengan cara borongan.

"Kalau lewat DPRD (memilihnya), politik uangnya itu borongan, lewat agen-agen. Di zaman orde baru dipilih DPRD, ternyata ini dianggap tidak baik, dominasinya luar biasa, politik uang di mana-mana orang di DPRD itu dibayar," kata Mahfud Md bercerita sistem pemilihan zaman orde baru saat membuka acara Kawal Pemilu 2020 di Gedung iNews, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).

Mahfud melanjutkan, sistem pilkada tidak langsung juga mendorong aksi 'teror' DPRD kepada kepala daerah, seperti mengatakan laporan akan ditolak, laporan pertanggungjawaban (LPJ) akan ditolak, akan dilengserkan, dan sebagainya.

"Korbannya dulu ada di Riau ada. Diteror lalu dilengserkan," ujar Mahfud.

Karena dinilai banyak mudaratnya, sistem pemilihan direvisi menjadi langsung. Saat itu, pemerintah berharap dapat memangkas praktik kotor sebelumnya. Namun ternyata praktik politik uang belum juga dapat dipangkas.

"Ternyata kalau lewat rakyat itu eceran, sama saja, tambah boros. Sama. Itu eksperimen dari pilkada kita," jelas Mahfud.

Karenanya, Mahfud Md berpandangan, apapun plus dan minusnya, pilkada adalah pilihan rakyat dan ketentuan undang-undang. "Jadi apa pun, kita harus laksanakan pemilu rakyat tahun 2020 dengan sebaiknya," Mahfud menandaskan

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Evaluasi Pilkada Tidak Langsung

 

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 6 November 2019.

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.

Mantan Kapolri itu menyatakan, Kemendagri akan melakukan riset akademik terkait sistem Pilkada secara langsung. Dia mengatakan, bisa saja opsinya tetap dilakukan secara langsung dengan catatan solusi untuk mengurangi dampak negatif.

"Tapi bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi biar tidak terjadi OTT lagi. Tinggal pilih aja, kok kepala daerah yang mau di-OTT," kata Tito.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.