Sukses

OPINI: Bahasa Pemersatu di Panggung Pemilu, Keindonesiaan di antara Benci dan Rindu

Sangat menarik melihat aksi generasi milenial melalui jemari dan jempol di tombol gawai. Aksi mereka berkerumun dalam pesta demokrasi ini berupa tindak tutur berbahasa.

Liputan6.com, Jakarta Sekitar 185 juta pemilih muda pada saat ini tampak sedang berkerumun di panggung Pemilu 2019. Generasi muda itu berpartisipasi dalam politik penuh dengan aksi milenial.

Sangat menarik melihat aksi generasi milenial melalui jemari dan jempol di tombol gawai. Aksi mereka berkerumun dalam pesta demokrasi ini, sebagaimana teori speech act dalam filsafat bahasa (Austin, 1962), berupa tindak tutur berbahasa.

Dalam hal Pemilu 2019, patut disyukuri adanya kesamaan bahasa untuk bertindak atau beraksi. Bisa dibayangkan apa jadinya andai bahasa pada generasi anak bangsa ini tetap berbeda-beda: di antara sesama warga Indonesia pun perlu ada penerjemah, bukan?

Nah, ketika di antara warga, sekarang ada yang—misal sedang marah-marah melalui gawai—bisa diketahui ia sedang tidak suka. Bisa juga ia terlihat membenci Indonesia, tetapi sebetulnya sangat merindukannya.

Persatuan terkoyak

Dari sekitar panggung Pemilu 2019, kabar palsu atau hoaks terdengar dan tersebar di kalangan penyelenggara dan peserta Pemilu. Para pemilih juga terdengar saling melontarkan tuturan—baik ujaran kebencian maupun kerinduan—atas aspirasi politik masing-masing. Di antara rasa benci dan rindu itu adalah perbedaan aspirasi yang kerap dibuat begitu meruncing, sehingga persatuan Indonesia pun terkoyak.

Belum lama ini, dinyatakan bahwa pesta demokrasi Indonesia masih lebih bersifat emosional daripada rasional. Pernyataan kritis itu disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam sebuah laporan daring pada 4 Februari 2019. Dalam laporan itu, ia membandingkan pesta demokrasi Amerika Serikat yang membelah suara pemilih menjadi dua kubu, yakni pro-buruh dan pro-pengusaha.

Di Indonesia—menurut pendapat Asshiddiqie —kurang rasional ketika aspirasi politik terbelah dua: antara kubu Islam dan kubu kebangsaan yang dianggap pro-kebinekaan. Contohnya berupa aksi bela ulama dan bela Pancasila.

Di sini, bermunculan diksi atau pilihan kata negatif seperti intoleran atau intoleransi. Atas kondisi politik seperti itu, perlu dicari penyebab adanya pemanfaatan bahasa yang kurang produktif untuk membangun komitmen persatuan Indonesia.

Perlu ditemukan solusi alternatif guna meningkatkan produktivitas berbahasa Indonesia. Jika tidak ada solusi strategis, akan sangat memprihatinkan kondisi bahasa Indonesia yang disalahgunakan untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks dengan keterlibatan kaum milenial. Karena dinilai begitu berbahaya mengoyak dan merusak persatuan bangsa, kasus hoaks tertentu akan diatasi atau ditangani dalam kerangka penegakan Undang-Undang Anti-Teorisme.

Baru-baru ini, Badan Pengawas Pemilu juga melaporkan telah menerima data sekitar 610 konten hoaks. Penyalahgunaan bahasa Indonesia dalam bentuk berita palsu, ujaran kebencian, ungkapan teror, atau semacamnya itu muncul berkelindan dengan kurangnya pemahaman para pengguna/penutur akan fungsi hakiki bahasa Indonesia. Yakinlah: bahasa ini lahir karena diciptakan Tuhan Yang Maha Esa melalui para pejuang pergerakan nasional untuk bersatu dalam ikrar Sumpah Pemuda 1928.

Ketika sekarang ada pelaku tindakan secara sengaja berbahasa Indonesia untuk bercerai-berai; untuk saling membenci; untuk mengenyahkan satu dengan yang lainnya, perbuatan seperti itu dapat disebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap fitrah bahasa Indonesia. Fitrah bahasa pemersatu ini sudah semestinya tidak terkoyak; tetap terjaga baik di panggung Pemilu 2019.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak berubah model

Perlu disebutkan di sini bahwa terdapat tiga model pemersatu negara bangsa, menurut temuan Anwar (2008): ras, agama, dan bahasa. Jelaslah Indonesia tidak dibangun persatuan bangsanya atas fondasi kesamaan ras: tak-seperti negara Afrika Selatan, yang terkenal dengan politik ras atau warna kulit (Apartheid).

Jelas pula Indonesia tidak dapat disebut sebangun atau semodel dengan negara Iran, yang—bahkan—menamakan dirinya: Republik Islam Iran. Pernah, tujuh kata yang berkonotasi keagamaan itu dalam naskah Pancasila (Piagam Jakarta) dihapus. Penghapusan itu menunjukkan kuatnya semangat generasi Sumpah Pemuda dalam merancang NKRI atas kesatuan bahasa. 

Sekarang, generasi tentu berbeda, berubah karena perbedaan zaman. Namun, narasi yang dibangun generasi zaman kekinian tetaplah sama dengan teks kaum muda profetik terdahulu.

Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tiga butir ikrar itu mewujudkan model tekad kekuatan menghadapi tantangan zaman.

Jika teks Sumpah Pemuda yang sangat visioner, padat, dan lugas tersebut dicermati lebih mendalam, narasi yang mewujudkan semangat keindonesiaan itu terbaca jelas bercorak pertalian induktif.

Butir pertama menarasikan kesatuan wilayah—tanah dan air—yang mencerminkan potensi sumber daya alam (SDA). Butir kedua menarasikan kesatuan bangsa yang mencerminkan nilai sumber daya manusia (SDM). Hal-ihwal SDA dan SDM itu keduanya bertali-temali membentuk kesatuan Indonesia dengan elemen pembentuknya berupa bahasa Indonesia.

Kembali timbul pertanyaan. Mengapa tali pengikat keindonesiaan itu pada saat ini cenderung mengendur? Adakah kesengajaan ikatan itu dikendurkan? Kecenderungan maraknya penyalahgunaan bahasa Indonesia agaknya sulit diabaikan. Sikap abai akan keutamaan bahasa negara sudah terlihat nyata. Ada kecenderungan bangga ketika digunakan bahasa asing di ruang publik. Penyalahgunaan bahasa itu juga memberi petunjuk bahwa masalah SDA dan SDM memang bukan sekadar urusan Indonesia, melainkan juga bagian dari tata kelola dunia global.

Dalam konteks konstelasi global, bahasa Indonesia dipandang kurang produktif karena dilihat masih sekadarnya: dari perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi untuk memberi dan menerima pesan semata. Tentu, jika dan hanya jika dinilai dari aspek komunikasi global, bahasa Indonesia akan kalah dibandingkan dengan bahasa asing, terutama dengan bahasa Inggris.

Kekalahan bahasa Indonesia itu sudah dibuat telak: tidak hanya oleh sebagian lembaga usaha swasta, tetapi juga oleh sebagian satuan kerja pemerintah dan satuan pendidikan yang sekarang lebih gencar mengembangkan informasi pengetahuan berbahasa asing.

 

3 dari 3 halaman

Bahasa Indonesia dan Keindonesiaan

Bahasa Indonesia justru lebih diunggulkan sekarang sebagai bahasa rumpi yang makin marak seperti maraknya produksi dan konsumsi teks hoaks di era teknologi informasi digital. Makin kentara keterlibatan generasi milenial di sana. Padahal, pada zaman kekinian, mutlak perlu untuk memperkuat cara pandang terhadap bahasa Indonesia sebagai cara berpikir dan—sekaligus—cara membentuk pikiran keindonesiaan dalam bekerja sama mengatasi semua hal—baik soal SDA maupun SDM—Indonesia.

Bahasa pemersatu Indonesia akan produktif jika pemanfaatannya untuk memandang diri sebagai bangsa yang berbinekatunggalika dan memandang diri orang lain dalam konteks antar-bangsa di dunia global. Cara pandang orang lain terhadap Indonesia juga perlu dikuasai. Di sinilah penguasaan bahasa asing pun penting untuk menguatkan cara pandang keindonesian dan—tidak sebaliknya—untuk melemahkannya.

Penyelenggaraan pesta demokrasi ini sangat perlu dijadikan solusi penguatan model atau cara pandang keindonesiaan. Peserta Pemilu 2019 yang bertutur lancung atau tidak berbahasa Indonesia secara produktif sudah semestinya ditegur guna menegakkan hukum penggunaan bahasa (negara) Indonesia. Bahasa asing dan--tentunya--bahasa daerah tidak dilarang sepanjang pemanfaatannya menyertai atau melengkapi kegunaan bahasa Indonesia. Keutamaan bahasa negara tidak boleh tergantikan.

Dalam hal penyelenggaraan Pemilu 2019 juga perlu dipastikan bahwa jika ada warga negara yang belum mampu berbahasa Indonesia, hak pilihnya tidak akan hilang pada tanggal 17 April 2019, nanti. Bagi warga seperti itu, perlu pendampingan dari segi kebahasaan. Dalam hal itu ada lembaga kebahasaan yang dapat diajak untuk membantu menyukseskan setiap pesta demokrasi. Untuk berdemokrasi secara bebas-merdeka, gagasan bernegara dan berbangsa dengan “Institut Bahasa Indonesia” sudah dibuat sebelum ada zaman kemerdekaan Republik Indonesia.

Setiap zaman tentu mengubah generasi; pemimpin negeri pun silih berganti. Gaya kepemimpinan bisa saja berbeda. Yang harus terjaga ialah persatuan Indonesia. Model pemersatu tetaplah sama; tak-berubah, sebagaimana para penggagas negara bangsa ini mewujudkan kehendak baik untuk berani bersatu; terus bekerja sama menjadi sesama Indonesia atas kesamaan bahasa Indonesia.

Akhirnya, melalui panggung Pemilu 2019, cara demokratis ditegakkan untuk mencari dan menemukan para pemimpin terbaik bagi negara bangsa Indonesia. Ada kalanya peserta Pemilu ini saling mencibir, sehingga rasa benci tak-terbendung di dalam hati pada warga pemilih muda, yaitu insan generasi milenial. Namun, ada kerinduan yang tampak sama di antara sesama warga: rindu akan Indonesia yang maju dan menang dalam persaingan geopolitik global!

 

*penulis adalah pemerhati politik bahasa

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.