Sukses

Masa Jabatan Presiden-Wapres Dinilai untuk Jaga Konstitusi dan Demokrasi

Adanya sirkulasi kekuasaan secara teratur dan secara demokratis, dan itu dalam kerangka supaya ada pembatasan kekuasaan.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) Jakob Samuel Halomoan Lumban Tobing mengatakan, adanya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945, memiliki semangat reformasi dan pembantasan kekuasaan, yang sempat membelenggu Indonesia di era orde baru.

"Ya kan semangatnya, semangat reformasi, semangat pembantasan kekuasaan, begitulah. Karena sebelumnya kita mengalami penguasanya yang terus-menerus (memimpin). Itu semangatnya," ucap pria yang akrab disapa Jako Tobing ini kepada Liputan6.com, Kamis (26/7/2018).

Pria yang pernah duduk sebagai pimpinan Panitia Ad Hoc I BP-MPR yang melakukan Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2004, dalam pasal 7 tersebut sudah sangat jelas. Selain itu, ini menciptakan sirkulasi kekuasaan yang teratur.

"Oh iya, masa jabatannya kan 2 kali. Jadi semangat konstitusionalisme itu dan semangat demokrasi itu diatur oleh dalam undang-undang. Adanya sirkulasi kekuasaan secara teratur dan secara demokratis, dan itu dalam kerangka supaya ada pembatasan kekuasaan," tegas Jakob.

Meski demikian, uji materi yang dilakukan oleh Perindo dan Wapres Jusuf Kalla atau JK turun sebagai pihak terkait di MK, dihormatinya sebagai hak warga negara. Meskipun, sudah jelas.

"Ya kan bisa jawab sendiri (jelasnya UU). Kan ini boleh nanya ke MK. Itu kan hak warga negara. Jadi kita hormatilah. MK kan punya dasar juga," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Akali Konstitusi

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan, mengatakan uji materi atau judical review soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK), jangan sampai mengakali konstitusi Indonesia.

"Kita jangan mengacaukan judical review terhadap undang-undang, mengutak-atik atau mengakali konstitusi. Karena ini bukan melakukan judical review terhadap konstitusi, jadi judical review terhadap undang-undang. Kalau judical review itu harus ada ukurannya, apa ukurannya? Ya konstitusi. Jadi judical review itu harus mengacu kepada konsitusinya," ucap Djayadi.

Dia meyakini, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, itu sudah jelas.

Selain itu, lanjut Djayadi, anggapan Wapres adalah hanya pembantu, itu pemikiran yang sah. Namun dalam UUD 1945, sudah sangat jelas disebutkan ada Wapres. Jadi sudah bagian dari konstitusi kita.

"Jadi bukan konstitusinya diakal-akali, tapi undang-undangnya dicek. Apakah sesuai dengan konstitusi atau tidak," jelas Djayadi.

Sementara itu di tempat yang sama, Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Bivitri Susanti, menyebut apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 169 huruf n, hanya mengambil yang tertuang dalam konsitusinya, yaitu UUD 1945.

"Pasal 169 itu sebenarnya copy paste saja dengan konstitusi kita. Jadi kalau misalnya mau diuji, apakah (sebenarnya) konstitusi kita yang sebenarnya mau diuji?," ungkap Bvitri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini