Sukses

3 Kisah Pilu Bayi Meninggal Setelah Ditolak Rumah Sakit

Cerita bayi yang meninggal lantaran ditolak rumah sakit masih terdengar. Ada tiga kisah lainnya. Siapa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Tangis pilu keluarga pasien yang memegang kartu kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih saja terdengar. Mereka sedih setelah kehilangan buah hatinya lantaran tak mampu membayar rumah sakit secara kontan.

Padahal, kondisi sang anak saat itu kritis dan sangat membutuhkan pertolongan. Namun pelayanan harus tertahan karena prosedur rumah sakit yang memberatkan keluarga pasien. Akibatnya, para bayi mungil itu pun meninggal dunia.

Sebelum kasus bayi Debora, ada kejadian serupa yang menimpa bayi lainnya. Sebut saja Hari Kustanti. Wanita berusia 41 tahun itu harus berkeliling rumah sakit untuk menjalankan persalinan. Karena menggunakan BPJS, ia pun ditolak oleh enam rumah sakit swasta dengan alasan ruang perawatan penuh.

Akhirnya setelah diterima salah satu rumah sakit, Hari Kustanti pun menjalani operasi persalinan. Namun begitu, sang bayi akhirnya meninggal dunia sesaat setelah operasi caesar.

Tak hanya itu, kejadian lainnya juga dialami Mesiya Rahayu. Bayi perempuan berumur 15 bulan itu meninggal setelah ditolak empat rumah sakit di Kota Tangerang.

Lantas bagaimana kisah mereka? Berikut uraiannya:

Saksikan tayang video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Reny Wahyuni

Hari harus berkeliling rumah sakit di Kota Bekasi untuk menyelematkan nyawa istri dan calon anaknya. Namun upaya itu berakhir duka. Sang anak meninggal dunia sesaat terlahir melalui operasi caesar, Sabtu 10 Juni 2017.

Dia menuturkan, kisah pilu berawal saat istrinya, Reny Wahyuni memeriksakan kandungannya yang berusia delapan bulan. Ketika itu kondisi Reny tidak stabil hingga membutuhkan penanganan khusus.

Karena menjadi peserta BPJS Kesehatan, Hari lantas mengeluarkan kartu sakti itu. Namun, Rumah sakit menolaknya dengan alasan ruang intensive care unit (ICU) penuh.

"Saya disuruh mencari rumah sakit lain," lirih Hari.

Mendapat perlakukan demikian, Hari langsung sigap. Dia bergegas mencari rumah sakit lain agar nyawa sang istri dan anaknya dapat tertolong. Enam rumah sakit ia sambangi, namun bukan pelayanan yang didapatkan, Hari harus menelan kekecewaan dengan alasan ruang ICU penuh.

Akhirnya berkat saran dari saudaranya, dia membawa istri tercinta ke rumah sakit di kawasan Jakarta Utara. Di tempat ini, tim medis langsung menerima dan menangani Reny dengan cepat. Namun proses persalinan Reny yang melalui operasi caesar harus berakhir duka. Sang bayi tercintanya meninggal dunia sesaat setelah operasi dilakukuan.

Hari pun termenung dan tak habis pikir, betapa peliknya jalur akses kesehatan di Kota Bekasi. Padahal saat itu kondisi istrinya kritis. Ia berharap kejadian itu jangan sampai menimpa orang lain.

3 dari 4 halaman

2. Meisya Rahayu

Kasus pasien BPJS yang ditolak rumah sakit juga dirasakan keluarga bayi berusia 15 bulan. Sang bayi yang bernama Mesiya Rahayu itu meninggal dunia setelah empat rumah sakit di Kota Tangerang menolaknya.

Orangtua Meisya, Undang Misrun (42) dan Kokom Komalasari (37) tinggal di sebuah kontrakan sempit di RT 02 RW 01, Kelurahan Neglasari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Misrun bekerja sebagai sopir truk sampah di Dinas Kebersihan dan Pertamaman Kota Tangerang sebagai Tenaga Harian Lepas (THL).

Kejadian memilukan itu berawal saat Misrun bersama istri membawa Meisya ke klinik setempat. Dokter menanganginya dengan menyebut sang bayi terserang diare. Sang dokter lalu merujuknya ke rumah sakit di Tangerang untuk segera dirawat.

Akhirnya sang anak masuk di IGD rumah sakit di Tangerang. Dalam proses perawatan, orangtua menyorongkan BPJS. "Tetapi tidak diterima karena punya saya BPJS Ketenagakerjaan. Akhirnya saya mendaftar sebagai pasien umum dengan membayar Rp 370 ribu,” kata Misrun, Senin 5 September 2016.

Pihak rumah sakit pun menangani sang bayi dengan berbagai tindakan. Dari hasil pemeriksaan dokter, Meisya didiagnosa infeksi paru-paru. Kemudian rumah sakit memberikan rujukan dengan alasan tidak memiliki alat untuk menangani sang bayi.

Tanpa informasi, Misrun mencari rumah sakit rujukan. Dia berkeliling dengan mengendarai sepeda motor. Ada empat rumah sakit yang disambangi, semua rumah sakit itu menolaknya dengan alasan kamar penuh.

"Mereka tidak menanyakan KTP saya ataupun kondisi anak saya. Saya enggak mengerti kenapa,” ujar dia sedih.

Lantaran terlalu lama mendapat pertolongan, Meisya pun kritis. Napasnya menjadi sesak hingga akhirnya pada Minggu pukul 23.30 WIB, nyawanya tidak tertolong. Bayi mungil itu meninggal dunia.

4 dari 4 halaman

3. Debora

Kejadian teranyar dialami oleh keluarga bayi Debora. Sang bayi meninggal dunia karena tak ditangani tepat waktu oleh RS Mitra Keluarga Kalideres karena terbentur biaya.

Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan, ada dugaan kelalaian dari pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres. Seharusnya rumah sakit dari awal menanyakan pihak keluarga korban, siapa yang akan membiayai perawatan bayi Debora.

"Ini kesalahannya dari awal. Seharusnya pihak rumah sakit bertanya, pembayarannya dilakukan oleh siapa. Ternyata dia punya BPJS, tapi tidak terinformasi dari awal," ujar Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto dalam di kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin (11/9/2017).

Jika bayi Debora menggunakan BPJS, Koesmedi melanjutkan, pendanaan pembiayaan untuk penanganan gawat darurat hingga stabil, bisa ditagihkan ke BPJS. "Nah, RS Mitra Keluarga sudah pernah menjalankan seperti itu," ujar dia.

Sayangnya, kata Koesmedi, ada kesalahan informasi dari awal soal pembiayaan bayi Debora, sehingga terlambat penanganan hingga akhirnya bayi tersebut meninggal.

"Yang tadi saya bilang, ini salah informasi, tidak tercatat sebenarnya siapa yang mendata. Ini dari keterangan yang kami terima dari rumah sakit. Nanti kita coba tanya ke keluarga, apakah benar seperti itu," ujar dia.

Menurut Koesmedi, pihak RS Mitra Keluarga tidak tahu kalau bayi Debora adalah pasien BPJS. Baru diketahui setelah beberapa jam sang bayi masuk IGD.

"Syarat untuk masuk ruang PICU, awalnya RS Mitra Keluarga enggak tahu kalau ini (Debora) pasien BPJS. Baru diketahui bahwa ini pasien BPJS sekitar jam enam pagi," ujar dia.

Adapun, dokter yang menangani bayi Debora di IGD menyarankan agar bayi Debora masuk PICU. Biaya perawatan PICU Rp 19,8 juta dengan uang muka 50 persen. Sementara, keluarga hanya memiliki uang Rp 5 juta.

"Keluarga pasien masih punya uang Rp 5 juta, disampaikan, untuk masuk PICU harus 50 persen dari biaya yang disampaikan pihak RS," Koesmedi menegaskan.

Sementara, Direktur Mitra Keluarga Fransiska mengatakan, saat ini ada 12 cabang RS Mitra Keluarga. Namun, baru satu cabang yang sudah bekerja sama dengan BPJS.

"Kami saat ini sedang menuju proses bekerja sama dengan BPJS. Nanti rencananya berurutan," ujar dia pada kesempatan yang sama.

Untuk pasien yang membutuhkan perawatan darurat, Fransiska menyatakan, RS Mitra Keluarga tidak pernah menolaknya, termasuk bayi Debora.

"Untuk kasus emergency kami tidak pernah menolak pasien dari mana pun. Untuk pelayanan emergency, bahwa tidak demikian kejadiannya. Bahwa saya sudah melaporkan, dan itu wewenang beliau (Kadinkes) untuk memberikan pernyataan," Fransiska menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.