Sukses

Misteri di Balik Meriam si Jagur Museum Fatahillah

Banyak warga yang percaya kalau meriam tersebut bisa mengabulkan permintaan keluarga yang belum memiliki anak.

Liputan6.com, Jakarta - Museum Fatahillah atau Museum Batavia di Kota Tua, Jakarta Barat, banyak menyimpan sejarah atau cerita masa lalu. Termasuk cerita di balik kegagahan meriam si Jagur yang terpajang di halaman gedung tua itu.

Meriam seberat 3,5 ton itu, menurut Thomas B Ataladjar, pengajar jurnalistik dan menulis di SMP dan SMK Plus Berkualitas Lengkong Mandiri, Kota Tanggerang Selatan, dibuat dari peleburan 16 meriam kecil lain.

Karena itu, wajar bila si pembuat mengukir tulisan Ex Me Ipsa Renata Sum yang berarti, "Aku diciptakan dari diriku sendiri."

Sementara, dari beberapa literatur yang dihimpun Liputan6.com, Selasa, 28 Maret 2017, meriam ini dibuat di pabrik St Jago de Barra, Makao, yang dibuat The Master of Royal Foundry (O Grande Fundidor) Manuel Tavares Bocarro (MTB) pada 1641.

Meriam tersebut awalnya digunakan Portugis untuk mempertahankan bentengnya di Malaka. Si Jagur sudah puluhan kali pindah tangan dan tempat. Bermula hijrah ke Batavia diboyong Belanda, di bawah bendera VOC.

Meski terlihat sangar, meriam sepanjang 3,085 meter ini memiliki sesuatu yang aneh di ujungnya. Sebuah simbol berbentuk tangan kanan mengepal dengan ibu jari terjepit antara jari telunjuk dan jari tengah, sebuah lambang yang berkonotasi sebagai simbol persetubuhan di Indonesia.

Simbol itulah yang jadi daya magisnya. Konon, jika seorang perempuan menyentuh simbol meriam itu, kehamilan dipercaya segera mendatangi si penyentuh.

Di beberapa buku sejarah Museum Fatahillah mencatat kesaksian para penyentuh simbol meriam yang mandul segera dikarunia keturunan.

Literatur lain juga menyebutkan, kala si Jagur ditempatkan di dekat Jembatan Kota Intan, meriam tersebut ramai peziarah. Mereka datang membakar kemenyan dan kembang di sekitar si Jagur.

Pada saat ini, banyak warga yang percaya kalau meriam tersebut bisa mengabulkan permintaan keluarga yang belum memiliki anak.

Lalu pada 1968, si Jagur dipindahkan ke Museum Wayang dan pada 1974 dipindahkan ke Museum Fatahillah.

Dalam bukunya, Meriam si Jagur, Thomas menuliskan sebuah hikayat lain. Si Jagur tak sendirian, ia punya pasangan tempur yang bernama Ki Amuk yang kini berada di Museum Banten.

Jika kedua meriam ini disatukan, konon bisa mengusir penjajah Belanda. Ada lagi pasangan si Jagur yang kini berada di Solo, yakni meriam Nyai Setomi.

2 dari 2 halaman

Jelmaan Patih Padjajaran

Berbeda dari buku Ensklopedi Jakarta yang ditulis Yayasan Untuk Indonesia, dituliskan bahwa kekuatan si Jagur bermula kala Raja Padjajaran bermimpi buruk.

Sang raja mendengar suara gemuruh dari sebuah senjata yang kelihatan sangat dahsyat dan tak dikenal tentaranya.

Dia lalu memerintahkan patihnya, Kiai Setomo, untuk mencari senjata ampuh tersebut. Apabila gagal akan dihukum mati. Dalam mengupayakan senjata ampuh tersebut, Kiai Setomo dan istrinya Nyai Setomi bersemedi dalam rumah.

Setelah sekian lama sang patih tidak kelihatan, Raja Padjajaran memerintahkan para prajurit menggeledah rumah Kiai Setomo. Namun tidak ditemukan siapapun dalam rumah itu, kecuali dua buah pipa aneh yang besar. Ternyata Kiai Setomo dan Nyai Setomi telah berubah wujud menjadi dua meriam seperti dalam impian sang raja.

Cerita berubahnya suami istri menjadi meriam tersiar ke mana-mana, hingga terdengar oleh Sultan Agung di Mataram. Sultan Agung memerintahkan agar kedua meriam itu dibawa ke Mataram, namun meriam jantan Kiai Setomo tak bisa dibawa serta.

Warga Batavia gempar menyaksikan benda tersebut dan menganggap benda yang dilihatnya itu barang suci. Mereka lalu menutupinya dengan sebuah payung untuk melindunginya dari terik matahari dan hujan dan menamakannya Kiai Jagur atau Sang Perkasa.

Literatur lain menyebutkan jika penamaan si Jagur berawal dari bunyinya yang "jegar-jegur" kala ditembakkan.

Berbagai sumber menyebutkan sejarah yang berbeda. Namun mereka bersepakat si Jagur adalah meriam penuh mitos dan kaya sejarah.

Si Jagur digunakan oleh berbagai penguasa dari masa ke masa, untuk membunuh, menyerang, atau sekedar jadi barang antik koleksi Museum Fatahillah.

Â