Sukses

Diduga Gangguan Jiwa, Istri Polisi Pemutilasi Bayi Lolos Hukuman?

Pemutilasi bayi polisi masih menjalani pemeriksaan psikologis di RS Polri, Kramatjati.

Liputan6.com, Jakarta - Jajaran Polda Metro Jaya terus mendalami kasus pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan Mutmainah alias Iin terhadap bayinya, Arjuna. Bayi berusia 1 tahun itu tewas secara tragis di tangan ibunya.

Istri anggota Provost Polda Metro Jaya tersebut diduga mengalami depresi berat.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono, mengatakan pemutilasi bayi tersebut masih menjalani pemeriksaan psikologi di RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur. Kondisi kejiwaan Iin masih belum stabil.

"Makanya kemarin pun sempat ditanyain yang bersangkutan ya merasa tidak bersalah. Enggak ngaku melakukan pembunuhan, karena kejiwaannya enggak stabil," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (4/10/2016).

Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan mengatakan, jika benar Iin mengalami gangguan kejiwaan, kasus pidananya tidak bisa diteruskan. Hal itu berdasarkan Pasal 44 KUHP.

"Kita dalami betul, apa dia betul 44 (KUHP) atau memang halusinasi saja. Ya kalau itu (halusinasi) harus dipertanggungjawabkan. Tapi kalau ada gangguan jiwa yang mengarah kepada kejiwaannya terganggu, ya tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata pria yang akrab disapa Iwan itu.

Menurut dia, pemeriksaan kepada pelaku masih pada tahap awal. Polisi masih mendalami kondisi kejiwaan Iin apakah dia benar-benar mengalami gangguan kejiwaan atau halusinasi sesaat.

"Tapi kalau hanya bisikan kemudian dia bisa beraktivitas seperti biasa, itu kita pertanggungjawabkan perbuatannya," tandas Iwan.

Dia juga menyatakan Iin tengah mendalami ilmu tertentu. Dia diduga mengalami halusinasi dan mendapatkan bisikan gaib saat membunuh dan memutilasi anaknya. Kondisi itu juga diduga sebagai dampak dari ilmu yang dia pelajari.

Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi, "Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal."
 
Sedangkan Pasal 44 ayat (2) KUHP menyebut, "Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.