Sukses

Pengertian Pajak Karbon yang Diperbincangkan dalam Debat Cawapres

Pajak karbon merupakan pungutan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Secara sederhana pajak karbon adalah denda yang harus dibayar oleh orang atau lembaga maupun perusahaan yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.

Liputan6.com, Jakarta - Perbincangan tentang pajak karbon kembali mengemuka setelah dibahas dalam debat cawapres pada Minggu, 21 Januari 2024. Saat itu Gibran Rakabuming ikut menyinggung pentingnya pemberlakuan kebijakan pajak karbon saat menjawab pertanyaan dari Mahfud Md tentang ekonomi hijau yang diterapkan oleh pemerintah. 

Begitu juga dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang menilai bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi salah satu instrumen untuk menyiapkan transisi penggunaan energi. Pria yang akrab disapa Cak Imin tersebut pun menyebutkan target pajak karbon telah tertunda dari 2022 menjadi 2025.  

Mengutip Tim Surabaya Liputan6.com, di sisi lain Gibran pun menjelaskan mengenai tujuan mencapai net zero emission pada 2060. Hal itu menurutnya hanya dapat terwujud saat ada transisi energi dari energi fosil ke energi berbasis nabati secara berkesinambungan.

"Jika kita bicara masalah karbon, tentunya kita harus menyinggung pajak karbon, carbon storage, dan carbon capture," ujar Gibran saat menjawab.

Untuk itu agenda ke depan, lanjutnya, harus mendorong transisi menuju energi hijau. Indonesia tidak boleh lagi ketergantungan pada energi fosil. Lalu sebenarnya apa pajak karbon itu? 

Mengutip dari laman Pajak, Selasa (23/1/2024), pajak karbon merupakan pungutan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Secara sederhana pajak karbon adalah denda yang harus dibayar oleh orang atau lembaga maupun perusahaan yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pajak Karbon Bukan Hal Baru

Pajak karbon bukanlah hal baru di dunia. Sejak era 1990-an, beberapa negara seperti Prancis, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark sudah menerapkan pajak karbon. 

Berdasarkan data dari World Bank, sampai 2020 ada 64 negara dan wilayah yang sudah mengadopsi pajak karbon atau sistem perdagangan emisi ETS (Emissions Trading System). Pajak karbon dan ETS merupakan dua cara yang berbeda untuk mengatur harga karbon.

Pajak karbon menetapkan harga per ton CO2 yang dilepaskan, sementara ETS menetapkan batas maksimum emisi yang boleh dilakukan oleh sektor-sektor tertentu. Apabila batas tersebut terlampaui, maka pelaku usaha harus membeli hak emisi dari pelaku usaha lain yang emisinya lebih rendah.

Dengan demikian, ada insentif untuk mengurangi emisi serta meningkatkan efisiensi energi. Salah satu negara yang sudah menerapkan pajak karbon adalah Prancis.

Sejak tahun 2014, Prancis mengenakan pajak karbon terhadap industri batu bara, bahan bakar minyak (BBM), dan gas alam. Pajak atas gas ditetapkan sebesar 1,41 euro/MWh mulai 1 April 2014, lalu naik dua kali lipat menjadi 2,93 euro/MWh pada 2015, dan 4,45 euro/MWh pada 2016.

3 dari 4 halaman

Dampak Penerapan Pajak Karbon

Sebagai contoh, negara yang sudah menerapkan adalah Prancis. Pajak karbon di negara itu dikenakan pada sektor industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil.

Penerimaan dari pajak karbon di Prancis digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang berkaitan transisi energi, seperti pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, serta mobilitas hijau. OECD mencatat, pajak karbon di Prancis berhasil mengurangi emisi CO2 sebesar 9 persen antara tahun 2014 dan 2018.

Di samping itu, pajak karbon juga memberikan dampak positif bagi perekonomian Prancis, seperti meningkatkan pertumbuhan PDB, lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Pajak karbon di Indonesia pertama kali diperkenalkan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian target nasional dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Selanjutnya, pajak karbon juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No 50/2022. Berdasarkan aturan tersebut, pajak karbon di Indonesia dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang menghasilkan CO2 saat dibakar. 

4 dari 4 halaman

Pembayaran Pajak Karbon

Pajak karbon dilunasi dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, atau dipungut oleh pemungut pajak karbon. Nantinya, Wajib Pajak yang melakukan aktivitas penghasil emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/ atau pembayaran pajak karbon.

Wajib Pajak baik penghasil emisi dan pemotong pajak karbon juga harus menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya pajak karbon yang terutang.

Sementara itu berdasarkan UU HPP, pajak karbon seharusnya diterapkan pada April 2022, tapi kebijakan itu ditunda hingga Juli 2022. Namun, kebijakan ini kembali molor sampai di tahun 2025 mendatang.

Alasan penundaan ini yaitu untuk memberikan waktu bagi pemerintah dalam menyusun aturan pelaksanaan UU HPP, seperti PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Di samping itu, penundaan juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi sektor-sektor yang akan dikenakan pajak karbon untuk melakukan penyesuaian dan persiapan.

Untuk tahap awal, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara terbatas pada PLTU batu bara mulai 2025 dengan skema cap and tax dan tarif minimal Rp30 per kg CO2 ekuivalen. Hal ini berarti, jika entitas tidak dapat membeli izin emisi atau sertifikat penurunan emisi atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya, maka sisa emisi bakal dikenakan pajak karbon.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.