Sukses

Prancis Luncurkan Desain Seragam Sekolah untuk Tekan Bullying dan Kesenjangan

Prancis akan menerapkan penggunaan seragam sekolah sebagai upaya untuk menekan angka bullying dan kesenjangan. Seragam tersebut terdiri atas kaus polo warna biru laut lengan pendek dan lengan panjang.

Liputan6.com, Jakarta - Prancis akan menerapkan penggunaan seragam sekolah sebagai upaya untuk menekan angka bullying dan kesenjangan. Seragam tersebut terdiri atas kaus polo warna biru laut lengan pendek dan lengan panjang.

Dikutip dari AFP, Rabu (10/1/2024), pada bagian dada seragam sekolah itu ada bordir bendera Prancis kecil berbentuk persegi panjang di sebelah kanan. Sedangkan pada sebelah kiri, disertakan tulisan berbunyi, "La Région, Auvergne-Rhône-Alpes".

Presiden Dewan Regional Auvergne-Rhone-Alpes Laurent Wauquiez di Prancis tenggara, mengumumkan bahwa ini adalah prototipe seragam sekolah yang akan diterapkan di lima sekolah menengah setempat. Ia juga mengunggah potret seragam sekolah itu melalui X (sebelumnya Twitter).

Wauquiez mengungkapkan bahwa dewan menginginkan seragam tersebut 100 persen dibuat oleh perusahaan tekstil regional. Kaus polo itu akan diujicobakan di lima sekolah menengah atas di Auvergne-Rhône-Alpes di awal tahun ajaran pada September 2024.

Dikatakannya bahwa langka itu berkelanjutan dan baik untuk lapangan kerja. Namun banyak siswa sekolah menengah setempat tampaknya tidak menunjukkan antusiasme yang sama.

Beberapa orang menggunakan TikTok untuk mengejek apa yang mereka sebut sebagai ansambel yang tidak menarik dan memalukan. Pengumuman itu dikeluarkan beberapa minggu setelah Gabriel Attal yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Prancis, pada 6 Desember 2023 mengungkapkan rencana untuk menguji seragam sekolah di berbagai lokasi di seluruh negeri.

Sekolah-sekolah negeri di kota-kota yang secara sukarela menjadi bagian dari percobaan ini akan dapat menerapkan seragam wajib pada awal tahun ajaran baru pada September ini atau bahkan pada awal musim semi bagi mereka yang sangat "termotivasi".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengujian di Beberapa Kota

Kota-kota yang ingin menguji seragam sekolah termasuk Tourcoing dan Reims di utara, dan Nice di selatan. Wilayah Allier dan Alpes-Maritimes juga menyatakan minatnya.

Setiap pemerintah kota harus bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang ikut serta, karena penerapan seragam memerlukan perubahan peraturan sekolah. Eksperimen busana memerlukan biaya.

Perlengkapan dasar untuk setiap siswa dapat terdiri dari lima kaus polo, dua pullover, dan dua celana panjang, yang jumlahnya sekitar 200 euro (sekitar Rp3,4 juta), menurut outlet berita Prancis, Franceinfo. Namun keluarga tidak perlu menanggung beban, karena separuh biaya akan ditanggung oleh pemerintah daerah dan separuhnya lagi oleh negara.

Meskipun ada tanggapan yang bersemangat dari beberapa kota di Prancis, Attal sendiri tampaknya tidak sepenuhnya yakin dengan langkah tersebut. "Saya terpecah mengenai pertanyaan tentang seragam," katanya saat pengumumannya di franceinfo.

"Saya belum yakin bahwa ini adalah solusi yang akan memperbaiki segalanya," tambahnya.

Salah satu argumen utama pemerintah dalam mendukung seragam sekolah adalah bahwa seragam sekolah dapat mengekang upaya di masa depan untuk melemahkan sekularisme Prancis. Baru-baru ini, kontroversi seputar pakaian yang berhubungan dengan agama Islam menjadi pusat perhatian

3 dari 4 halaman

Prancis Sahkan Larangan Penggunaan Abaya di Sekolah

Pengadilan administratif tertinggi Prancis telah mengesahkan larangan pemakaian abaya di sekolah. Abaya dikenal sebagai pakaian tradisional perempuan Muslim. Putusan itu menurut pemerintahan Presiden Emmanuel Macron tidak mendiskriminasi umat Islam.

Mengutip dari AFP, Jumat, 8 September 2023, Dewan Negara, pengadilan tertinggi di Prancis yang menangani pengaduan terhadap otoritas pemerintah, mengatakan pihaknya menolak mosi yang diajukan oleh sebuah asosiasi yang menentang larangan penggunaan abaya di sekolah. Pemerintah Prancis mengatakan bahwa pelarangan dilakukan karena hal itu melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan.

Aturan larangan menggunakan abaya disebut sama halnya dengan larangan mengenakan jilbab dengan alasan bahwa itu merupakan bentuk afiliasi agama. Sebelumnya, asosiasi yang mewakili umat Islam mengajukan mosi ke Dewan Negara, pengadilan tertinggi Prancis berpendapat bahwa larangan tersebut bersifat diskriminatif dan dapat memicu kebencian terhadap umat Islam, serta profil rasial.

Dewan Negara kemudian memeriksa mosi tersebut. Ini diajukan oleh Aksi untuk Hak-Hak Umat Islam (ADM), sejak Selasa dan memutuskan untuk mempertahankan larangan tersebut pada Kamis, 7 September 2023.

4 dari 4 halaman

Siswi Dipulangkan

Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM), yang dibentuk untuk mewakili umat Islam di hadapan pemerintah, memperingatkan bahwa pelarangan abaya dapat menciptakan "risiko diskriminasi yang meningkat". Pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengajukan keluhan mereka sendiri ke Dewan Negara. 

Pengacara ADM, Vincent Brengarth, berpendapat selama persidangan bahwa abaya harus dianggap sebagai pakaian tradisional, bukan pakaian keagamaan. Dia juga menuduh pemerintah mencari keuntungan politik dengan larangan tersebut.

Presiden ADM Sihem Zine mengatakan peraturan itu "sexist" karena hanya mengutamakan anak perempuan dan menargetkan orang Arab. Namun Kementerian Pendidikan mengatakan abaya membuat pemakainya langsung dikenali sebagai penganut agama Islam.

Sekolah-sekolah di Prancis memulangkan banyak siswi karena menolak melepas abaya mereka, pakaian yang menutupi bahu hingga ujung kaki di hari pertama tahun ajaran pada Senin, 4 September 2023. Hampir 300 siswi menentang larangan tersebut, kata Menteri Pendidikan Gabriel Attal.

Sebagian besar setuju untuk berganti pakaian, tetapi 67 orang menolak dan dipulangkan, katanya. Sekitar 10 persen dari 67 juta penduduk Perancis adalah Muslim, menurut perkiraan resmi.

Sebagian besar berasal dari negara-negara Afrika utara, Aljazair, Maroko, dan Tunisia, yang merupakan koloni Perancis hingga paruh kedua abad ke-20. Berdasarkan instruksi yang ditetapkan oleh kementerian, setiap kasus harus diikuti dengan periode dialog, termasuk dengan staf sekolah. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.