Sukses

Dibesarkan Tanpa Televisi, Maudy Ayunda Jadi Hobi Membaca Buku

Bagi Maudy Ayunda, belajar tidak terbatas pada dinding-dinding sekolah atau universitas, melainkan juga melalui interaksi dan pengalaman di luar lingkungan akademik.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap individu memiliki jalan pendidikan yang unik dan berbeda, berdasarkan berbagai faktor, termasuk lingkungan belajar, minat pribadi, dan pengalaman hidup mereka. Bagi Maudy Ayunda, belajar tidak terbatas pada dinding-dinding sekolah atau universitas, melainkan juga melalui interaksi dan pengalaman di luar lingkungan akademik.

Wanita berusia 28 tahun dengan banyak pengalaman di bidang musik dan hiburan ini menekankan pentingnya interaksi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, peluang untuk berinteraksi dan berkomunikasi ada di mana-mana, tidak hanya di lingkungan akademis atau sosial tertentu. Di tempat kerja atau di tempat umum, misalnya.

"Poin-poin belajar paling banyak justru saat aku ngobrol dengan guru dan teman di luar jam sekolah," ucapnya saat sesi Ngobrol Publik #2 "Belajar Tak Hanya di Sekolah" Belajaraya 2023 di Pos Bloc, Jakarta Pusat pada Sabtu, 29 Juli 2023.

Maudy mengungkapkan bahwa lingkungan rumahnya sangat mendukung proses belajarnya. Dalam lingkungan tanpa televisi, dia dibesarkan dalam lingkungan yang dipenuhi dengan buku. Dia menjadi lebih terdorong untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku.

Salah satu kenangan paling berkesan bagi Maudy adalah saat dia membaca kata "kompas" untuk pertama kalinya. Kata ini, dan banyak kata dan konsep lain yang dia pelajari dari membaca buku, menjadi fondasi bagi pengetahuan dan pemahaman Maudy.

"Baca mendatangkan banyak sekali perspektif, sehingga manusia dipaksa berfikir terus-menerus, apalagi kalau perspektif itu bertolak belakang" ungkapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dorongan Ibu

Maudy menjelaskan bahwa dalam perjalanan belajarnya, dia tidak pernah merasa ditekan oleh ibunya. Sebaliknya, motivasi belajarnya berasal dari keinginannya sendiri, yang dipicu oleh cerita-cerita ibunya tentang pekerjaan dan tantangan yang dihadapi.

"Walaupun aku masih muda, mama bilang 'Mama lagi ada masalah ini, gimana ya kita keluar dari masalah ini?' Jadi, walaupun aku nggak tau konteksnya, aku didorong untuk ikut berpikir dan ikut seru memecahkan masalah itu," katanya.

Maudy menyinggung kekuatan belajar sebagai proses siklus yang berkelanjutan. Menurutnya, belajar memicu rasa penasaran, yang kemudian mendorong lebih banyak belajar, menciptakan siklus yang tak berujung dan menggembirakan dari pengetahuan dan pemahaman yang terus berkembang.

"Buku dan keluarga sangat berpengaruh," ujarnya.

Sebelumnya, di sesi yang sama, Nisa Felicia, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) membahas tentang Program for International Student Assessment (PISA), yang merupakan tes internasional yang diikuti oleh siswa berusia 15 tahun dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Tes ini menilai kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains, dan hasilnya sering digunakan untuk membandingkan kualitas pendidikan antar-negara.

3 dari 4 halaman

Minim Literasi

Nisa mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil tes PISA, masih ada sekitar 70 persen siswa Indonesia yang memiliki tingkat literasi di bawah standar minimum yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak siswa yang menghadapi kesulitan dalam memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi secara efektif, yang bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar secara mandiri.

"Literasi itu berbicara tentang kemampuan dan kemauan. Karena keduanya itu rendah, anak-anak cenderung melihat 'Ah aku gak pinter matematika, ngapain aku belajar matematika?' Akhirnya mereka nggak melatih kecerdasan itu, padahal kecerdasan bisa dilatih," jelas Nisa.

Namun, menurut Nisa, kurang dari 30 persen anak Indonesia memahami konsep ini. Banyak anak yang masih percaya bahwa kecerdasan adalah bakat, dan bahwa kemampuan mereka sudah ditentukan sejak lahir. Pandangan ini bisa menghambat motivasi mereka untuk belajar dan berkembang, karena mereka mungkin merasa bahwa tidak ada gunanya berusaha jika mereka merasa tidak 'pintar'.

"Guru-guru yang galak itu sebenarnya sedang mengasah growth mindset kita untuk percaya bahwa kita bisa. Namun, kurang dari 30 persen yang percaya bahwa kecerdasan bisa dikembangkan," kata Nisa.

4 dari 4 halaman

Tidak Pernah Mengulang Ujian

Mengutip kanal Showbiz Liputan6.com, Maudy Ayunda sempat menggelar sesi tanya jawab tepat seputar fun fact-nya. Banyak jawaban menarik yang keluar dari mulut istri Jesse Choi tersebut, termasuk soal pendidikannya.

Sama seperti kebanyakan orang, Maudy Ayunda mengaku sering merasa bosan jika sudah belajar terlalu lama. "Pernah lah kalau sudah (belajar) berjam-jam, terus besoknya mau ujian," ungkapnya dikutip dari YouTube yang diunggah oleh akun Twitter tanyarlfes, Kamis, 20 Juli 2023.

Yang paling menarik, Maudy Ayunda mengaku tidak pernah mengikuti remedial selama dia mengenyam pendidikan. Sepertinya dia selalu mendapat nilai yang memuaskan setiap kali mengikuti ujian.

"Enggak (remedial) ha ha ha," ujarnya.

Maudy Ayunda diketahui berhasil meraih prestasi di bidang pendidikan ketika berhasil lulus dalam studinya di program sarjana philosophy, politics and economics di Universitas Oxford. Maudy juga menjadi lulusan Master of Business Administration dan Master of Arts in Education di Universitas Stanford.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.