Sukses

Kisah Inspiratif Fathia Fairuza, Mahasiswi Sidoarjo yang Wakili Indonesia Bicara Pendidikan di Forum PBB

Salah satu anak muda berprestasi asal Sidoarjo, Jawa Timur, Fathia Fairuza (24), berkesempatan menjadi perwakilan Indonesia di United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) Youth Forum. Forum internasional ini diselenggarakan selama tiga hari pada 25 to 27 April 2023 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta - Partisipasi anak muda dalam forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  semakin menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Keterlibatan generasi muda kian dinilai penting dalam proses pembuatan kebijakan global.

Salah satu anak muda berprestasi asal Sidoarjo, Jawa Timur, Fathia Fairuza (24), berkesempatan menjadi perwakilan Indonesia di United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) Youth Forum. Forum internasional ini diselenggarakan selama tiga hari pada 25--27 April 2023 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. 

Mahasiswa magister di jurusan Hak Asasi Manusia Columbia University ini sebelumnya pernah mengikuti forum ECOSOC secara daring pada 2021. Ia kemudian berinisiatif untuk berpartisipasi kembali secara langsung dengan mengirimkan surel ke PBB. 

Fathia merupakan salah satu dari enam delegasi Indonesia di forum tersebut. "Empat itu dikirim dari Kemenpora, sama juga, karena mereka adalah pemuda inspiratif Kemenpora. Jadi kita memang perwakilan-perwakilan Indonesia," ujar Fathia saat diwawancarai Liputan6.com pada Selasa, 2 Mei 2023. 

ECOSOC Youth Forum 2023 membahas peran anak muda untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Developmentment Goals (SDGs) Agenda 2030. Namun, Fathia fokus mendalami isu pendidikan. "S2 aku kan juga walaupun Human Rights itu aku konsentrasinya Rights to Education," jelas Fathia.

Menyampaikan aspirasi anak muda Indonesia di forum internasional tentunya merupakan kesempatan langka, dan Fathia mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan peserta lebih dari 500 orang yang merupakan perwakilan sekitar 200 negara, tentunya tidak bisa semuanya terfasilitasi. 

"Jujur setiap discussion itu nggak gampang gitu untuk dapat kesempatan berbicara karena sangat terbatas waktunya," ucapnya. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sampaikan Masalah Pendidikan Indonesia

Dalam ECOSOC Youth Forum tersebut, dibahas bahwa keterampilan yang dibutuhkan pada 2030 mencakup lebih banyak hal di luar sekadar calistung, tetapi mencakup berpikir kritis, kepemimpinan, kewirausahan, literasi digital, dan lain-lain. Tetapi, Fathia melihat hambatan bagi siswa Indonesia untuk mencapai keterampilan tersebut.

Fathia mengatakan, "Aku kasih tahu bahwa kurikulum di Indonesia itu belum seperti itu. Kurikulum kita tuh belum melatih kita untuk critical thinking. Contohnya, kita ujian aja masih pilihan ganda, gimana kita mau critical thinking?"

Pendiri Shape Your Life tersebut takjub bahwa kini sudah lebih banyak organisasi dan komunitas yang dibangun anak muda untuk mengajarkan keterampilan tersebut secara informal. Namun, dia merasa perlu dukungan nyata pemerintah dengan memasukkan pengajaran itu secara formal di sekolah.

Dengan Kurikulum Merdeka yang diterapkan Kemendikbudristek saat ini, Fathia merasa arah pendidikan Indonesia sudah selangkah lebih maju. "Tapi masih banyak guru-guru dan dinas-dinas di desa yang bahkan belum mengerti apa itu Kurikulum Merdeka. Jadi harusnya pemerintah dari atas sampai ke bawah harus sudah sadar dulu, baru kita ubah kurikulumnya," tuturnya.

3 dari 5 halaman

Bercita-cita Bekerja di PBB Sejak SMA

UN ECOSOC Youth Forum 2023 merupakan forum kelima yang Fathia ikuti sejak memulai perkuliahannya di New York pada Agustus 2022. Namun, cita-cita berada di forum PBB telah ada di pikiran Fathia sejak bersekolah di SMAN 1 Sidoarjo. "Aku di SMA tuh bergabung dengan English Debate di sekolah," ujarnya.

Ia kemudian mengikuti banyak lomba debat dan Model United Nations. Fathia kerap meriset pekerjaan PBB dan menemukan peran penting PBB dalam menanggulangi masalah-masalah dunia. Hal itulah yang membuatnya terpantik. "Karena kita itu bisa bawa isu negara kita dan didiskusikan di meja internasional," jelasnya. 

Untuk mengejar cita-cita tersebut, Fathia merasa perlu berada di lingkungan internasional. Namun, sekolahnya hanya mampu membantu mengirimkan Fathia ke lomba-lomba dalam negeri saja.  "Aku ngerasanya kayak, lah kan kita lombanya english debate, harusnya internasional dong? Akhirnya aku nyari-nyari aja sendiri," ucapnya.

Anak pertama dari lima bersaudara itu akhirnya bisa mengikuti lomba debat di Singapura dan Malaysia serta mengikuti pertukaran pelajar di Spanyol saat SMA. Ia pun menjadi wisudawan terbaik saat S1 di jurusan Hubungan Internasional Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. 

Menurutnya, berkuliah di luar negeri membuatnya berkesempatan berinteraksi dengan orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. "Jadi aku udah bisa adaptasi, menjadi terbiasa, gimana sih berkomunikasi dengan orang dari different background, dan speak english setiap hari."

Fathia berpendapat bahwa berada di PBB adalah hal yang sangat sulit dan ia harus bisa membedakan dirinya dengan kandidat-kandidat lain dari Indonesia. Ia berujar, "Dengan aku waktu itu exchange ke Spanyol, ke Jepang, dan sekarang ke Amerika, sekarang aku udah bisa empat bahasa, yang menjadi plus pointku untuk misalnya nanti daftar ke PBB gitu."

4 dari 5 halaman

Pernah Dilarang Pakai Hijab Saat Studi di Luar Negeri

Bermodal nekat untuk berkuliah di Jepang yang hanya memberikan beasiswa biaya kuliah, Fathia harus memutar otak untuk bekerja part-time di sana. Seringkali merasa lelah dan demotivasi, Fathia tetap memilih bangkit lagi karena sudah merasa beruntung dapat berkuliah di luar negeri. 

"Nggak semua orang bisa dapat kesempatan kayak gitu. Aku udah cukup jauh nyampe situ, masa udahan sih? Jadi aku harus ngelakuin yang terbaik sebisa aku,” ujarnya.

Studi di luar negeri tentunya tidak lepas dari tantangan. Fathia pernah dilarang menggunakan hijab saat pertukaran pelajar di Spanyol selama satu tahun. "Akhirnya aku bikin petisi sama bikin kampanye untuk menyuarakan hakku," ucapnya. "Masa aku enggak boleh sekolah cuma gara-gara hijab?"

Walaupun petisinya tidak mampu menahannya untuk dikeluarkan dari sekolah, Fathia bersyukur karena hal ini mendorong Fathia untuk memperjuangkan hak pendidikan yang merata bagi semua orang. Ia pun membuat organisasi Shape Your Life dua tahun lalu, wadah yang memberikan pembimbingan gratis bagi anak muda, khususnya untuk mencari beasiswa studi ke luar negeri.

5 dari 5 halaman

Berharap Semua Anak Mendapat Hak Terhadap Pendidikan

“Kan dulu aku dari SMA Sidoarjo mau kuliah ke Jepang tuh sulit banget rasanya. Dapet mentor tuh susah banget, guru juga banyak yang gak tau cara ngarahinnya,” ujar Fathia. “Jadi aku ngerasa sayang banget nih kalo anak-anak Sidoarjo tuh gak bisa memaksimalkan potensinya cuma gara-gara keterbatasan informasi yang kita punya,” lanjutnya.

Terbukti, organisasinya tersebut membuahkan hasil. “Ada loh murid aku dari Papua yang sekarang kuliah di kampusku di Jepang karena kita mentorin. Maksudnya, berarti anak-anak Indonesia tuh mampu sebenernya kalo ada yang membimbing dia,” jelas Fathia.

Menurutnya, masalah struktural paling utama dalam pendidikan di Indonesia adalah kesempatan dan kualitas pendidikan yang tidak merata. “Misalnya yang di Jakarta muridnya jauh lebih baik kemampuannya dari kita yang di Sidoarjo, tapi even kita yang di Sidoarjo lebih baik kualitasnya dari pada yang di Papua,” ucapnya.

Memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei, Fathia berharap di rezim baru pada 2024 mendatang, akan ada lebih banyak kesempatan untuk anak muda untuk ikut andil dalam pembuatan kebijakan pemerintah, dan dibangun lebih banyak sekolah.

Masih banyaknya anak muda Indonesia yang tidak bisa mendapat hak asasi paling mendasar, yaitu mengenyam pendidikan karena infrastruktur yang tidak memadai dan juga kemiskinan membuat Fathia prihatin. “Pemerintah harus fokus ini dulu nih, coba yang belum bisa sekolah kasih kesempatan sekolah dulu. Gak usah muluk-muluk yang lain,” tutup Fathia dengan tegas. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini