Sukses

Para Perempuan Pengungsi Perang Ukraina Diintai Predator Seksual dan Pelaku Perdagangan Manusia

Pelaku perdagangan manusia yang juga para predator seksual bahkan sudah mulai mencari mangsa dari para pengungsi Ukraina sejak bulan pertama perang berlangsung.

Liputan6.com, Jakarta - Tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina sejak Februari 2022, alarm sebuah kantor di Wina, Austria, berbunyi. Kantor Perwakilan Khusus dan Koordinator Perlawanan Perdagangan Manusia (OSCE) mendeteksi ledakan pencarian konten seksual secara daring yang terkait perempuan dan anak-anak perempuan Ukraina.

Berdasarkan negara, tingkat pencarian untuk kata kunci seperti 'pemandu', 'porno', atau 'pemerkosaan' bersama kata 'orang Ukraina' meningkat sampai 600 persen, seketika 'pornografi pengungsi Ukraina' muncul menjadi trending topic. Di Swedia yang melarang permintaan layanan seksual dan menyediakan data klien yang akurat, 30 dari 38 laki-laki ditangkap pada Maret 2022 karena secara khusus mencari perempuan Ukraina selama bulan pertama perang berlangsung.

Wakil Koordinator anti-perdagangan manusia OSCE, Andrea Salvoni menggambarkannya sebagai 'lingkungan yang beracun'. 

Selama berbulan-bulan, ketika perang semakin intensif, semakin banyak orang Ukraina meninggalkan Tanah Air mereka untuk mencari perlindungan di luar negeri. Lebih dari 90 persen pengungsi itu adalah wanita dan anak-anak. Mayoritas dari mereka tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa lokal, memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kontak sosial, dan mayoritas sangat bergantung pada bantuan pemerintah untuk tempat tinggal dan pendapatan.

Pada saat yang sama, Salvoni dan rekan-rekannya menemukan 'iklan pekerjaan curang' di grup Facebook dan grup percakapan Telegram yang digunakan mayoritas orang Ukraina untuk mencari informasi bagaimana meninggalkan medan perang. Dalam iklan tersebut, perempuan dan para gadis Ukraina dijanjikan kesempatan untuk mendapatkan 'uang mudah', seperti dengan 'menemani' klien.

Melansir dari laman Eucrativ, pemerintah juga memperingatkan anggota parlemen tentang bahaya eksploitasi di dunia kerja. Warga Ukraina berhak untuk bekerja secara legal di negara Uni Eropa berdasarkan Petunjuk Perlindungan Sementara Uni Eropa yang diaktifkan pada awal perang.

Namun, menurut Suzanne Hoff dari Platform Kerja Sama Internasional untuk Migran Tidak Berdokumen (PICUM), ada urgensi situasi dan kendala bahasa yang memaksa para pengungsi menerima pekerjaan yang rendah. Diane Schmitt, Koordinator Anti-perdagagan Manusia Uni Eropa, menyatakan perlu pendekatan yang menyeluruh terkait masalah eksploitasi seksual atau tenaga kerja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Situs Peringatan

Untuk membangkitkan kesadaran warga Ukraina tentang bahaya dari para pelaku perdagangan manusia, OSCE meluncurkan situs yang berisi informasi tentang risiko dan cara klasik yang digunakan untuk menjerat perempuan dan anak perempuan, serta hotline telepon.

"Ada bukti bahwa perempuan Ukraina dieksploitasi secara seksual atau dipaksa bekerja untuk mencari pekerjaan dan tempat tinggal di negara tuan rumah," situs web itu memperingatkan dalam bahasa Inggris, Ukraina, dan Rusia.

Warga Ukraina yang melarikan diri dari peperangan disarankan untuk mengunggah dokumen identifikasi ke aplikasi DIYA yang dibuat pemerintah Ukraina. Mereka juga diminta untuk tidak pernah pergi sendiri dengan orang asing, menginformasikan rencana perjalanan mereka kepada yang lain, hanya menerima bantuan dari sumber resmi, dan membuat sandi khsusu dengan kerabat jika situasi berbahaya terjadi.

Pada saat yang sama, OSCE mencoba memengaruhi kebijakan di negara-negara operasinya untuk mencegah laki-laki mencari atau menggunakan layanan seksual dari korban perdagangan manusia. "Jika besok semua pria berhenti membeli seks, eksploitasi seksual tidak akan terjadi," kata Salvoni. 

 

 

3 dari 4 halaman

Negara-Negara Berisiko

Salvoni menerangkan bahwa gerak para predator seksual masih leluasa mengingat sejumlah negara melegalkan transaksi seksual. 

"Jika Anda seorang pedagang, apakah Anda akan lebih mungkin untuk beroperasi di negara di mana membeli seks legal, pasarnya lebih besar, dan mereka dapat menghasilkan lebih banyak uang atau di negara di mana membeli layanan seksual dapat dihukum dan norma sosialnya mungkin berbeda?" tanya Salvoni retoris soal negara tertentu yang memberi risiko lebih besar bagi para perempuan dan anak perempuan Ukraina.

Jerman adalah salah satu negara paling liberal dalam hal pekerja seks. Hanya segelintir kasus penggunaan layanan dari korban perdagangan orang yang diproses hukum. Masalah di negara-negara ini adalah bahwa "dari luar aktivitas kriminal dan aktivitas non-kriminal terlihat persis sama," kata Salvoni.

Itulah mengapa sebagian besar pedagang bebas dari hukuman. Dia memperkirakan hanya kurang dari satu persen korban di seluruh dunia yang pernah diidentifikasi. Sebaliknya, apa yang dikenal sebagai "model Nordik" - di mana pembelian seks dikriminalisasi, tetapi bukan pekerja seks itu sendiri - mengarah pada penuntutan hukum yang lebih mudah terhadap pedagang dan klien mereka.

 

4 dari 4 halaman

Laki-Laki Selalu Punya Pilihan

Meski begitu, banyak negara Uni Eropa perlahan mulai kembali mengetatkan pengawasan. Jerman, kata Salvoni, telah sedikit memperketat undang-undangnya, begitu pula Belanda, sementara Spanyol juga melakukan banyak perubahan.

Pendekatan baru Spanyol, yang disebut Salvoni sebagai semacam "pakta gender" -- di mana persetujuan terhadap seks dan pemerkosaan didefinisikan ulang -- mencontohkan pemikiran ulang ini, katanya. Negara-negara menyadari "bahwa pendekatan laissez-faire lama tidak berhasil," jelasnya.

Salvoni juga mengakui bahwa "keberanian politik" dibutuhkan untuk mengubah undang-undang yang ada. Di banyak negara, katanya, ada segmen masyarakat yang signifikan yang percaya bahwa pekerjaan seks harus didekriminalisasi.

Untuk membawa perubahan budaya, katanya, penting juga untuk mulai mendidik pria yang lebih muda tentang persetujuan dan perilaku positif. "Laki-laki selalu punya pilihan," pungkas Salvoni.

Saat ini, otoritas anti-perdagangan manusia juga telah meminta Uni Eropa untuk memperluas arahan kepada semua pengungsi lainnya, termasuk warga Afghanistan dan Belarusia untuk memastikan perlindungan yang lebih baik secara menyeluruh. Sementara, polisi, otoritas peradilan, dan anggota masyarakat sipil telah menerima pelatihan khusus dari Uni Eropa untuk menangani para korban dengan lebih baik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.